Malam Pertama di Rumah Sakit Tua
Ada sebuah rumah sakit tua di Kota X
(nama sengaja disamarkan) yang terkenal angker. Banyak cerita-cerita mistis
yang beredar di seputar bangunan berarsitektur kolonial tersebut. Namun sampai
sekarang tempat itu masih saja beroperasi, meski katanya sudah ditinggal oleh
pemiliknya. Walau saat malam suasananya sangat menakutkan, masyarakat masih
berobat ke sana karena biayanya yang tergolong murah dibanding rumah sakit
lainnya di kota tersebut.
Robi merupakan satpam yang baru saja
diterima bekerja di sana. Tidak banyak yang mau melamar di tempat itu, sehingga
membuka peluang bagi pemuda lulusan SMA yang sudah setahun menganggur ini. Tapi
sial, di hari pertama tugas ia sudah harus lembur jaga malam, sebab petugas
lain sedang berhalangan. Tak ada alasan baginya untuk menolak, mengingat
sulitnya cari pekerjaan di zaman sekarang.
Jam jenguk pasien berakhir pukul
sembilan malam. Selepas itu biasanya keadaan rumah sakit menjadi sunyi senyap
bak kuburan. Robi pun mulai bosan menunggu di pos. Menjelang tengah malam, ia
memutuskan untuk patroli. Berbekal sebuah senter, ia menyusuri lorong-lorong
berpencahayaan remang.
Awalnya tidak ada yang aneh. Sampai saat
Robi melewati sebuah ruangan yang pintunya tertutup rapat. Samar-samar ia
mendengar semacam isak tangis. Pemuda itu pun berhenti, lalu memperhatikan
sekeliling. Tak salah lagi, suara itu berasal dari balik pintu dengan plat bertuliskan
‘Kamar Jenzah’.
Robi masuk ke dalam. Di ruangan
berkeramik dan dinding putih itu terdapat beberapa jenazah yang ditutupi kafan.
Pemuda itu mendapati seorang gadis tengah berlutut di samping salah satu
jenazah, memeluknya sambil tersedu.
“Kenapa... Kenapa... Sebentar lagi kita
akan menikah...”
Robi segera mendekati gadis itu. Ia
menepuk bahunya.
“Mba, sudah malam. Sebaiknya mba pulang
dulu.”
Tapi gadis itu seolah tak peduli. Ia
terus terisak, mungkin terlalu sedih karena ditinggal kekasih.
Robi memperhatikan jenazah yang sekujur
tubuhnya tertutup kafan. Ia pun menarik kain yang menghalangi wajah sang mayit.
Alangkah terkejut, saat ia melihat ekspresi kaku seorang gadis, gadis yang
barusan masih menangis.
Tiba-tiba suara tangisan itu berubah
jadi lengkingan tawa. Robi mengembalikan perhatiannya pada gadis tadi. Sosok
berambut panjang itu kini berdiri menatapnya, melalui sepasang mata membelalak
kemerahan. Senyumnya menyeringai tak wajar, melelehkan darah hitam melalui sela
bibirnya.
Ternyata sejak awal Robi berbicara
dengan hantu. Seharusnya sejak awal Robi tak memasuki Kamar Jenazah ini.
Tapi...
Sebenarnya Robi adalah penderita suatu
kelainan genetik akibat penyakit Urbach-Wiethe. Sejak kecil ada kerusakan pada
satu bagian otaknya yang bernama amygdala. Pada manusia normal, organ berbentuk
kacang almond itu berperan dalam memberi emosi ketakutan. Tanpa itu, Robi tak
pernah—atau lebihnya tepatnya tak mengenal—rasa takut.
Lebih dari itu, kerusakan amygdala,
menciptakan kecenderungan aneh bagi penderitanya. Apa yang orang-orang anggap
sebagai sumber ketakutan, justru menjadi hal menarik bagi penderita kelainan tersebut.
Hal ini yang menyebabkan Robi selalu mendekati apapun itu yang biasanya
dihindari orangorang : memasuki Kamar Jenazah, mendekati gadis yang menangis
sendirian, membuka selubung mayit, sampai...
Robi mengulurkan telapak tangannya,
kemudian mengelus pipi sang kuntilanak.
“Kau begitu nyata,” ucapnya kagum. “Menjadi
hantu sendirian di malam hari, apa kau tidak kesepian?”
Mendadak sang kuntilanak terdiam.
Sepasang mata merahnya terkesiap mendengar pernyataan Robi. Seumur hidupnya
yang panjang, ini pertama kali ada manusia yang mendekatinya seperti ini,
bukannya lari ketakutan.
Sejatinya tiap manusia yang meninggal,
rohnya akan menunggu di alam kubur. Penampakan-penampakan yang biasa terlihat
tak lain merupakan tipu daya iblis, yang menyerupai sosok almarhum,untuk
melemahkan manusia hingga jauh dari iman.
Kenapa begitu?
Iblis pun tak pernah bertanya. Itulah
takdirnya. Mereka tak bisa memilih selayaknya manusia. Nasibnya adalah sebagai
penebar benih kegelapan yang menakutkan.
Namun, melihat manusia mendekatinya
seperti ini, sang kuntilanak pun tak bisa menyembunyikan perasaannya. Sejak
dulu, tentu, ada setitik kecil penasaran dalam dirinya, yang tak pernah berani
ia kembangkan. Ia bahkan tak berani bertanya, apalagi berharap. Tapi kali ini,
hal itu membuncah dengan sendirinya.
Seperti apa berdampingan dengan manusia?
Sang kuntilanak pun mengusap tangan Robi
yang masih menempel di pipinya. Matanya menjadi sayu. Sebuah isyarat yang
membuat pemuda di depannya mendekatkan wajah. Hingga jarak di antara mereka
tinggal beberapa buku jari.
Lalu...
Sebuah Malam Pertama di Rumah Sakit Tua.
Comments
Post a Comment