Komisi Cerpen : Loop Cest
Pagi ini terjadi hal yang
tidak biasa. Pak Robi—guru kesenianku saat SMA dulu—mampir ke rumah—entah dari
mana ia tahu alamat ini. Aku sempat sedikit berbasa-basi, namun utamanya ia
ingin menyerahkan suatu titipan. Katanya ia lupa, dan baru teringat
kemarin—setelah sepuluh tahun lamanya!
Aku menatap surat dalam
amplop putih yang mulai usang. Tak ada nama pengirim. Siapa yang menitipkan ini
pada pada Pak Robi? Karena seingatku, ketika SMA aku tak punya banyak teman.
Aku...
Tiba-tiba sebuah
kenangan datang menyentakku. Kenangan yang jauh dari kata ‘indah’.
Saat itu pulang
sekolah, aku dipanggil ke gudang belakang oleh seorang teman sekelas—namanya
Vina. Ia lumayan cantik, rambutnya selalu dicat kuning keemasan meski melanggar
peraturan sekolah. Namun aku tak berpikir macam-macam sebab kami nyaris tak
pernah berinteraksi sebelumnya. Lagipula, kalau bisa aku ingin menjauhinya.
Tetapi sore itu
ternyata ia menyatakan cinta. Hanya saja aku dan kepolosanku tak bisa
menerimanya. Pertama, aku gugup. Kedua, aku sama sekali tidak mengerti
bagaimana memperlakukan pacar. Ketiga, ia membuatku takut. Berdasarkan rumor
yang kudengar, gadis itu berafiliasi dengan semacam kelompok anak-anak nakal.
Celakanya penolakanku
malah menjerumuskanku dalam keadaan sulit. Vina marah—entah kenapa, hanya
karena ditolak lelaki sepertiku. Tak berhenti sampai di situ, ia merencanakan
balas dendam. Satu hari pada inspeksi rutin, seorang guru menemukan rokok dalam
tasku. Tentu saja itu bukan milikku, seseorang memasukkannya—intuisiku berkata
Vina. Namun tak ada yang percaya. Tidak guru, tidak juga teman-teman sekelas.
Semua menuduhku, menjadikanku bahan olok-olok, dan kelak mengucilkanku.
Part
2
Aku merinding sendiri kala
mengingat peristiwa itu. Jika dipikir lagi, betapa lemahnya aku yang bahkan tak
berani membela diri. Kalau saja aku melawan. Kalau saja aku lebih bersikeras...
Mungkin saja mereka akan meragukan tuduhan tersebut. Tapi mungkin juga percuma.
Semuanya takut pada Vina. Mereka pasti akan mengikuti apapun permainannya.
Aku mulai membaca surat
yang tintanya sudah mulai memudar. Entah mengapa tulisan tangannya tak asing,
walau aku tidak bisa mengingat siapa pemilik tulisan tangan seperti ini. Sampai
aku membaca pembukaannya.
“Hai Ando! Aku Andi. Apa kau masih mengingatku? Kau pasti terkejut saat
menerima surat ini. Bagaimana keadaanmu sekarang?”
Andi. Hanya ada satu
Andi yang berasal dari memoriku di SMA. Bukan, bukan seorang teman sekelas,
apalagi guru.
***
Masa-masa yang kulalui
setelah peristiwa rokok amatlah berat. Semua menjauhiku, kalau tidak membuliku.
Bahkan untuk mengerjakan tugas sekolah pun, tak ada yang mau satu kelompok
denganku. Terpaksa aku melakukan semua sendiri. Seperti sore itu ketika aku pergi
ke kebun belakang guna menyiram cangkokan jambu untuk praktek Biologi.
Di sana aku melihat Pak
Robi tengah bercakap-cakap dengan seseorang. Dari pakaian kotor serta arit di
tangannya, kutebak ia adalah tukang kebun. Karena tukang kebun lama sudah
berhenti, dan wajahnya masih asing, berarti ia tukang kebun yang baru.
Aku tak terlalu menaruh
perhatian, toh aku memang jarang berbincang dengan guru. Aku fokus mengurus
tanamanku, menyiram dan memupuknya agar cepat tumbuh. Waktu pun berlalu dengan
tanpa terasa. Aku selalu menyukai kegiatan ini, melepasku dari segala
kesuntukan dunia. Yang menyadarkanku berikutnya adalah sebuah panggilan yang
tak pernah kuduga.
“Daunnya bagus, segar
sekali.” Kalau tidak salah itulah sapaan pertamanya.
Aku menoleh, mendapati
sang tukang kebun. Seketika aku terkesiap melihat wajahnya. Sebelah matanya
buta, seperti penjahat di film, membuatku takut. Pak Robi juga sudah pergi.
Tapi senyumnya terlalu ramah, segera mengusir kewaspadaanku.
Pria itu memperkenalkan
diri. Namanya Andi. Ia memang seorang tukang kebun baru, dan belum mengenal
banyak orang. Melihat aku begitu tekun merawat tanaman, membuatnya merasa ingin
ngobrol denganku. Akhirnya kami mulai bicara panjang lebar, mengenai berbagai
teknik mencangkok tanaman buah.
