Nyx Blight - The Pandemic
Nyx Blight
Basic Concept : A.K.I
Author : Candle Light Service
1
Perjalanan peradaban
Eropa selalu diwarnai dengan darah. Mulai dari Yunani, Romawi, hingga bangsa
Hun, kerap memicu perang yang membuat berjuta nyawa melayang. Tapi ternyata
pedang dan panah bukanlah musuh yang paling menakutkan, sebab kita masih bisa melihat
kedatangannya, dan dapat bersembunyi karenanya.
Tahun 1347 dua belas kapal
pedagang Genoa merapat di pelabuhan Sisilia. Seharusnya kapal-kapal itu
ditembaki panah api, biar terbakar saja di lautan lepas. Sayangnya mereka
dibiarkan berlabuh. Tidak ada prajurit Ottoman ataupun bangsa Mongol di
dalamnya, melainkan sesuatu yang lebih mematikan—keberadaan yang mampu menyapu
bersih seperempat populasi Eropa tanpa pandang bulu. Itu adalah “Maut Hitam”,
wabah yang menjangkit para pedagang Genoa lalu menyebar di pelabuhan Sisilia
yang kemudian hari mengamuk murka membinasakan semua.
Kau tidak bisa melihat
penyakit. Kau tak pernah tahu bagaimana ia datang, dan kapan ia mendekapmu.
Yang kau tahu adalah saat gejala-gejalanya muncul, dan ketika itu terjadi, maka
takdir burukmu sudah dipastikan. Akan muncul benjolan-bejolan besar, demam
tinggi, muntah darah, kemudian jaringan kulit dan daging akan mati dan
menghitam—tentu saja.
Tidak ada benteng yang
bisa menghalanginya, belum juga ditemukan ramuan yang bisa mengobatinya. Banyak
yang berpikir ini sebagai tulah dari Tuhan, yang membuat mereka
berbondong-bondong melakukan pertaubatan di Gereja, yang akhirnya pun sia-sia—pendeta
dan uskup tak lebih berdaya dari dokter.
Saat salah satu anggota
keluarga tercium Maut Hitam, itu menjadi mimpi buruk bagi sisa anggota keluarga
yang lain. Wabah ini membuat orang-orang berpikir bahwa kiamat sudah dekat, dan
jika pada akhirnya semua pasti mati, maka apa gunanya menjaga kestabilan
sosial. Kekacauan pun merebak—penjarahan, maksiat, kebejatan, terjadi di mana-mana.
Orang-orang miskin
terisak, sementara orang kaya melindungi diri, harta, dan keluarganya ke vila
terpencil yang jauh dari penyakit. Matahari seakan terbenam selamanya di Eropa.
Namun, di saat para
dokter tak berani mengambil resiko, masih ada orang-orang yang mau menantang
sang maut. Mereka adalah yang seluruh tubuhnya terbalut baju hitam, dan
mengenakan topeng berparuh burung, yang ekspresi dinginnya entah memancarkan
kebaikan atau kejahatan.
Para Plague Doctor.
***
2
Tahun-tahun berlalu
semenjak katastropi Maut Hitam. Kehidupan perlahan menggeliat kembali. Para
petani dan peternak mulai bekerja seperti biasa, berusaha menumbuhkan pangan
bagi mereka yang berhasil selamat. Kota-kota terlihat kosong setelah ditinggal
setengah penduduknya. Sedikit demi sedikit semua orang berjuang untuk melupakan
kesedihan yang telah lalu, demi mensyukuri kesempatan kedua yang telah
diberikan Tuhan bagi Eropa.
Giovanni de Ventura
menarik napas panjang, mengkhidmati udara pagi. Walau sudah lama waktu berlalu,
ia masih tak habis pikir bisa menjadi satu-satunya Plague Doctor yang bertahan
di Pavia. Jubah panjang, sarung tangan, sepatu boot, topi lebar, lapisan baju
luar, serta topeng berparuh burung yang diisi substansi penyaring udara, tak
menjadi jaminan keselamatan. Dari dua belas Plague Doctor yang bekerja saat
wabah menyerang, hanya ia yang tak terjangkit Maut Hitam. Sulit dipercaya, tapi
terjadi. Sebuah keajaiban.
Dari jauh, tampak dua
orang mendekati pekarangan rumah orang tuanya. Mereka berkuda, seorang pemuda
dan seorang prajurit. Giovanni tak yakin sigil keluarga mana yang tertera di
seragam prajurit itu.
“Selamat pagi, Tuan
Giovanni,” sapa sang pemuda setelah turun dari kuda. Ia tahu siapa yang ia ajak
bicara. “Nama saya Hugo, asisten Count Friedrich Urach, penguasa Freiburgh.”
