Komisi Cerpen : Mimpi Palsu
Aku mendapati diriku duduk
di bangku belakang sebuah mobil yang tak asing, namun memancarkan kesan
nostalgia. Jok kulit hitam, aroma jeruk pengharum mobil, suara penyiar radio
yang menginformasi keadaan lalu lintas, serta Ayah dan Ibuku yang mengobrol di kursi
depan.
Aku merasa gugup
sekali. Jantungku tak henti-hentinya berdebar keras, sementara kulit tanganku
pucat kedinginan. Di luar sana sudah mulai gelap, dengan hujan yang turun
rintik-rintik. Semakin menurunkan temperatur udara.
Kujepit kedua telapak tanganku
di bawah paha, sebuah trik yang pernah diajarkan ibuku—dulu sekali—untuk
menghangatkan diri.
“Manami, kau baik-baik
saja?” Tiba-tiba ibu bertanya. Wanita itu menoleh ke arahku. Wajahnya begitu
cantik, entah mengapa aku ingin terus menatapnya selama mungkin.
“I—iya, Ibu. Aku tidak
apa-apa,” jawabku pelan.
“Tenang saja, Ibu yakin
kau pasti bisa,” lanjutnya diiringi senyum bercahaya. “Kau sudah berlatih keras
untuk kontes menyanyi ini, kan?”
Oh ya, aku baru ingat.
Saat itu aku akan mengikuti lomba yang diadakan sebuah stasiun televisi. Jadi
itu sebabnya aku begini. Tak peduli berapa kalipun mengikuti kegiatan serupa,
aku tak pernah terbiasa. Sulit sekali mengusir gugup yang datang.
“Benar, Manami,” Ayah
ikut menimpali. “Begitu naik ke panggung, anggaplah semua penontonnya adalah
batu! Dengan begitu kau bisa santai.”
“Iya...” kataku.
Pertanyaan pun timbul dalam
benakku. Kenapa mereka melakukannya? Apa ketakutan terpancar jelas di wajahku?
Tapi entah mengapa hatiku mulai terasa hangat. Kedua orang tuaku itu memang
selalu bisa mengerti apa yang kubutuhkan tanpa harus kuungkapkan.
“Kalau begitu Ayah dan
Ibu juga jadi batu, dong?” lanjutku, mulai mendapat mood untuk bercanda.
Ayah tertawa dengan
suara renyah yang khas. Kurekam baik-baik suara itu dalam ingatanku, selagi
masih bisa.
“Manami, apa
cita-citamu?” tanya Ibu kemudian.
Aku yakin sudah pernah mengatakannya
berkali-kali. Tapi karena ditanya, aku tetap menjawab. Namun jika kupikir lagi,
itu pasti upaya Ibu untuk mengalihkanku dari kegugupan.
“Aku akan menjadi idola,
yang pandai menyanyi dan menari!” ucapku bangga.
“Anakku memang hebat,”
puji Ayah. “Tapi bagaimana jika nanti ada pencari bakat yang terpesona olehmu,
lalu ingin membuat kontrak?”
“Eh?”
“Kau mau jadi artis
atau melanjutkan sekolah dulu?”
Aku yang saat itu
spontan memikirkan jawaban untuk pertanyaan Ayah dengan polosnya. Sementara Ibu
tertawa geli melihat reaksiku. Kemudian aku memutuskan.
“Aku akan—“
Kata-kataku terhenti
kala menyadari ada sesuatu yang salah. Sorot lampu sebuah kendaraan dari arah
berlawanan tampak menyilaukan. Ya, kalau tidak salah, kejadian itu akan terjadi
di akhir adegan. Mendadak seluruh kehangatan ini berubah jadi kengerian.
Tiba-tiba truk yang
berasal dari arah berlawanan itu oleng, memasuki lajur mobil kami. Ayah yang saat
itu sedang melihatku melalui kaca spion dalam, sepertinya tak begitu memperhatikan.
Sampai ibu menjerit histeris.
“Ayah! Awas!!!”
Terlambat. Ayah melihat
ke depan dan hanya terbelalak—aku bisa melihat matanya melalu kaca spion—ketika
mobil kami beradu hantam. Suara dentuman memekakkan telinga. Kurasakan tubuhku
terdorong keras ke depan, lalu semua menjadi gelap.
***
Aku membuka mataku
lebar-lebar. Napasku tersengal-sengal. Sekujur tubuhku basah oleh keringat
dingin. Lalu dada kiriku berdenyut perih. Aku meringis, meringkuk, memeganginya
seraya memejamkan mata. Hingga akhirnya rasa sakit itu perlahan reda. Aku pun
membuka kelopak disertai hela napas lega.
“Mimpi itu datang lagi...”