Saat sore tiba, aku
berpamitan. Sebelum berpisah ia sempat memberitahu sesuatu. Jika tidak salah
ingat, ia menjelaskan wajahnya yang pernah rusak akibat kecelakaan, yang sekaligus
merampas mata kanannya. Jadi ia memang bukan hantu atau orang jahat, hanya manusia
yang kurang beruntung.
Part
3
Aku kerap bertemu Andi
dan mengobrol panjang lebar. Tapi, kenapa aku melakukannya? Apa yang membuatku
begitu tertarik padanya? Ataukah sekedar karena aku tak punya teman lain di
sekolah?
Aku terus membaca surat
dari Andi. Isinya kurang lebih seperti tegur sapa dari sahabat yang lama tak
bertemu. Namun entah mengapa setiap kalimatnya merangsang memoriku, menarik
kembali hal-hal yang seharusnya sudah terkubur dalam. Apalagi saat aku membaca
sebaris kalimat itu.
“Bagaimana dengan Ayahmu? Kuharap hubungan kalian sudah jauh lebih baik
sekarang.”
Aku pun teringat pada
tragedi lainnya, yang menjadi titik terendah dalam kehidupan SMAku.
***
Ibu baru saja memergoki
Ayah berselingkuh dengan wanita lain. Pertengkaran menjadi kegiatan rutin tiap
hari di rumah. Aku selalu bersembunyi di kamar kala itu terjadi, menutup
telinga rapat-rapat, berharap semua akan berlalu seperti
pertengkaran-pertengkaran sebelumnya. Sayangnya pertengkaran kali itu berbeda,
jauh lebih serius dari yang sudah-sudah. Bahkan ada kemungkinan Ayah dan Ibu
akan bercerai.
Aku tak bisa lagi
konsentrasi belajar. Pikiranku selalu dihantui takut dan kesedihan. Aku tidak
berani memikirkan apa yang akan terjadi nanti seandainya kami tak lagi tinggal
bersama.
Lalu tragedi berikutnya
terjadi.
Suatu hari Vina membawa
sekelompok anak nakal. Mereka memukulku, memaksaku untuk masuk ke dalam sebuah
mobil van, lalu membekapku dengan sesuatu. Setelahnya aku jadi tak sadarkan
diri. Yang kuingat berikutnya adalah aku tersadar di sebuah halte, pada pagi
buta.
Ketika guru BP memanggilku
beberapa hari kemudian, baru aku tahu apa yang dilakukan Vina. Entah bagaimana
tersebar foto-foto tanpa busana antara aku dan Vina, yang tertidur pulas di
atas kasur—seolah baru saja melakukan hubungan intim. Selain itu Vina juga
mengambil beberapa foto yang tidak sepantasnya, saat ia melakukan sesuatu pada
tubuhku yang terlelap di bawah pengaruh obat—yang mana orang awam akan mengira
aku melakukan itu bersamanya.
Aku diskors, orang
tuaku dipanggil ke sekolah, hingga menjadi pemicu keretakan hubungan Ayah dan
Ibu yang lebih parah. Keduanya saling lempar tanggung jawab, siapa yang
menyebabkanku jadi anak liar yang menyukai seks bebas—padahal aku tak melakukan
apa-apa.
Hentakan pamungkasnya
adalah saat Vina datang menemuiku, lalu mengatakan hal yang sangat mengerikan.
“Kau memang tidur, tapi
adik kecilmu tetap bangun,” katanya, lalu mengelus bagian bawah perutnya. “Adik
kecilmu memuntahkan banyak sekali ke dalam sini. Mungkin sebentar lagi aku akan
hamil, dan kau harus bertanggung jawab. Kita akan menikah lalu hidup bahagia
selamanya.”
Saat itu aku ingin mati
saja. Menurutku itu adalah jalan satu-satunya untuk lepas dari segala
permasalahan ini. Kalau saja bukan karena Andi.
Ketika aku menyiram tanaman
untuk terakhir kali sebelum berencana memotong nadi, pria itu menghampiriku.
Aku yang sudah membulatkan tekad tak mau berkata apa-apa. Namun malah ia tetap
memulai pembicaraan, dengan kata-kata yang langsung mencuri perhatianku.
“Hidupmu masih panjang,
dipenuhi potensi. Apa kau mau mengakhirinya begitu saja?”
Aku hampir-hampir tidak
percaya dari mana datangnya itu. Mengapa seorang tukang kebun tiba-tiba memberiku
nasihat. Apa kesulitanku tergambar jelas di wajahku? Tetapi aku yang tengah
kalut, bukannya mempertanyakan malah terbawa dalam pembicaraan.
“Bagaimana aku bisa
keluar dari permasalahan ini? Semua orang... semuanya memusuhiku! Siapa yang
bisa kupercaya?!”
Tiba-tiba saja pria itu
memelukku erat. Aku yang terkejut sempat berusaha melepaskan diri, namun kegigihannya
lekas membuatku sadar tak ada niat buruk di sana. Dekapannya perlahan
mengalirkan hangat yang membuatku terbuai. Nyaman sekali. Seolah ia ingin
melindungiku dari segala perih dunia.