Giovanni mengangguk.
Jabatan pemuda itu menjelaskan baju bagus yang ia kenakan. Hanya saja kainnya
begitu lusuh, senada dengan ekspresinya yang letih. Sepertinya kabar buruk akan
segera diperdengarkan.
“Silakan duduk,” kata
Giovanni, merujuk pada bangku besi tua yang terletak di halaman.
“Terima kasih,” jawab
Hugo. Setelah merasa nyaman, ie lekas menyampaikan maksud dan tujuannya. “Kami
dengar Anda melakukan pekerjaan hebat saat menangani Maut Hitam di kota ini.”
“Aku sama saja seperti
yang lain,” balas Giovanni datar. “Hanya sedikit beruntung.”
“Rendah hati sekali.”
“Tidak perlu memuji
berlebihan. Kita semua tahu Plague Doctor bukan dokter sungguhan. Kami hanya
cadangan yang diturunkan saat tak ada yang mau menyentuh orang yang tertular
penyakit. Karena kau membahas soal itu... kuduga kedatanganmu berkaitan dengan
penyakit.”
“Maaf jika membuat Anda
tak nyaman,” Hugo mengetuk-ngetuk pahanya sembari melirik ke arah lain—mencari
inspirasi—, lalu memutuskan untuk berhenti basa-basi. “Sebulan yang lalu wabah
menyerang Freiburgh. Dokter bilang itu adalah Maut Hitam. Keeseokan harinya ia
pergi dari kota, meninggalkan kami dalam kebingungan.”
Giovanni mengerutkan
dahi. Ia tak bisa langsung menyetujui. Berurusan dengan Maut Hitam berarti
membuka kenangan lama yang menyakitkan. Namun, ia sudah bersumpah pada makam
kedua orang tuanya—dan ia mengutuk dirinya sendiri karena itu—untuk memerangi
wabah itu bagaimana pun caranya.
“Tuanku sudah
menyiapkan bayaran yang pantas, sebab tak ada dokter yang bisa kami minta
bantuan,” lanjut Hugo seolah itu yang dikhawatirkan Giovanni.
Giovanni akhirnya
mengangguk.
“Kapan kau mau aku
berangkat?”
***
3
Sudah lama sejak
terakhir Giovanni melakukan perjalanan panjang. Ia, Hugo, dan seorang prajurit,
berkuda dari Pavia ke Freiburg melewati jalur utama penghubung laut selatan dan
utara. Sebuah ekspedisi yang panjang dan melelahkan. Ia beruntung melakukan
perjalanan ini bersama asisten seorang penguasa, sebab jika tidak, kemungkinan
besar ia harus menghabiskan setiap malam tidur di lahan terbuka.
Setelah sembilan hari,
rombongan itu tiba di area Schwarzwald, atau yang biasa disebut Hutan Hitam. Mereka
harus mengikuti jalan menembus pohon-pohon kayu yang besar. Katanya area ini
sangat luas, sehingga terdapat beberapa kota—salah satunya adalah Freiburgh,
tempat yang Giovanni tuju. Sebuah kota persinggahan pedagang karena lokasinya
yang berada di jantung Eropa.
Di tengah perjalanan
Giovanni melihat beberapa ekor sapi, yang menurutnya berukuran terlalu kecil
untuk disebut sebagai sapi—tingginya mungkin hanya satu meter lebih sedikit.
“Itu sapi hinterwald,”
kata Hugo menjelaskan, “Anda hanya akan menemukannya di Schwarzwald. Tak ada
lagi di belahan Eropa manapun.”
Kawanan ternak itu
dibiarkan merumput, sementara penggembalanya duduk di bawah pohon sambil
terkantuk-kantuk.
Keunikan Schwarzwald
tak berhenti sampai di situ, sebab beberapa saat kemudian Giovanni melihat
jamur yang menarik tumbuh di antara rerumputan. Warnanya merah cerah dengan
bintik-bintik putih, seperti kue yang ditaburi toping.
“Jamur fly amanita,”
jelas Hugo mulai tampak seperti pemandu wisata. “Penampilannya mungkin menarik,
tapi anda tak boleh memakannya begitu saja. Racunnya perlu dibersihkan terlebih
dulu. Rasanya tidak begitu enak, tapi beberapa orang menyukainya.”
Tidak, Giovanni memang
tak pernah berniat memakannya, ia hanya mengagumi warnanya.