Saat ini aku terbaring
di kamar yang berukuran enam tatami. Cahaya matahari sudah masuk melalui
celah-celah tirai jendela. Dengan malas aku beranjak bangkit, lalu membuka
jendela. Angin segar Kyoto sgeera menyambutku, disertai cicitan burung dan
suara gesekan sapu lidi menyapu tanah.
Aku merenung. Sudah
tiga tahun lamanya sejak kecelakaan itu merenggut Ayah dan Ibu. Entah bagaimana
aku bisa selamat, dan kini tinggal bersama Bibi Hiruko dan Mishima.
“Tapi... apa aku pantas hidup?”
Keheninganku terpecah
oleh teriakan dari ruang makan. Itu adalah suara Bibi Hiruko.
“Manami, sudah bangun
belum?!”
“Iya Bi!” balasku tak
kalah kencang.
Aku bergegas mandi lalu
mengenakan seragam akademi. Setelahnya aku bergabung ke ruang makan di mana
bibi dan adikku sudah menunggu.
Bibi Hiruko adalah adik
dari ibuku. Sebenarnya ia sudah pernah menikah, namun selama tujuh tahun
pernikahan ia sama sekali belum dikaruniai anak. Entah atas alasan apa ia
berpisah dengan Paman. Kebetulan tak lama setelah itu terjadi kecelakaan yang
merenggut kedua orang tuaku. Kini kami tinggal bersama, sebagai orang-orang
yang ditinggalkan. Ironis namun ada hikmahnya.
Lalu karena harus
menampung aku dan Mishima, Bibi Hiruko selalu punya alasan tiap kali kutanya
apa ia tak ingin menikah lagi.
“Aku kan harus merawat
kalian,” begitu jawabnya.
Aku mendekati meja
makan. Nasi dan telur mata sapi sudah disiapkan sebagai sarapan kami.
“Manami, cepatlah!”
seru Bibi Hiruko yang masih sibuk mencuci peralatan masak. “Sudah siang!”
“Iya Bi, terima kasih
atas makanannya,” balasku.
Aku segera duduk di
meja, di seberang Mishima yang sedang fokus menyantap sarapannya sendiri. Tidak
ada tegur sapa, tidak ada rasa sungkan. Ia terus melahap nasinya seolah aku tak
ada.
Rasa sepi selama tiga
tahun terakhir ini pun kembali datang. Sejak kecelakaan itu, bukan hanya Ayah
dan Ibu yang pergi dariku. Mishima juga berubah, bagaikan orang asing. Ia tak
pernah lagi bicara padaku, kecuali ada yang benar-benar penting. Ya, aku tahu
itu semua karena ia menyalahkanku. Pada hari pemakaman pun ia terus menangis,
mempersalahkanku di depan setiap pelayat yang hadir. Dan memang, aku sendiri
mengakui bahwa aku yang salah.
Andai saja saat itu aku
tak mengikuti kontes menyanyi, aku tak perlu diantar dengan mobil.
Andai kami tak
mengendarai mobil, supir truk yang mabuk tidak akan menabrak kami.
Karena itulah aku tak
pernah memprotes sikap Mishima, meski sebenarnya sangat menyakitkan.
Usai makan, gadis itu
berpamitan pada Bibi Hiruko—tidak padaku. Ia berangkat menuju SMA Katsura yang terletak
tak jauh dari sini.
“Manami, kau belum
berangkat? Sekolahmu kan lebih jauh?” tanya Bibi Hiruko.
Memang, Kansai
Internasional Academy tempatku belajar harus ditempuh menggunakan bus. Hanya
saja aku tidak ingin keluar rumah berbarengan dengan Mishima. Jalan berdua
tanpa saling bicara itu rasanya sangat tidak nyaman.
“Iya Bi, aku berangkat
sekarang!” jawabku setelah menghitung jarak cukup lama.
***
Kansai International
Academy adalah institusi pendidikan tinggi yang mengambil fokus di bidang seni.
Terdapat banyak fakultas mulai dari Fakultas Seni, Fakultas Desain, sampai
Fakultas Pop Culture—aku mengambil fakultas ini, khususnya Jurusan Seni
Pertunjukan Panggung.
Tiap tahunnya ada
ribuan orang yang mendaftar ke sini, namun hanya beberapa ratus yang terpilih.
Aku adalah salah satu dari orang beruntung tersebut, apalagi jurusan yang
kuambil termasuk paling diminati. Seluruh muridnya—termasuk aku—adalah pemuda
dan pemudi yang memiliki idealisme kuat untuk menjadi artis idola di masa
depan.
“Demi Ayah dan Ibu.”
Ya, aku tidak boleh
terus bersedih. Akan kubuat kedua orang tuaku tersenyum dari atas sana saat
melihatku mencapai cita-cita.
