The Masque of the Red Death
Diterjemahkan dari cerita pendek karya Edgar Allan Poe yang bisa dibaca di sini. Selamat membaca.
***
Sudah lama sejak
Kematian Merah membinasakan negeri. Tidak pernah ada wabah yang
sefatal—semengerikan ini. Darah adalah avatarnya di dunia—kemerahan yang
membawa ngeri. Gejalanya berupa rasa sakit yang tajam, pusing tiba-tiba, dan
diikuti pendarahan besar pada pori-pori. Noda merah tua pada tubuh dan
khususnya pada wajah korban, adalah kotoran yang menjauhkannya dari bantuan dan
dari simpati orang-orag sekitarnya. Dan seluruh proses dari awal gejala hingga
kematian, merupakan insiden yang terjadi dalam setengah jam.
Tetapi Pangeran
Prospero merasa senang dan tidak takut dan berpikiran sehat. Ketika populasi di
daerah kekuasannya tinggal setengah, ia memanggil ke hadapannya seribu teman
yang sehat dan riang dari antara ksatria-ksatia istananya, dan dengan ini
mengunci diri pada pengasingan yang dalam di salah satu gereja yang menyerupai
istana. Struktur bangunannya besar dan agung, kreasi dari selera sang pangeran
yang eksentrik tapi mulia. Dinding yang kuat dan angkuh mengelilinginya.
Dinding ini memiliki gerbang dari besi. Para bangsawan, setelah masuk, membawa
tungku dan palu besar dan memasang bautnya.
<Kalimat ini tidak
mampu saya terjemahkan : They resolved to leave means neither of ingress or
egress to the sudden impulses of despair or of frenzy from within>.
Gereja itu memiliki
persediaan yang memadai. Dengan tindak hati-hati seperti itu, para bangsawan
bisa menantang penularan penyakit. Dunia luar dapat mengobati dirinya sendiri.
Sementara menunggu, rasanya suatu kebodohan untuk berduka atau berpikir. Sang
pangeran sudah menyediakan seluruh perlengkapan untuk bersenang-senang. Ada
badut pelawak, improvisatori (penyair Italia), penari balet, musisi, wanita
cantik, dan tentu saja wine. Seluruh hiburan dan keamanan ada di dalamnya. Yang
tak ada hanyalah “Kematian Merah”.
Menuju akhir bulan
kelima atau keenam dari pengasingan, dan sementara wabah penyakit mengamuk
mati-matian di luar, Pangeran Prospero menghibur seribu temannya di sebuah
pesta topeng dengan kemegahan yang paling tidak biasa.
Itu adalah adegan yang
menggairahkan, masquerade itu. Tapi pertama-tama biarkan aku memberitahu
ruang-ruangan tempatnya digelar. Di sana ada tujuh ruang raksasa. Di banyak
istana, tetapi, ruang-ruang seperti itu membentuk rangkaian lurus dan panjang,
sementara pintu lipatnya bergeser hampir menempel ke dinding pada masing-masing
sisi, sehingga pandangan luas keseluruhannya nyaris tak terhalang.
Di istana ini
strukturnya sangat berbeda; sesuai yang diperkirakan dari kecintaan sang duke
pada sesuatu yang ganjil. Apartemen-apartemennya cenderung tidak teratur
sehingga meski pemandangannya terlihat tapi tak lebih dari satu pada satu
waktu. Terdapat belokan tajam di setiap dua puluh atau tiga puluh yard, dan
pada setiap belokan ada efek baru. Di kanan dan kiri, di tengah dari setiap
dinding, sebuah jendela Gothic yang sempit dan tinggi, terlihat melalui koridor
tertutup yang mengikuti belokan dari tiap ruangan <bagian ini tidak mampu
saya terjemahkan dengan baik>. Jendela-jendela ini tersusun dari kaca
bernoda yang warnanya bervariasi sesuai warna yang berlaku dari dekorasi
ruangan tempat ia dibuka. Sebagai contoh, jendela yang menggantung di bagian
timur, berwarna biru jelas mengikuti ruangan. Kamar kedua memiliki ornamen dan
permadani berwarna ungu, dan di sini kaca jendelanya warna ungu. Kamar ketiga
seluruhnya hijau, dan begitu juga jendelanya. Yang keempat berperabot dan
bercahaya jingga—yang kelima putih—yang keenam dengan lembayung. Apartemen
ketujuh diselimuti erat oleh permadani beludru hitam yang menggantung dari
langit-langit hingga menuruni dinding, jatuh dalam lipatan pada karpet bermaterial
dan warna yang sama. Tapi hanya di kamar ini, warna dari jendela gagal
menyesuaikan dekorasi. Kaca jendelanya kirmizi—sebuah warna merah pekat.