Sebuah dinding yang
membentang mulai terlihat di antara pepohonan. Hugo buru-buru memasang masker
kain untuk menyaring jalur pernapasannya. Giovanni melakukan hal yang sama,
sebab tidak akan baik jika orang yang bertugas untuk mengobati malah tertular
dan mati lebih dulu dari pasiennya.
Seorang penjaga gerbang
memberi salam pada Hugo lalu membiarkan mereka masuk. Sebuah kota yang muram
pun menyambut mereka dengan kemurungan penghuninya. Ada sebuah rumah yang
pintunya terbuka, dari dalamnya terdengar tangis pilu. Tapi tidak ada tetangga yang
berkunjung, sebab semua lebih memilih bersembunyi di rumah masing-masing.
Memang masih ada jemaat gereja yang mau menolong proses penguburan sesamanya,
tetapi jumlah jenazah yang ada lebih banyak dari yang mampu mereka tangani.
Sebuah lubang besar tampak digali ketika Hugo membawa Giovanni melewati
pemakaman umum. Puluhan mayat tergeletak di sampingnya, ditutupi oleh kain
putih, dihiasi kumpulan lalat. Aroma menyengat pun terhirup, membuat Hugo
mempercepat laju kudanya.
Mereka terus menyusuri
kota, menuju sebuah bukit di mana berdiri kastil yang megah.
“Itu adalah Kastil
Scholsberg, kediaman Count Friedrich,” kata Hugo.
Giovanni mengerti, itu
adalah tempat sang penguasa menyembunyikan dirinya dari wabah yang mengamuk di
dunia luar.
Kemudian Hugo mengantarnya
ke sebuah bangunan kecil yang berada di kaki bukit, tepat di pinggir jalan
menuju kastil.
“Anda mungkin lelah
setelah perjalanan panjang,” kata Hugo. “Silakan beristirahat, lalu Anda bisa
segera mulai bekerja. Tolong kami mengendalikan wabah ini. Hubungi aku di
kastil jika butuh sesuatu, tapi mohon maaf Anda tak diperbolehkan masuk ke
dalam.”
Count Friedrich
mengingatkan Giovanni pada para pendeta di Pavia yang menolak menemui jemaat
karena takut terpapar Mau Hitam. Bisa dimengerti. Pria itu mengangguk setuju,
lalu masuk ke dalam. Ia perlu membulatkan tekad sebelum berhadapan dengan sang
maut setelah bertahun-tahun tak jumpa. Bagai bertemu teman lama.
***
4
Giovanni minta untuk
dipersiapkan sekelompok prajurit dan tukang bangunan berpakaian rapat. Ia menyuruh
mereka semua mengenakan masker kain, sedangkan ia sendiri memakai seragam
Plague Doctor. Kemudian mereka berjalan di tengah kota pada siang hari, bagai
rombongan pemain sirkus.
Tiba-tiba seorang anak
kecil berlari menghampiri mereka. Ia sama sekali tidak takut melihat topeng
Giovanni. Ada rasa takut lain yang tergambar dalam rautnya yang berkaca-kaca :
takut akan kehilangan.
“Tuan! Tuan! Apa benar
Anda adalah seorang dokter?”
“Ya,” jawab Giovanni
singkat.
“Tolong ibuku!” Anak
itu langsung menarik baju Giovanni dengan tangis yang hampir pecah. “Ibuku
sakit!”
“Tentu,” jawab
Giovanni. “Tunjukkan rumahmu.”
Anak itu berlari kecil
menuntun jalan, tetapi orang-orang dewasa yang dituntunnya tak terketuk untuk
berjalan lebih cepat. Alhasil ia harus berhenti tiap kali menyadari dirinya
sudah terlalu jauh, atau ketika sampai di tikungan. Setelah tiga blok, mereka
tiba di sebuah rumah yang tak begitu besar. Pintu maupun jendelanya tertutup,
seolah tak ada yang menempati.
Giovanni masuk
mengikuti anak itu. Saat prajurit hendak mengikuti, ia menahan mereka agar
tetap menunggu di luar.
“Ada siapa saja di
rumah ini?” tanyanya sambil melintasi ruang tamu. Tampak sup jamur fly amanita
yang tak tersentuh di meja makan.
“Hanya aku dan ibu.”
Akhirnya mereka sampai
di kamar. Di sana teronggok lemas seorang perempuan paruh baya. Giovanni
mendekat ke tepi ranjang. Ia mengamati ujung-ujung jari wanita itu yang mulai
menghitam, juga ada benjolan di leher. Tak salah lagi, itulah gejala dari Maut
Hitam.
“Sudah berapa lama?”
tanyanya.
Anak itu kebingungan.