Begitu masuk kelas,
puluhan murid sudah berada di sana dengan seragam biru kotak-kotak yang khas.
Ada yang mengobrol, bercanda, sampai pemanasan untuk latihan tari siang ini.
“Manami!” sapa seorang
gadis berkacamata dengan rambut diikat ke belakang. Penampilannya sangat-sangat
culun, namun ketika tampil menari ia akan melepas kacamata dan ikat rambutnya.
Pada saat itulah, aku serasa melihat ulat yang berubah jadi kupu-kupu. Oh ya, namanya
Kim So Eun, temanku yang berasal dari Korea.
“Hai,” balasku ramah.
“Sudah siap untuk
latihan tari?” tanyanya seraya meregangkan tangan. Ia sudah mengenakan kaos
putih dan celana strit pendek warna hitam. “Ayo ganti!”
Aku paling malas kalau harus
ganti seragam pada jam pelajaran pertama. Tapi berangkat sekolah dengan kaos
dan celana strit juga bukan ide yang bagus.
“Nanti, aku duduk-duduk
dulu,” kataku, bermaksud menikmati dulu seragam yang tengah kukenakan. Namun tiba-tiba
gadis itu menarik lenganku.
“Ayolah, masa cuma aku
yang sudah ganti seragam??!”
Jadi itu sebabnya...
“Baik, baik,” kataku,
memenuhi permintaannya sebagai teman yang baik.
Aku mengambil baju
ganti, lalu kami berjalan keluar kelas. Namun sebelum tiba di ambang pintu,
seseorang mencibir.
“Dua cacing ini
bersemangat sekali, ya.” Gadis yang tak lain adalah Sakura. Ia memiliki wajah
cantik, tubuh tinggi semampai, suara yang bagus, juga gerakan tari yang luwes.
Bisa dikatakan sebagai primadona kelas ini. Tapi entah mengapa ia senang sekali
mengusikku. “Jangan-jangan kalian berharap bisa menjadi idola hanya dengan
usaha?”
Kata-kata itu langsung
menancap di benakku. Bagaimana jika aku memang tidak berbakat? Dan usahaku
berakhir sia-sia.
“Diam saja kau, weeek!”
Kim So Eun menggamit lenganku lalu menjulurkan lidah pada sakura. “Memangnya
kau lupa Manami pernah mengunggulimu saat tingkat satu?”
Mendadak raut wajah
Sakura berubah sengit. Namun sebelum ia sempat berkata apa-apa lagi, Kim So Eun
sudah menarikku lari keluar.
“Kalau dibalas takkan
ada habisnya!” katanya menenangkanku.
Memang benar.
Dan aku teringat sejak
kapan Sakura membenciku, yakni akhir semester dua saat kami masih di tingkat
satu. Entah karena keberuntungan apa, nilaiku menggeser posisinya yang selalu
bertengger di puncak. Mungkin baginya aku telah menggagalkan misinya untuk
menjadi nomor satu selama delapan semester berturut-turut.
***
Kami berlatih menari
dalam ruangan besar dengan cermin raksasa melapisi salah satu sisi dindingnya.
Melalui cermin itu kami bisa melihat sendiri pergerakan kami, apakah sudah
bagus atau masih ada kesalahan. Seorang instuktur berdiri di depan barisan,
mempraktekkan contoh gerakan.
“Satu, dua, tiga,
empat. Satu, dua, tiga, empat.” Asisten instruktur menghitung tempo seraya
menepuk telapak tangan.
Aku berjuang keras
mengikuti setiap arahan sesempurna mungkin. Kudorong tubuhku hingga ke tapal
batas. Jika yang lain bisa, aku pun pasti bisa. Tidak ada perbedaan dalam
kekuatan fisik kami.
“Baik, kita istirahat,”
ucap instuktur mengakhiri sesi latihan.
Aku langsung menghela
berat. Napasku terengah-engah. Dadaku terasa berdebar keras. Keringat yang
sebelumnya tak kurasa kini sampai membuat kaosku menempel ke badan. Aku
membungkuk, menumpukan kedua tangan pada lutut.
“Hanya segitu saja?”
Suara meledek itu datangnya dari Sakura yang kebetulan berbaris di sampingku.
“Yah,” jawabku.
“Staminaku lemah.”
“Dengan stamina seperti
itu kau ingin jadi artis idola?”
“Aku—memang payah. Aku akan
berlatih lagi,” jawabku terbata.
Sakura mengernyitkan
sebelah matanya dengan sengit, kemudian melengos pergi.
Kenapa? Apa salahku?
Aku pun ikut beranjak
ke pinggir ruangan tempat yang lain duduk dan minum. Napasku masih tidak
teratur. Memang benar fisikku tak kalah dari yang lain, namun staminaku cepat
sekali habis. Tubuhku terasa sangat lelah, dan pandanganku berputar.