Tidak satu pun di
antara tujuh apartemen yang memiliki lampu atau tempat lilin, di tengah
banyaknya ornamen emas yang tersebar ke dan dari atau tergantung di
langit-langit. Tidak ada cahaya yang memancar dari lampu atau lilin di dalam
kamar-kamar. Tetapi di koridor yang mengarah pada ruangan, di sana berdiri,
berlawanan dari tiap jendela, sebuah tripod berat, membawa tungku api yang
melindungi cahayanya melalui kaca berwarna dan menerangi ruangan dengan
berkilau. Dan demikian menghasilkan begitu banyak penampilan yang fantastis
lagi mencolok. Tapi di sebelah barat atau di kamar hitam, efek dari cahaya api
yang mengalir pada hiasan gelap hingga jendela berwarna darah, sangat pucat
mengerikan, dan menghasilkan ekspresi liar pada orang-orang yang masuk
melihatnya, sehingga hanya sedikit orang yang cukup berani untuk menginjakkan
kaki di halamannya.
Di apartemen ini, juga,
berdiri melawan dinding barat, sebuah jam raksasa dari eboni (kayu hitam).
Bandulnya berayun ke dan dari dengan bunyi dentang yang kusut, berat, dan
monoton; dan ketika jarum-menit menunjuk angka, dan jarum-jam ke angka dua
belas, datanglah dari paru-paru kuningan jam tersebut sebuah suara yang jelas
dan keras dan dalam dan melampaui alunan musik, tapi juga nada dan aksennya
aneh, sehingga pada tiap interval jam, para musisi orkestra terpaksa berhenti
sejenak, dalam penampilannya, untuk mendengarkan suara jam, dan; dan demikian
para penari balet terpaksa menghentikan perputarannya; dan muncul kebingungan
singkat dari seluruh perkumpulan gay; dan, sementara genta lonceng jam masih
berbunyi, diperhatikan mereka yang paling sembrono berubah pucat, dan yang
lebih berumur dan tenang meletakkan tangan mereka di atas kening seakan dalam
lamunan atau meditasi yang membingungkan. Tapi ketika gaungnya sudah berhenti
total, sebuah tawa ringan menjalar dalam kerumunan; para musisi melihat satu
sama lain dan tersenyum seakan pada kegugupan dan kebodohan mereka sendiri, dan
membisikkan sumpah, satu sama lain, bahwa genta lonceng jam berikunya tidak
akan membuat mereka menunjukkan emosi yang sama; dan kemudian, setelah interval
enam puluh menit, (yang meliputi tiga ribu dan enam ratus detik waktu yang
berlalu,) datanglah genta lonceng jam berikutnya, dan kebingungan dan gemetar
yang sama terjadi lagi seperti sebelumnya.
Tapi, meskipun
demikian, sebenarnya itu adalah bagian dari kesenangan. Selera sang duke memang
aneh. Dia memiliki pandangan terhadap warna yang indah maupun efek yang
dipancarkan. Dia mengabaikan dekorasi fashion yang biasa. Rencananya tegas dan
berapi-api, dan perwujudannya bersinar dengan kilau biadab. Ada beberapa yang
berpikir dia gila. Tapi pengikutnya merasa ia tidak gila. Perlu mendengar dan
melihat dan menyentuhnya untuk meyakini bahwa ia tidak gila.
Dia sudah mengarahkan,
dalam bagian besar, perhiasan yang dapat dipindahkan pada tujuh ruangan.
Tergantung situasi perjamuan hebat ini, dan itu adalah petunjuk seleranya
sendiri yang memberi karakter pada peserta pesta topeng. Pastikan mereka aneh
sekali, sampai tidak masuk akal. Ada begitu banyak silau dan gemerlap dan
kesedapan dan ilusi—yang terbanyak setelah “Hernani”. Ada figur-figur fantastis
dengan tungkat-tungkai yang tidak sesuai. Ada khayalan nakal seperti fashion
orang gila. Ada juga banyak kecantikan, banyak kecabulan, dan banyak keanehan,
sesuatu yang mengerikan, dan tidak sedikit dari itu semua yang memancing rasa
muak.