Ia coba menghitung dengan jarinya, tapi tak lebih dari gestur, sebab ia memang
belum bisa berhitung. Sementara ibunya terus memejamkan mata menahan sakit.
“Siapa saja yang
merawatnya selama ini?” Giovanni mengubah pertanyaannya.
“Bibi.”
“Ia tinggal di sini?”
“Ia datang tiap pagi
dan sore membawa makanan.”
“Di mana rumahnya?”
“Sebelah... yang cat
pintunya merah.”
Giovanni mengangguk,
lalu berbalik, “Tunggu di sini sebentar.”
Dengan langkah mantap
pria itu meninggalkan kamar, menyebrangi ruang tamu, lalu keluar. Rombongan
prajurit dan tukang bangunan yang tengah menjadi pusat perhatian penduduk
sekitar itu segera bereaksi.
“Karantina rumah ini,”
kata Giovanni dingin. “Tutup pintunya, jendelanya, semua lubangnya. Jangan
biarkan Maut Hitam keluar!”
Para prajurit masih
bergeming, sementara tukang kayu meragu. Bahkan salah satu di antara mereka
melontarkan pertanyaan, “Bukankah masih ada orang di dalam?”
“Justru karena orang
pesakitannya di dalam, kita harus mengisolasinya agar tak menjangkiti penduduk
yang lain. Inilah yang kami lakukan di Pavia. Tuan kalian membayarku untuk
melakukan ini di Freiburgh, untuk menyelamatkan kota kalian. Atas nama Count
Friedrich, cepat lakukan!”
Akhirnya kepala
prajurit memerintahkan tukang bangunan bekerja. Mereka menutup pintu, lalu
melapisnya dengan kayu dan baut besi. Tentu saja penduduk yang tinggal di gang
itu bertanya-tanya, sebagian menonton di pinggir jalan, sebagian mengintip dari
jendela, tapi tak ada yang berani menyela. Kecuali seorang wanita gemuk paruh
baya yang berlari pada seorang tukang yang sedang memalu, lalu berusaha menarik
lengannya.
“Hentikan!” serunya.
“Apa yang kalian lakukan pada rumah adikku?!”
“Nyonya, menjauhlah.”
Seorang prajurit berusaha menghalanginya, tapi ia tetap mengamuk.
“Tunggu dulu,” akhirnya
Giovanni angkat bicara. “Apa Anda adik dari pesakitan di dalam?”
“Ya! Memangnya kenapa?”
“Kau melakukan kontak
setiap hari dengan si pesakitan?”
“Dia bukan pesakitan!
Dia adikku!”
“Kurung ia di rumahnya,
dan isolasi! Mungkin Maut Hitam sudah meyebar di tubuhnya.”
Bukannya menurut,
prajurit yang memegang wanita itu malah buru-buru menjauh, takut tertular.
“Jangan takut! Memang
apa gunanya zirah yang kau kenakan?!” teriak Giovanni parau, membuatnya
terlihat seperti monster burung gagak sungguhan. “Atas perintah Count
Friedrich, demi melindungi kota ini, kurung wanita itu di rumahnya!”
Prajurit pun bergerak,
menyeret sang wanita yang mengamuk sejadi-jadinya. Berbagai sumpah serapah
keluar dari mulutnya, termasuk hina kebencian yang dilayangkan pada sang Count.
“Apa tidak cukup
menyiksa kami dengan pajak yang tinggi? Sekarang kau mau membunuhi rakyatmu
sendiri? Tolong! Tolong aku! Kalian! Jangan diam saja, tolong aku!”
Orang-orang yang
menonton sebagian sudah tampak geram, tapi Giovanni tahu kenapa mereka masih
diam dan akan memanfaatkan hal itu untuk mengendalikan situasi.
“Coba saja menolongnya!
Kalian tidak akan dieksekusi oleh pedang prajurit. Yang akan membunuh kalian
adalah wabah yang mungkin sudah menulari wanita ini!”
Wanita itu pun
dimasukkan ke dalam rumahnya, bersama dengan suami dan anak-anaknya. Mereka
dikunci di dalam, lalu pintunya ditutup selama-lamanya. Teriak dan tangis tak
Giovanni hiraukan, sebab ia percaya ini satu-satunya jalan, demi kebaikan yang
lebih besar. Inilah yang ia lakukan di Pavia dulu, dosa yang dengan rela ia
tanggung demi mennyelamatkan penduduk Eropa dari kepunahan. Beban yang
membuatnya tak pernah lagi tersenyum sejak bertahun-tahun silam.