“Lho? Kenapa ini?”
Tiba-tiba nyeri
menyerang dada kiriku. Sakitnya bukan main, seperti ada benda tajam menusuknya.
Aku yang tak kuat menahannya hanya bisa terjatuh ke atas lantai. Kemudian
terdengar orang-orang mengerumuniku.
“Manami!!!”
***
“Manami? Kau baik-baik
saja?” tanya Kim So Eun yang masih mengenakan kaos latihan.
Seorang perawat penjaga
ruang kesehatan berdiri di sampingnya, tampak ingin melempar pertanyaan yang
sama.
“Aku... tidak apa-apa,”
jawabku. “Kurasa hanya kelelahan. Semalam... aku tidak tidur karena menonton
film. Hahaha.”
Sebuah jawaban yang tak
mengubah ekspresi kekhawatiran Kim So Eun, namun berhasil membuat perawat
menghela napas lega.
“Pelajaran di akademi
ini sangat keras,” jelas sang perawat. “Apabila ada waktu untuk istirahat,
gunakanlah untuk istirahat. Kalau sampai sakit, kau sendiri yang akan rugi!”
“Iya, maafkan aku.”
“Kalau begitu sekarang
istirahatlah.”
“Ya, Sensei.”
Perawat itu pun pergi
ke kantornya. Sementara Kim So Eun, malah menatapku dalam. Ia sampai
mendekatkan wajahnya, hingga aku merasa tak nyaman. Kualihkan pandangan ke arah
lain.
“Jantungmu sakit lagi
ya?” bisik Kim So Eun.
“Tidak. Belum tentu.
Cuma dada kiriku yang terasa sakit,” jawabku acuh tak acuh. Gadis itu pun
memutar bola matanya kemudian merevisi pertanyaan.
“Baiklah. Pokoknya,
dada kirimu sakit lagi, ya?”
Tak ada yang bisa
kusembunyikan darinya, maka aku mengangguk ringan. Akhirnya ia mundur, memberi
kembali ruang untukku bernapas.
“Semakin lama
sepertinya kau semakin sering merasa sakit,” ujarnya. “Apa tidak sebaiknya kau
periksa ke dokter?”
Aku selalu sensitif
jika kata ‘dokter’ disebut.
“Aku tak punya uang,”
jawabku. “Aku bisa sekolah di sini juga kan berkat beasiswa.”
“Tapi ini menyangkut
kesehatan. Bagaimana jika seandainya kau mengidap penyakit yang—“ gadis itu
menghentikan ucapannya, mungkin menyadari wajahku menjadi pucat. “Yah, pokoknya
kupikir kau harus ke dokter.”
Sejujurnya yang lebih
kukhawatirkan bukanlah mengenai uang. Aku takut... bila dokter mengeluarkan
sebuah diagnosis... dan aku tak bisa lagi mengejar mimpiku. Kupikir...
sekalipun waktuku tiba... aku harus sudah menggapai mimpiku terlebih dahulu.
Dengan begitu aku bisa bergabung bersama Ayah dan Ibu.
“Manami!”
“Eh? Ya?”
“Apa yang barusan kau
pikirkan?” protes Kim So Eun. “Matamu gelap sekali, seperti sedang tenggelam
dalam sesuatu.”
“Tidak ada,” kataku
cepat, bersikeras. “Aku tak memikirkan apa-apa!”
Kim So Eun mendengus,
“Baiklah kalau begitu.” Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Sebagai
teman aku hanya bisa mengingatkan.”
“Ya, terima kasih
banyak.”
Gadis itu memang
sahabatku yang berharga. Sejak Mishima bersikap dingin padaku, hanya kepadanya
aku bisa mencurahkan keluh kesah. Hanya saja untuk yang satu ini... maaf, aku
tak bisa mengatakannya.
***
Aku selalu sampai di
rumah ketika hari sudah gelap. Pelajaran formal dan pelajaran khusus di akademi
sangat banyak menyita waktu.
Begitu masuk ke ruang
tengah, kesepian menyelimutiku. Tak ada tanda-tanda keberadaan Bibi Hiruko,
selain memo yang menempel pada pintu kulkas.
“Hari
ini aku pulang terlambat. Hangatkan kari untuk makan malam.”
Aku mencari makanan
yang dimaksud, tapi tidak ada. Kemudian aku mencari di meja makan. Piring
berisi kari itu ada di sana, tetapi isinya tinggal setengah. Berarti Mishima
sudah makan. Namun gadis itu tak terlihat di mana pun, mungkin sudah berada di
kamar.