Jika diperhatikan tujuh
ruangan di gereja ini adalah lapisan mimpi. Dan mimpi-mimpi ini menggeliat,
mengambil warna dari ruangan-ruangan, menyebabkan musik liar oskestra seperti
gaung langkahnya. Dan, segera, berbunyilah jam eboni yang berdiri di aula
beludru. Dan kemudian, untuk sesaat, semuanya kaku, dan semuanya diam
mendengarkan suara jam. Mimpi-mimpi itu berdiri kaku membeku. Tetapi gaung
dentang jam segera usai—mereka bertahan sesaat—dan sebuah tawa ringan setengah
lunak mengudara setelah suara jam pergi. Dan sekali lagi musik membesar, dan
mimpi kembali hidup, dan menggeliat lebih meriah dari sebelumnya, mengambil
warna dari begitu banyak jendela gelap yang dilewati aliran cahaya dari tripod.
Tapi di kamar yang berada paling barat di atara kamar-kamar lainnya, tidak ada peserta
pesta yang menjelajahi; sebab malam memudar, dan mengalir cahaya yang lebih
segar melalui jendela berwarna darah; dan kehitaman dari kain kulit musang
menakutkan; dan baginya yang menginjak karpet kulit musang, datang dari dekat
jam eboni sebuah suara terengah yang lebih tegas dari apapun yang terdengar
telinga mereka yang memanjakan hati dalam kesenang-senangan di apartemen lain.
Tapi
apartemen-apartemen lain, begitu padat, dan di dalamnya berdetak menggebu
jantung kehidupan. Dan kegembiraan berputar terus, sampai suara jam berdentang
menandakan tengah malam. Dan kemudian musik berhenti, seperti yang sudah kukatakan;
dan perputaran penari balet berhenti, dan muncul gencatan yang tidak nyaman
dari segala hal, seperti sebelumnya. Tapi sekarang ada dua belas dentangan yang
dibunyikan bel jam; dan dengan demikian itu terjadi, mungkin, lebih banyak
pikiran merayap, dengan lebih lama, ke dalam meditasi di antara mereka yang
bersenang-senang. Dan demikian, juga, itu terjadi, mungkin, sebeluh gema terakhir
dari dentang tenggelam sepenuhnya dalam keheningan, ada banyak orang dalam
keramaian yang menemukan kesenggangan untuk tersadar akan keberadaan sebuah
figur bertopeng yang sebelumnya tak tertangkap perhatian siapapun. Dan rumor
dari keberadaan baru ini menyebar dengan sendirinya melalui bisikan-bisikan, lalu
di antara kerumunan tericpta dengungan, atau bisikan, ekspresi celaan dan
terkejut—kemudian, akhirnya, menjadi teror, horor, dan jijik.
Dalam pertemuan
mimpi-mimpi seperti yang sudah aku lukiskan, seharusnya tidak ada kehadiran
biasa yang dapat memicu sensasi seperti ini. Sesungguhnya kebebasan penampilan
pesta topeng pada malam itu nyaris tak terbatas; tapi figur yang kita bicarakan
melebihi kebengisan Herod, dan bahkan jauh melampau batasan keanehan sang
pangeran yang tak terbatas. Ada akord-akord dalam hati sebagian besar orang
gegabah yang tidak dapat disentuh tanpa emosi. Bahkan dengan kehilangan total,
bagi mereka yang menganggap hidup dan mati tak lebih dari gurauan, masih ada
hal-hal yang tak bisa dijadikan bahan bergurau. Seluruh peserta pesta, sungguh,
merasakan hal itu pada kostum si orang asing yang tak memiliki akal maupun
sopan santun. Figurnya tinggi dan kurus kering, dan dari kepala hingga kaki
diselimuti pakaian dari kubur. Topeng yang menutupi roman mukanya dibuat nyaris
menyerupai wajah mayat yang kaku yang bahkan pemeriksaan paling teliti sulit
membedakan apakah itu benar-benar wajah mayat. Dan semua ini sudah ditahan,
jika bukan diterima, oleh peserta pesta yang gila di sekitar. Tapi sang pemain
sandiwara bisu seolah sedang berpenampilan sebagai Kematian Merah. Pakaiannya
dibuat dalam darah—dan alisnya yang lebar, dengan seluruh fitur wajahnya,
menaburkan kengerian merah.