***
5
Seminggu berlalu sejak
Giovanni mulai mengurung orang-orang sakit di rumahnya. Saat merasa cara itu
tak efektif, ia mulai menyeret mereka ke gedung-gedung kosong, lalu
menguncinya, membiarkan mereka membusuk di dalam. Konflik yang terjadi biasanya
hanya dengan keluarga korban, sebab warga yang sehat kebanyakan memilih untuk
tinggal dalam rumahnya sendiri. Rasa takut terhadap Maut Hitam telah mematikan
kemanusiaan mereka.
Terkadang Giovanni
berpikir akan lebih cepat jika ia mengeksekusi orang-orang itu, tapi ia bukan
iblis. Hati manusianya tak mampu melakukan itu. Biarlah alam yang merenggut
mereka.
Satu hari Hugo mendatanginya,
memberitahu panggilan dari Count Friedrich. Ia naik ke bukit Schlosberg, tapi
tak diperkenankan masuk ke dalam kastil. Ia hanya berdiri di depan pintu utama,
lalu berbicara pada pipa yang dipasang ke dalam. Teknik komunikasi ini juga
digunakan para pendeta saat harus memimpin ibadah tapi tak mau melakukan kontak
dengan masyarakat yang sudah terjangkit Maut Hitam.
“Kudengar kau mengurung
banyak orang,” ucap Count Friedrich, suaranya menggema.
“Wabah ini tidak ada
obatnya, Tuanku. Jadi yang perlu kita lakukan adalah mencegah penyebarannya,”
tegas Giovanni.
“Jangan salah paham,
aku tidak menyalahkanmu. Yang kuinginkan adalah melindungi Freiburgh, dan kau
sudah membantuku melakukannya.”
***
6
Tiap kali Giovanni
berjalan di kota mengenakan konstum Plague Doctor, seolah justru ia lah sang
kematian. Orang-orang takut sekali bertemu dengannya, mereka biasanya lekas
sembunyi begitu menyadari keberadaannya. Padahal, ia datang untuk
mengobati—maksudnya mencegah penyebaran.
Tapi ada yang aneh.
Sudah tiga minggu semenjak pria itu memulai isolasi orang-orang, namun wabah
tak kunjung berkurang. Ada saja orang yang sebelumnya sehat kini terjangkit.
Sehingga pekerjaan para tukang bangunan tak kunjung usai. Perlawanan pun makin
marak. Masyarakat sudah tidak peduli terhadap penyakit, sebab mereka merasa
cepat atau lambat semua akan terjangkit. Mereka hanya tidak mau dikurung
hidup-hidup.
Bahkan suatu hari, saat
akan menutup sebuah rumah, Giovanni, para prajurit, dan tukang bangunan,
dilempari menggunakan kain yang bekas dipakai mengelap darah dan cairan tubuh
pesakitan. Mereka yang tak siap mental langsung berlarian histeris, takut
kalau-kalau penyakit itu menularinya.
Situasi menjadi amat
kacau, ketika muncul juga pergerakan protes terhadap Count Friedrich. Mereka
marah karena sang penguasa hanya memikirkan dirinya sendiri. Keadaan semakin
genting kala satu legiun prajurit datang. Giovannia langsung mengenali sigil
yang mereka kenakan, yakni milik keluarga Hapsburg, penguasa Kekaisaran Suci
Romawi saat ini.
Ketegangan yang dibawa
legiun prajurit itu membuat masyarakat diam untuk sesaat, meski maksud
kedatangannya belum jelas. Giovanni lekas mengikuti mereka menuju Scholsberg,
yang tetap tak diterima langsung oleh Count Friedrich. Sementara para prajurit
beristirahat di perkemahan yang sudah disediakan, jendralnya berbicara dengan
sang Count melalui lubang pipa.
“Maaf atas
ketidaksopanan ini,” Count Friedrich mengawali.
“Tidak masalah,” jawab
sang jendral tua.
“Seperti yang telah
disampaikan asistenku, saat ini Freiburg menghadapi masalah besar, wabah Maut
Hitam berkecamuk di kota ini. Aku takut, tragedi yang sama terulang lagi, kali
ini memusnahkan Kekaisaran Suci Romawi.”
“Dan kau ingin aku
memusnahkan rakyatmu sendiri?”
“Demi mencegah
penyebaran wabah.”
Refleks Giovanni
mengangkat suaranya meski tak diminta, “Kau tak bisa melakukan itu!”
“Plague Doctor! Kau ada
di sini?” sang Count tampak terkejut, tapi segera mengembalikan nada suaranya
yang selalu ringan seolah menganggap semua tak lebih dari bidak permainan. “Kau
sendiri yang mengatakan ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan penyebaran.