Maka aku makan, seorang
diri. Bukan sesuatu yang mengherankan, karena selama tiga tahun belakangan aku
menghabiskan hampir setiap malam seperti ini. Masalahnya... aku tak pernah
terbiasa. Perlahan perih di dada kiriku timbul. Aku mencengkramnya erat-erat.
“Apa yang akan terjadi padaku?”
Di saat itu, tiba-tiba
telepon genggamku bergetar. Aku lekas meraihnya. Ada sebuah pesan masuk dari Kak
Yuto! Tanpa sadar kurasakan wajahku menjadi panas. Dada yang semula berdenyut
perih kini bertalu-talu dalam rasa harap-harap cemas.
“Tumben sekali beliau menghubungiku.”
Kubuka pesan tersebut,
lalu kubaca isinya dengan seksama.
“Manami, lihat ini!”
Selain kalimat singkat
itu, ia melampirkan foto sebuah poster dengan desain yang meriah.
“Agensi SM-Production menyelenggarakan audisi untuk Project Girlband-X.
Apakah anda yang akan menjadi anggotanya?”
SM-Production adalah
agensi terkenal dari Korea. Artis-artis di bawah naungan mereka biasanya tak
hanya terkenal dalam negeri, tapi juga sampai mancanegara. Tentu saja persaingannya
akan sulit. Tapi...
Aku meremas dada
kiriku.
“Mungkin saja ini cara tercepat yang bisa kutempuh.”
***
Pagi ini aku langsung
menuju ke tempat majalah dinding untuk melihat lebih jelas poster yang
dikirimkan Kak Yuto semalam. Dan rupanya tidak hanya aku, ada banyak murid yang
berkumpul di sana.
“Kau mau mencobanya?”
“Entahlah, aku ingin
sukses di Jepang dulu baru keluar negeri.”
“Bilang saja kau takut,
hahaha.”
Tanpa sengaja aku
menguping berbagai macam obrolan. Aku sendiri merasakan ketakutan yang muncul.
Apa aku bisa sukses di negara orang? Apa orang Korea menyukai orang Jepang
sepertiku? Mungkin Kim So Eun lebih cocok untuk audisi ini.
“Manami!” Tiba-tiba
seseorang menepuk bahuku dengan keras dari belakang, sampai aku hampir menubruk
orang yang berdiri di depanku. Bercandaan yang tidak lucu! Aku berbalik hendak
menegurnya. Namun saat aku melihat sosok pemuda jangkung bergaya harajuku yang
kukenal, aku malah merasa gembira.
“Kak... Yuto.”
“Kenapa kau tegang
begitu?” Ia nyengir lebar hingga deretan giginya yang seputih susu itu
membuatku makin salah tingkah.
“Aku—ah—audisi ini—“
kataku terbata-bata, meski faktor besar lain yang membuatku tegang adalah
keberadaan Kak Yuto sendiri.
Ia adalah seniorku yang
mengambil Fakultas Seni. Ia sendiri sudah sudah bergabung dengan agensi
SM-Production. Mungkin setelah lulus ia akan langsung melanjutkan ke Korea. Berarti
dengan bergabung ke SM-Production, maka aku dan Kak Yuto...
“Wajahmu memerah?”
“Ah! Tidak! Tidak!” Aku
cepat-cepat memalingkan muka. Uh, kenapa aku tidak bisa mengendalikan diriku
sendiri, sih?!
“Jadi...” lanjut Kak
Yuto. “Apa kau mau mencobanya?”
“Audisi ini?”
“Ya.”
“Kalau itu...” Aku tak
bisa memberi jawaban pasti. “Entahlah, apa aku mampu...”
“Kalau aku bisa, kenapa
kau tidak?!” Tiba-tiba pemuda itu mencengkram kedua bahuku erat-erat. Suaranya
juga agak berteriak, membuat orang-orang memandang ke arah kami. Aku jadi malu.
Kutundukkan sedikit kepalaku.
“Tapi, aku kan...”
“Dasar kau ini,” Kak
Yuto mendesah. “Kau pikir kau bisa hidup selamanya?”
“Eh?”
“Kalau kau bisa hidup
selamanya, tak masalah meski kau menghabiskan seratus tahun untuk merasa ragu,”
ucapnya lancar penuh keyakinan. Bisa kulihat tatapannya yang selalu dipenuhi
semangat membara. “Sayangnya hidup kita terlalu singkat. Semakin banyak waktu
yang kau habiskan untuk ragu, sebanyak itulah waktu yang kau sia-siakan.
Berhasil atau gagal adalah urusan belakangan. Namun tetap saja lebih baik gagal
setelah mencoba daripada gagal karena tak pernah melakukan apa-apa, kan?”