Ketika sepasang mata
Pangeran Prospero menatap sosok yang seperti hantu ini (yang dengan pergerakan
lambat dan khidmat, seolah berusaha mempertahankan perannya, bergerak di antara
penari balet) dia tampak tersentak, dalam pergerakan pertama dengan ketakutan
kuat antara teror atau benci; tapi, selanjutnya, alisnya memerah dengan
kemarahan.
“Siapa yang berani?”
dia bertanya serak pada para bangsawan yang berdiri di dekatnya, “siapa yang
beranu menghina kami dengan cemoohan ini? Tangkap dia dan lepas topengnya,
sehingga kita tahu siapa yang harus kita gantung saat fajar datang, di dinding
menara!”
Itu di kamar biru atau
timur di mana Pangeran Prospero berdiri mengucapkan kata-katanya. Suaranya
mendengking ke seluruh tujuh ruangan dengan keras dan jelas—karena sang
pangeran adalah seorang yang tegas dan kuat, dan suara musik sudah berhenti
pada lambaian tangannya.
Itu di ruangan biru di
mana sang pangeran berdiri, dengan satu kelompok bangsawan pucat di sisinya.
Pertama-tama, saat ia bicara, ada pergerakan menggebu dari grup ini di arah si
penyusup, yang sekarang, dengan langkah yang agung dan disengaja, lebih dekat
dengan pembicara. Tapi dari kekaguman tanpa nama tertentu yang mana asumsi gila
dari pemain sandiwara bisu telah menginspirasi pesta, tidak ada satu pun yang bergerak
untuk menangkapnya; sehingga, dengan leluasa, ia mendekati sang pangeran hingga
berjarak satu yard; dan, sementara kerumunan, seakan dengan satu dorongan,
begeser dari tengah ruangan ke dinding, ia membuat jalannya tak terganggu, tapi
dengan langkah terukur dan khidmat yang sama yang berbeda dengan awal, melalui
kamar biru ke ungun—melalui ungu ke hijau—melaui hijau ke jingga—melalui ini
lagi ke putih—dan dari situ ke lembayung, sebelum pergerakan dibuat untuk
menangkapnya.
Tetapi pada saat itulah,
Pangeran Prospero, menggila dengan amarah dan rasa malu akibat kepengecutannya
sendiri, maju tergesa-gera melalui enam kamar, sementara tidak ada yang
mengikutinya sebab teror mematikan telah merenggut semuanya. Ia mengangkat
tinggi sebuah pisau belati, dan mendekat, dalam terburu nafsu, hingga tiga atau
empat kaki dari figur yang tengah berjalan, ketika kemudian, telah mencapai
pinggiran apartemen beludru, sosok itu berbalik tiba-tiba dan mengkonfrontasi
orang yang mengikutinya. Ada jeritan tajam—dan pisau belati terjatuh pada
karpet kulit musang, yang mana, sesaat kemudian, Pangeran Prospero jatuh
bersujud dalam kematian. Kemudian, memicu keberanian liar yang berasal dari
keputusasaan, kerumunan peserta pesta seketika menyerbu ke apartemen hitam,
dan, menangkap sang pemain sandiwara bisu, yang sosok tingginya berdiri tegak
dan bergeming di bawah bayangan jam eboni, terkesiap dalam kengerian yang tidak
biasa saat mengetahui pakaian orang mati dan topeng berbentuk mayat yang mereka
tangani dengan kekasaran yang bengis, tidak memiliki wujud yang nyata.
Dan sekarang dibenarkan
keberadaan sang Kematian Merah. Ia datang seperti pencuri di malam hari. Dan
satu demi satu peserta pesta berjatuhan dalam aula bersimbah darah, dan mati
dalam postur yang putus-asa. Dan kehidupan dari jam eboni padam bersama dengan
gay terakhir. Dan api dari tripod sirna. Dan Kegelapan dan Kebusukan dan sang
Kematian Merah menggenggam dominasi tak terbatas atas semua.
END
Comments
Post a Comment