Jika seluruh kota terjangkit, berarti seluruh kota harus diisolasi—atau
dimusnahkan saja biar cepat.”
Selama ini Giovanni
sudah berpikir dirinya adalah iblis yang penuh dosa. Namun, ternyata ada iblis
yang lebih kejam, yakni iblis yang tanpa ragu membinasakan semua. Seketika
segala perasaan sedihnya membuncah keluar, tak mampu lagi ia menahannya. Air
matanya mengalir deras kala mengingat orang-orang tak berdosa yang harus
diisolasi, dan rupanya semua itu sia-sia, karena akhirnya Count Friedrich akan
membumihanguskan semua.
“Dia hanya takut
rakyatnya memberontak!” teriak Giovanni sembari menuding-nuding lubang pipa.
“Dia ingin menghabisi rakyatnya sebelum hal itu terjadi! Jendral, jangan
dengarkan kata-katanya!”
Sebagai seorang jendral
tua yang sudah banyak memakan asam garam kehidupan, tentu ia tahu akal bulus
sang rubah. Namun, ia tak bisa menampik bahaya Maut Hitam yang mengancam
keselamatan seluruh kekaisaran—oleh sebab itu tak punya pilihan selain bermain
dalam permainan Cout Friedrich.
“Maaf nak,” ucapnya
pelan dan tegas, mematahkan harapan Giovanni. “Kau adalah Plague Doctor?
Kuanggap kau yang paling banyak melakukan kontak dengan pesakitan?”
Buruk, benar-benar
buruk. Giovanni akan menjadi orang pertama yang dimusnahkan. Tanpa pikir
panjang ia mengambil langkah seribu. Ia berlari sejadi-jadinya, tak peduli
seseorang memanggil namanya. Ada prajurit yang kebetulan berdiri tak jauh
darinya, dan ia menghindari lalu terus berlari menuruni bukit. Sambil melintasi
kota, ia berseru.
“Lari! Lari! Count Friedrich
akan membunuh kalian semua!”
Giovannia merasa sangat
tak berdaya. Pada akhirnya ia tak bisa melakukan apapun untuk mengalahkan Maut
Hitam. Yang bisa ia perbuat hanyalah berlari, hingga melewati gerbang kota.
Energinya baru habis saat ia sudah berada di antara pepohonan besar, dan yakin
tak ada yang mengejar. Susah payah ia mengatur napas, kala dadanya seperti
ingin meledak.
Ia sampai di sebuah
area berumput yang lumayan luas. Ia mengingat tempat itu, di mana peternak
memberi makan sapi-sapi hinterwaldnya. Kini saat dirinya mulai tenang, indera
penciumannya menangkap aroma yang kurang baik. Hawa busuk yang ia kenal betul
dari mana asalnya, kalau bukan bangkai yang mengendap tak terurus. Berbagai
praduga memenuhi kepalanya, salah satunya kemungkinan si penggembala sapi sudah
terjangkit Maut Hitam dan mati tanpa diketahui siapapun.
Giovanni spontan
berjalan mengikuti sumber bau sambil menutup mulut dan hidungnya dengan kain.
Dan apa yang ia temukan di sana membuatnya tak habis pikir, sebab ia melihat jasad-jasad
sapi hinterwald yang terkapar membusuk. Setahunya wabah Maut Hitam hanya
menjangkit manusia, tidak ke hewan ternak.
Tak jauh dari sana, ada
jasad lain yang membusuk sambil bersender pada pohon, kali ini mayat
manusia—sang gembala.
“Kenapa?”
Giovanni mendekati
jasad hitam itu, yang membawa kantung kulit berisi jamur fly amanita. Hugo
pernah bilang jamur itu beracun, tapi penduduk asli Schwarzwald harusnya
mengetahui hal itu, kan?
Tiba-tiba terdengar
suara rintihan pelan, yang jelas bukan berasal dari mayat sang gembala.
Giovanni mencari-carinya, lalu mendapati sapi kecil yang meringkuk dekat
bangkai ibunya. Makhluk malang itu terlihat sangat lemah, tapi—Giovanni
terperangah menyadarinya—tak terjangkit Maut Hitam. Sapi kecil itu kurus,
karena tak bisa menyusu pada ibunya. Mengingatkan Giovanni pada anak kecil yang
ia kurung bersama ibunya di dalam rumah.
Ini baru dugaan, tapi
Giovanni merasa tak ada salahnya mencoba. Jika tidak bisa mencegah pembantaian
masal, setidaknya ia bisa menunda.