Aku terenyak. Kata-kata
Kak Yuto barusan seolah menjangkar erat di sanubariku. Kak Yuto tidak tahu
kondisiku, dan mungkin ia bicara berdasarkan pandangan hidup manusia normal.
Tapi tetap saja, hal itu sangat bisa kukaitkan pada diriku sendiri.
“Bagaimana jika waktu yang kuhabiskan untuk meragu adalah sia-sia?”
“Bagaimana jika aku mati besok?”
“Maka tak ada alasan untuk ragu.”
Sebuah beban bagaikan
terangkat dari pundakku. Kini aku bisa membulatkan keputusan.
“Kau benar, Kak.”
“Ya, kan?” Pemuda itu
menunjukkan senyumnya yang lebih cerah dari fajar. “Kalau kau diterima, kita
akan jadi senior-junior lagi di Korea!”
“I-iya.”
“Haha,” Kak Yuto menjulurkan
tangannya yang panjang lalu mengacak-acak rambutku. “Dasar adikku yang harus
selalu kusemangati baru bisa maju!”
Bertepatan dengan itu,
bel berbunyi. Kak Yuto terkejut, lalu ia berpamitan. Kami berpisah di sana,
dengan aku masih berdiri diam memandangi punggungnya yang semakin menjauh.
“Adik ya...”
Mungkin, ia memang
takkan pernah memandangku lebih dari ini. Tapi tidak apa-apa. Untuk saat ini,
kurasa justru hubungan seperti ini yang terbaik.
***
Semakin lama aku
meragu, semakin banyak waktu yang terbuang sia-sia. Karenanya sudah kuputuskan.
Aku harus menghentikan kediaman ini. Semakin lama kami saling berdiam diri,
semakin banyak waktu yang menghilang padahal seharusnya kami bisa membuat
banyak kenangan indah bersama.
Begitu aku pulang ke
rumah malam itu, aku segera mencari Mishima. Ia tak ada di ruang tengah.
Berarti ia sudah di kamarnya. Aku berjalan ke sana, lalu mengetuk pintu.
Tok.
Tok... Tok.
“Mishima!” panggilku
dari luar.
Tidak ada jawaban. Aku
terpaksa mengetuk sekali lagi.
Tok-tok-tok-tok.
“Mishima!”
Akhirnya terdengar
pergerakan dari dalam. Aku bisa menangkap sayup-sayup gerutuan, lalu pintu
dibuka. Gadis itu tampak berdiri di sana, memandang malas ke arahku.
“Ada apa?” tanyanya
ketus.
Sikapnya sempat
membuatku goyah. Mungkin lebih baik jika aku melupakan ini, dan membicarakannya
sepulang dari Korea. Tapi tidak. Aku tak ingin mengulur lebih lama lagi. Aku
pun menelan ludah sebelum memulai.
“Mishima,” kataku. “Ada
yang ingin kusampaikan.”
“Apa?” balasnya nyaris
membentak. “Cepatlah, sejak tadi kau cuma diam saja!”
“Mishima, aku tahu kau
membenciku. Aku juga merasa kematian Ayah dan Ibu adalah salahku—“
“Ini lagi?” potongnya.
“Aku sudah bosan!”
Gadis itu berniat
menutup pintu, tapi aku segera mencegahnya. Aku mengulurkan tangan untuk
menahan daun pintu.
“Dengar dulu!” seruku.
“Aku ingin kau tahu, bahwa aku benar-benar menyesal! Kalau bisa, aku harap aku
saja yang pergi, bukan Ayah dan Ibu! Tapi semua sudah terjadi. Karenanya aku
harus melanjutkan hidup dan menggapai mimpiku, demi mereka! Agar kematian
mereka tidak sia-sia!”
Kulihat Mishima
terbelalak. Ia memandangku keheranan. Saat itu ia sudah berhenti berusaha
menutup pintu. Kemudian serpihan suara mengalir dari mulutnya, hanya sedikit
lebih keras dari bisikan.
“Kau... selalu saja
seperti ini.”
“Apa? Apa maksudmu?”
“Yang kau pikirkan
hanya kau, kau, dan kau! Selalu dirimu sendiri! Bahkan setelah Ayah dan Ibu
tiada, kau terus memikirkan dirimu dan mimpimu!”
“Mishima?” Aku tergugu.
“Apa maksudmu?’
“Selama ini Ayah dan
Ibu selalu menganggapmu sebagai anak emas,” lanjutnya. “Semua yang kau butuhkan
selalu dipenuhi. Ya, aku tahu aku bukan anak yang membanggakan sepertimu.
Karena itu aku selalu bersabar. Aku ingin menjadi sukses, barulah menjadi
bagian dari kalian. Tapi... kecelakaan itu terjadi.”
Aku menutup mulutku
sendiri dengan kedua telapak tangan. Selama ini aku tak pernah menyadarinya.