Dadaku pun berdebar
hebat. Akhirnya aku merasa bahwa aku tidak sendiri. Masih ada yang peduli.
“Jalani saja, dengan
gagah berani. Orang tuamu mungkin bercerai. Semua orang mengucilkanmu. Vina
membuat hidupmu seperti neraka. Tapi suatu hari bisa saja kau menemukan seseorang
yang sangat berarti untukmu. Berdua kalian bergandengan tangan, berjalan dalam
bahagia. Hanya saja kemungkinan itu akan musnah bila kau mengakhiri hidup di
sini. Percayalah, badai pasti berlalu.”
Entah mengapa aku bisa
mempercayai kata-katanya, sehingga menciptakan segenap kekuatan baru. Aku ingin
mencapai masa depan di seberang sana, dan karenanya aku akan melalui badai yang
menghadang.
Kuucap terima kasih
pada Andi, lalu mengurungkan niatku. Aku berjanji dalam hati untuk menjalani
hari-hari seperti yang dinasihatkannya.
Part
4
Lalu entah bagaimana
semuanya membaik. Orang tuaku akhirnya bisa saling memaafkan, serta mengulang
sumpah setia sebagai suami-istri. Atas desakan Pak Robi, para guru terus
mengusut kasus penyebaran fotoku, hingga diketahui bahwa Vina dan
kelompoknyalah yang bersalah. Mungkin karena malu, gadis itu memutuskan untuk
pindah sekolah. Aku tak pernah melihatnya lagi sampai saat ini.
Ucapan Andi benar,
badai pasti berlalu. Hanya saja, ke mana pria itu sekarang? Sejak kapan kami
berpisah? Apa setelah kelulusanku?
Tidak, tidak. Kami
sudah berpisah bahkan sebelum itu. Kami berpisah pada satu sore di halaman
belakang sekolah.
***
Andi duduk di
sampingku, menatap cangkokan jambu yang tumbuh dengan baik. Ia mendapat nilai
terbaik dalam praktek Biologi, dan selanjutnya akan dibiarkan terus tumbuh di
sana.
“Kelak itu akan jadi
memento dirimu di sekolah ini,” ujar Andi.
Aku hanya tersenyum
simpul menanggapi kebanggaan tersebut.
Berdua, kami terus
bercakap hingga matahari makin terbenam. Rasanya aku tak ingin pergi dari
tempat itu. Aku ingin di sana selama mungkin.
Kenapa?
Dan tiba-tiba saja,
Andi mengucapkan sesuatu yang membuatku sadar akan penyebabnya.
“Tugasku sudah
selesai,” katanya. “Teruslah kuat.”
Aku lekas menoleh ke
arahnya. Seiring tenggelamnya mentari, entah mengapa tubuhnya seolah memudar.
Kesedihan segera bertumpuk-tumpuk di hatiku. Setitik air mata mengalir tanpa
kusadari.
Aku coba meraihnya,
namun tanganku hanya mengibas udara kosong.
“Jangan... pergi..”
ratapku malang.
Ia hanya tersenyum,
kemudian hilang sepenuhnya.
Apakah Andi itu? Hantu?
Halusinasi? Teman khayalan?
Yang aku tahu, aku baru
saja kehilangan seorang yang sangat berarti.
Part
5
Kesedihan yang hampir
kulupa muncul kembali. Namun itu bukan sedih yang menyakitkan, melainkan sedih
yang mengingatkanku bahwa aku pernah memiliki seseorang yang berharga. Aku
bersyukur karenanya.
Aku pun sampai pada
bagian akhir surat.
“Akhirnya kurasa aku harus jujur. Apa kau ingat rumor di sekolah kita?
Bahwa jika kita berada di belakang sekolah lalu berharap untuk dipertemukan
dengan seseorang, permintaan itu akan terkabul? Saat itu... aku berharap untuk
menemui diriku di masa lalu. Aku ingin diriku tidak mengalami kesalahan yang
sama, dan kecelakaan yang sama.
Ando,
tetaplah berhati-hati dalam mengambil keputusan. Selalu objektif.”
Seketika tanganku
bergetar. Gemuruh di dadaku bertalu-talu. Aku langsung beranjak menuju kamar
mandi. Kunyalakan lampu lalu kutatap bayangan yang terpantul di cermin.
Wajah kami berbeda,
tapi... ia bilang ia pernah mengalami operasi setelah kecelakaan. Sementara
postur tubuh kami... Saat ini aku teringat bahwa sepuluh tahun lalu, aku selalu
rindu untuk melihat postur ini yang tengah bekerja di kebun sekolah.
Aku pun tak bisa lagi
menahan derai air mata. Ini adalah perpisahan yang lebih jauh dari bentang
kutub. Dibatasi oleh garis dunia paralel yang tak kumengerti.
Saat ini aku sudah
hidup baik, tapi bagaimana denganmu? Apa kau hidup baik di sebelah sana?
Kurasa aku hanya bisa
mengatakan terima kasih... Terima kasih banyak.
Comments
Post a Comment