***
7
Para prajurit Hapsburg
bergerak dengan sangat cepat, mereka sudah mengosongkan setidaknya lima puluh
rumah. Kericuhan terjadi antara masyarakat dan militer, tapi apa daya
orang-orang sakit itu tak berkutik di hadapan pedang dan zirah. Prajurit
menyeret tanpa pandang bulu mulai dari yang sakit, yang sehat, yang tua, yang
muda, yang laki-laki, maupun yang perempuan. Sempat ada beberapa prajurit nakal
yang berpikir untuk bersenang-senang sebelum membunuh seorang gadis, tapi
diurungkan setelah diingatkan soal penyakit.
Malam ini jalanan
Freiburg akan dicat dengan warna merah.
Tepat pada saat itulah,
seorang pria lari tergopoh-gopoh sambil mengangkat sesuatu di tangannya.
“Hentikan! Aku tahu
penyebab wabah ini!” Giovannia menunjukkan apa yang ia bawa ke hadapan jendral.
“Jamur fly amanita! Jamur ini tumbuh di Schwarzwald! Penduduk kota ini gemar
memakannya, itulah sebabnya mereka terjangkit. Tapi penyakit ini tak menular!”
“Maksudmu ini semacam
racun makanan?” tanya sang jendral.
“Mustahil!” tiba-tiba
Hugo menyela. “Orang-orang Schwarzwald sudah memakan ini dari zaman dulu, tidak
ada satu pun yang sakit seperti ini!”
“Aku juga tidak tahu,
tapi...” Giovanni mendekati seorang tukang bangunan, lalu merampas palunya. Ia
mencari sebuah rumah yang pintunya sudah disegel, kemudian menghantamnya hingga
terbuka.
“Jangan gila, kau bisa
menyebabkan penyakitnya keluar!”
Giovanni tak peduli. Ia
melawan bau busuk di dalam, untuk menemukan beberapa onggok jenazah. Tidak
semua mati karena Maut Hitam, karena sisanya kurus kelaparan. Ia menyeret
mayat-mayat itu keluar satu persatu, membuat orang-orang bergidik nyeri.
“Lihat! Jika benar
wabah ini menular, harusnya semua mati karena terjangkit!”
“Jadi apa kau memiliki
solusi?”
“Cegah orang-orang
makan jamur ini, dan kita lihat apa yang akan terjadi!”
“Terlalu lama! Terlalu
beresiko!” seru Hugo.
“Kalau begitu lihat
prajurit dan tukang bangunan yang kemarin dilempari kain berpenyakit, apa
sekarang mereka sakit?!”
Suasana menjadi gaduh,
terutama saat orang-orang itu menampakkan diri, masih dalam keadaan sehat
sentosa.
“Kalau masih tidak
percaya, aku akan mengurung diriku bersama pesakitan! Kita lihat, apa aku akan
tertular?!” Giovannia sendiri tak mengerti mengapa kalimat ini keluar dari
mulutnya. Jika ia salah, maka sama saja dengan bunuh diri.
“Baiklah,” ucap sang
jendral. “Prajurit, kurung dia!”
***
8
Situasi Freiburgh penuh
ketegangan selama tiga hari terakhir. Semua berhenti makan jamur fly amanita,
sambil menunggu nasib Giovanni yang dikurung bersama satu keluarga yang
sebagian besar terserang penyakit. Karena nasib seluruh penduduk bergantung
padanya; jika ia hidup berarti semua hidup, jika ia mati berarti semua akan
dibantai.
Sesuai perjanjian,
kurungan dibuka pada hari keempat. Sang jendral, Hugo, prajurit, dan penduduk,
menjadi saksi. Usai pintu dibobol, nama Giovanni dipanggil, tapi tak ada
jawaban. Orang-orang mulai takut jika ia benar-benar sudah mati. Hugo tak bisa
berkedip, meremas-remas kepalan tangannya sendiri. Sang jendral tetap memasang
ekspresi yang tak bergeming, bukti bahwa ini bukan pertama kali ia dihadapkan
pada situasi hidup-mati seperti ini.
Lalu Giovanni keluar,
menuntun satu-satunya anggota keluarga yang masih hidup. Orang-orang serentak
bergerak menjauhinya.
“Bagaimana yang lain?”
tanya sang jendral.
“Semua tewas.”
“Bagaimana denganmu?”
“Aku baik-baik saja.”
Giovanni melepas bajunya, menunjukkan tubuh yang masih sehat tanpa setitik pun
noda Maut Hitam. “Penyakit ini mirip, tapi bukan Maut Hitam. Tidak menular.”
“Maka aku tak punya
alasan untuk melakukan pembantaian yang tak perlu,” jawab sang jendral. “Ayo
kita beritahu Count Friedrich.”