Apa Mishima selalu merasa dikucilkan? Karena itukah?
“Aku—aku tidak
bermaksud—“
“Semua sudah terjadi,
aku tak peduli lagi!” sergahnya. “Yang jadi masalah... kau... setelah Ayah dan
Ibu pergi, kau terus berjalan ke depan. Kenapa? Kenapa kalian terus meninggalkanku
sendirian?!”
Aku terenyak. Jadi
selama ini, bukan aku yang merasa kesepian. Justru Mishima lah. Gadis itulah yang
terus terkungkung dalam kesendirian, bahkan sejak sebelum kecelakaan itu
terjadi.
Tanpa sadar buliran air
mata meluruh di pipiku. Aku lantas menyerbu ke arah Mishima, lalu memeluk gadis
itu erat-erat.
“Maaf! Maaf! Maafkan
aku! Aku... aku tak pernah tahu... Aku...”
Awalnya hanya aku, tapi
perlahan-lahan aku bisa mendengar suara napas yang terisak.
“K... Ka... Kak
Manami...”
Tangis Mishima pun
pecah. Kami berdua saling memeluk, saling membenamkan tangis pada bahu
masing-masing. Untuk pertama kalinya entah sejak berapa tahun, aku merasakan
kembali bagaimana memiliki seorang saudari.
“Kak Manami... jangan
tinggalkan aku lagi!”
Ironinya, justru aku
tak bisa mengatakan ‘Ya’. Karena ada jalan yang harus kutempuh. Tapi aku
bersumpah, setelah aku berhasil, aku akan kembali. Mishima, takkan kubiarkan
kau sendiri lagi.
***
Berita tentang
rencanaku untuk mengikuti audisi SM-Production beredar cepat. Seluruh teman
sekelasku tahu, dan sebagian besar dari mereka mengucapkan pesan-pesan
penyemangat sebelum keberangkatanku. Kurasa hanya Sakura, yang tak mengatakan
apa-apa. Tapi biarlah, yang terpenting bukan berapa banyak doa yang kubawa,
melainkan berapa besar usaha yang kulakukan.
Sore terakhir sebelum
keberangkatan, aku berjalan bersama Kim So Eun dan Kak Yuto menuju gerbang
sekolah.
“So Eun, harusnya kau
ikut audisi,” ucap Kak Yuto. “Asalmu dari Korea, kan? Dengan begitu kau bisa
pulang.”
“Untuk apa, lagipula
orang tuaku bekerja di sini,” balas Kim So Eun. “Pulang itu ke tempat orang
tuaku berada, bukan sekedar ke tempat aku dilahirkan.”
Aku menelan ludah,
merasa tak nyaman mendengarkan percakapan ini. Aku lekas memikirkan sebuah
topik untuk mengalihkan pembicaraan. Namun topik itu ternyata datang sendiri
tanpa diundang. Sakura, tampak gadis itu sedang menunggu di samping gerbang.
Begitu melihat kami, ia langsung menyalak.
“Manami, kau akan
berangkat audisi?!”
“Aigoo, mau apa lagi
dia,” gumam Kim So Eun kesal.
“Iya,” jawabku. “Tapi
mungkin saja aku tidak ak—“
“Berhenti sampai di
situ!” hardiknya, membuatku terlonjak. “Manami, kau tahu apa yang membuatku
sangat membencimu?!”
Pertanyaan yang tak
kuduga. Tapi jawabannya jelas. Kurasa.
“Karena aku menggeser
posisimu di peringkat satu, pada semester dua?”
Sakura mengerutkan
kening. “Kau ini bodoh atau pura-pura bodoh, ya?”
“Hei, kau—“
Kak Yuto tampak marah,
namun aku menahannya. Sejujurnya aku sendiri penasaran mengapa Sakura
membenciku.
“Yang tidak kusukai darimu,”
kata gadis itu, “adalah bagaimana kau selalu merendah! Bahkan setelah
mengalahkanku, kau bilang itu cuma keberuntungan? Padahal aku tahu segala usaha
kerasmu, dan kau tetap bilang keberuntungan? Apa aku ini sepayah itu sampai
bisa kalah hanya karena keberuntungan?!
“Tak hanya itu, tiap
kuhina kau selalu merendah. Aku tidak suka! Aku ingin persaingan yang sehat,
bukannya saling merendah seperti itu! Kau adalah hipokrit!”
Bukan, aku bukan
hipokrit. Bukannya juga merendah. Aku hanya... aku hanya tidak percaya diri.
Aku tak pernah menyangka Sakura mengartikannya lain.
“Karena itu, angkatlah
kepalamu! Berjuanglah seperti yang biasa kau lakukan! Pulang dan busungkan
dadamu!”