Giovanni pun bernapas
lega. Ia tak pernah merasa dirinya orang baik, tapi setidaknya ia berhasil
menyelamatkan lebih banyak orang. Itu sudah cukup, bagaimana pun orang-orang
menilai dirinya. Tugasnya di kota ini sudah selesai.
Epilog
“Baik, terima kasih
atas kerja kerasnya, terima kasih telah menyelamatkan Freiburgh.”
Count Friedrich
mengakhiri pembicaraanya melalui lubang pipa. Ia mendengus, lalu berjalan
memasuki ruang tahta, di mana seseorang sedang menunggu.
“Kenapa kau mengundang
Plague Doctor itu?” tanya si orang misterius. “Ia mengacaukan segalanya.”
“Aku tidak bisa
membantai rakyatku begitu saja,” jawab Count Friedrich. “Setidaknya aku harus
terlihat berusaha mengobati mereka. Lagipula kau tinggal membuat tanaman
beracun lainnya, kan?”
“Aku tidak membuat
tanaman beracun!” bantah si orang misterius. “Aku memodifikasinya, memasukkan
penyakit ke dalamnya. Aku meniru gejala Maut Hitam, sehingga tidak ada yang
menyangka sumbernya adalah pangan yang mereka santap.”
“Begitukah?” respon
Count Friedrich tak terlalu berminat pada teknis. Ia duduk di atas singgasana,
lalu meraih sebuah apel yang terletak di meja sebelahnya. Ia memakannya dengan
lahap. “Kenapa hanya jamur? Seharusnya kau masukan penyakit ke semuanya.”
“Sudah kubilang ini
masih tahap percobaan. Dengan menggunakan tanaman tertentu, aku bisa mengendalikan
penyebarannya.”
“Kalau begitu masukkan
penyakit ke tanaman lain!” pinta Count Friedrich mulai memaksa. “Orang-orang
tak tahu terima kasih itu lebih baik dimusnahkan, sebelum mereka menyerbu
benteng ini.”
“Butuh persiapan yang
tidak mudah, dan aku takut Plague Doctor mu akan menemukanku. Lagipula aku
sudah memenuhi segala perjanjian kita, kan?”
Count Friedrich
berdecak tidak puas. Namun, ia masih belum kehilangan akal.
“Aku tahu siapa kau.
Aku bisa menyeretmu sekarang juga untuk dieksekusi.”
Si orang misterius
mengangkat alisnya, tapi lebih seperti ekspresi terkejut yang dibuat-buat,
karena detik berikutnya ia kembali bicara santai.
“Sudah kuduga.
Ngomong-ngomong, percobaan keduaku adalah buah apel, yang kebetulan sudah kau
santap dengan lahap.”
Count Friedrich
terbelalak. Tubuhnya kaku menegang, hingga sisa apel di genggamannya jatuh ke
lantai.
“Kau bercanda!”
teriaknya panik. “Kau bercanda, kan?!”
“Terserah mau percaya
atau tidak. Kau eksekusi aku, kau lihat saja bagaimana nasibmu beberapa hari
lagi.”
Count Friedrich pun
hanya bisa pasrah. Ia terlalu mengenal orang itu hingga mengetahui ancamannya
bukanlah ancaman kosong.
“Aku akan pergi. Dan
setelah aku merasa aman, baru akan kuberitahu lokasi penawar yang kusembunyikan
di kota ini. Waktumu sempit, sebaiknya tak berbuat bodoh.”
Orang misterius itu pun
pergi, Count Friedrich hanya bisa menyaksikan.
Sama seperti pedagang
Genoa yang seharusnya tak dibiarkan berlabuh, harusnya orang itu tak dibiarkan
pergi. Sayangnya sang penguasa jauh lebih mencintai nyawanya sendiri ketimbang
masa depan Eropa.
END
Cerpen yang menarik. Aku menikmatinya... Dan belajar beberapa hal; seperti jamur fly amanita yang beracun. Jamur yang ada di dongeng-dongeng itu memang menawan.
ReplyDeletePenulis membuatku sedikit mengerutkan dahi, dengan memasukkan poin yang tidak diduga.
Sebenarnya jamur ini sudah disinggung dua kali, dan ada kemungkinan keterkaitannya. Menurutku ini ide yang keren abis^^
Terima kasih sudah baca dan berkomentar. ^^
DeleteMengenai jamur itu sebenarnya aku ada sedikit cocoklogi juga, ketika nyari-nyari tanaman khas Shwarzwald untuk dijadikan inang penyebar virus, wkwkwk.
Sekali lagi terima kasih.