Belakangan ini semuanya
menjadi jelas. Hal-hal penuh misteri itu terkuak satu demi satu. Apa
penyebabnya? Aku tidak tahu. Yang jelas aku ingin mengucapkan satu hal.
“Terima kasih!” Aku tak
bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Sejujurnya, sejak dulu aku selalu
ingin bisa berteman dengan Sakura. Ia adalah panutanku, yang membuatku tak mau
berhenti berjuang.
Gadis itu
menyunggingkan senyum, lalu melenggang pergi.
“Huh, sombong sekali!”
Kim So Eun masih
menggerutu, namun kurasa itu adalah cara Sakura untuk menyemangatiku.
“Kak Yuto, So Eun,”
kataku. “Aku juga sangat berterima kasih pada kalian.”
Wajah Kim So Eun serta
merta menjadi merah, sementara Kak Yuto mengucapkan ‘sama-sama’ diiringi senyum
ringan.
Sekarang, tinggal aku
menghadapi audisi tersebut.
***
Hari audiri tiba. Aku
dan ratusan—atau mungkin ribuan—orang lainnya mengantre di gedung pusat
SM-Production. Kulihat paras-paras mempesona yang dilengkapi bakat luar biasa.
Banyak yang memiliki suara merdu juga gerakan tari yang halus. Melihat mereka
melakukan pemanasan di ruang tunggu membuatku gugup. Belum lagi pendingin
ruangan yang entah mengapa terlalu dingin. Aku menjepit kedua telapak tanganku
di bawah paha untuk menghangatkan diri.
Lalu nomor urutku
dipanggil.
“3702!”
Aku berjalan memasuki
ruang audisi. Kuingat semua latihan yang pernah kulakukan. Kuamalkan segala
ajaran yang diberikan para instruktur—mulai dari cara jalan, cara memandang,
cara menarik suara, cara menyanyi, sampai cara menari.
Kuperkenalkan diri pada
barisan juri penilai.
Suara jelas, ramah, dan
penuh percaya diri.
Selanjutnya aku mulai
menyanyi. Kukeluarkan semua yang kumiliki. Gerakan tangan dan kakiku mengikuti.
Aku mengcover sebuah lagu dari
girlband kenamaan, sekaligus memikirkan koreografi solonya. Dengan begitu
kuharap dapat memikat para juri.
Benar saja, kurasakan
tatapan mereka yang begitu fokus. Namun aku tidak boleh besar kepala dulu. Yang
penting adalah memberi pertunjukan terbaik.
Anggap semua
penontonnya adalah batu. Kecuali Ayah dan Ibuku. Aku ingin mereka melihatku
dari atas sana.
Dadaku mulai berpacu
mengikuti setiap pergerakanku. Tubuhku semakin panas, membuatku makin bebas.
Aku terus beraksi, melantunkan nada-nada sulit sambil konsisten mempertunjukkan
koreografi. Saat akhirnya selesai, aku merasa baru saja terbangun dari mimpi
yang indah.
Para juri diam
terkesima untuk beberapa saat. Aku pun berdiri tegap, lalu menundukkan badan
sebagai tanda terima kasih. Aku tetap berada dalam posisi itu seraya mengatur
napas.
Lalu sebuah tepuk
tangan terdengar. Begitu antusias. Diikuti tepukan-tepukan berikutnya. Aku tak
tahu apa seorang juri perlu mengapresiasi peserta audisi seperti ini, yang
jelas itu membuatku senang. Dadaku mulai berdebar-debar, memikirkan seberapa
besar kesempatanku lolos.
Akupun mengangkat
wajahku untuk melihat ekspresi para juri.
Namun...
Jantungku tiba-tiba
terasa sakit, seakan tertusuk tombak besar. Kedua lututku lemas seketika. Aku
terjatuh seraya memegangi dada. Napasku menjadi sesak. Bahkan aku tak punya
kekuatan untuk menoleh. Yang bisa kulakukan hanya meringkuk, sampai kurasakan
sesuatu menghilang.
Detak itu, tak ada
lagi.
Kepalaku mulai pusing.
Pandanganku kabur.
Seruan juri yang sempat
terdengar kini menghilang, mengirimku pada sunyi abadi.
Aku bagai diseret
menuju alam mimpi panjang.
Dan di detik terakhir,
penyesalan datang.
Mengapa akhirnya datang
begitu cepat, sebelum aku meraih sesuatu? Aku... aku harus meninggalkan
Mishima.
Dingin pun menjalar.
Ketakutan menghantui. Sebuah pemikiran yang tak kupercaya akan muncul melintas
di benakku.
Seandainya... aku tetap
di samping Mishima saja...
Lalu penghabisan tiba.
Comments
Post a Comment