Chapter 11 - Anggun Si Putri Cenayang
“Serius.
Bos?” Si pemuda yang sempat melakukan kontak fisik dengan Fatah terlihat tak
terima. Wajahnya yang kemerahan seperti sudah haus ingin menghajar orang.
“Kau
budek ya?!”
Hardikan
sang Bos seketika membuat pemuda itu tersentak, lalu tak bicara lebih jauh.Yang
lain pun sama, semua diam tanpa kata. Hanya menatap heran, sebab tak biasanya
pemimpin mereka melepaskan buruan.
“Jadi...
kita boleh pergi?” tanya Fatah memecah keheningan.
Si
Bos bercodet menjawabnya dengan satu dengusan singkat.
Maka
Fatah membimbing Putri melangkah pergi. Ia menuntun gadis itu sambil tetap
mengawasi para pemuda di pos keamanan. Bahkan setelah berbelok di tikungan pun,
Fatah sama sekali tak menurunkan kewaspadaan. Setidaknya sampai ia mengantar
Putri ke depan rumahnya dengan selamat.
“Kenapa
sih, Bos?” Seseorang akhirnya tak tahan untuk tak bertanya.
“Cih—“
Husein—nama sang Bos—menggaruk-garuk codet di mata kanannya. Ia berjalan
seperti babi yang kegemukan, lalu duduk senyaman mungkin di pos keamanan. “Anak
yang barusan, dia anak sekolahku, yang tempo hari menendangku sampai semaput!”
Seketika
orang-orang yang mengerubungi Husein terbelalak. Sebab, merekalah yang paling
tahu apa arti dari kalimat barusan.
***
“Aku
masih tegang, Kak.” Putri menempelkan telapak tangannya di dada untuk mengecek
detak jantungnya.
“Kau
biasa diganggu mereka?” tanya Fatah.
“Iya,
tapi biasanya nggak sampai malak. Mereka juga sudah pernah dimarahi Pak RT.”
“Mungkin
tadi mereka sedang mabuk. Lain kali hati-hati ya, jangan pulang terlalu malam.”
Fatah merasa bersalah setelah mengtakan itu. Untunglah ia memaksa untuk
mengantar Putri.
Tak
terasa keduanya sampai di depan sebuah rumah kecil yang bersahaja. Halamannya
tidak luas, tapi ditumbuhi berbagai tanaman hias. Ada sepasang kursi antik dan
meja kecil di beranda, yang membuat Fatah langsung membayangkan betapa nikmat
menghabiskan sore sembari minum teh di sana.
“Err—kalau
begitu sudah ya,” kata Fatah. Mendadak ia enggan menemui orang tua Putri.
“Sampai di sini saja.”
“Ah...
iya Kak,” balas Putri. Namun, gadis itu tak beranjak. Ia masih berdiri di luar
pagar.
Fatah
terus menunggu dalam diam. Ia ingin bertanya, tapi khawatir terkesan mengusir.
“Jadi...
aku pulang, ya?” ucap pemuda itu seraya melambaikan tangan.
“Tunggu
Kak!” Tiba-tiba saja, Putri menggenggam pergelangan tangan Fatah.
“Eh?”
Gadis
itu menundukkan kepala, hingga matanya tertutup poni. Fatah sama sekali tak
bisa menebak ekspresi maupun maksud Putri.
“Kak...”
“Ya?”
Fatah masih tidak tahu bagaimana cara melepas pegangan Putri—
“Aku
suka Kakak.”
“Hah?”
Fatah masih mencoba memutar tangannya. Satu detik. Dua detik. Lalu ia ternganga
saat mencerna ucapan Putri barusan.
“Aku
suka Kakak!” Putri meninggikan suaranya. “Kak Fatah... apa Kak Fatah mau jadi
pacarku?!”
Fatah
pun terbelalak. Seketika jantungnya berdebar kencang, dan darah di sekujur
tubuhnya mengalir deras. Bahkan napasnya jadi terasa sesak. Lidahnya begitu
kelu, hingga ia gelagapan tanpa kata. Mulutnya hanya mengatup-atup hampa.
Cengkraman
tangan Putri terasa semakin kuat, seiring dengan semakin lama waktu berlalu
tanpa jawaban.
“Kak...
bagaimana, Kak?” cicit Putri.
Fatah
baru sadar bahwa ia seharusnya memberi jawaban. Ia tak bisa mengulur lebih dari
ini. Namun, ini bukan perkara mudah.
“Tapi
Put... uh... aku tidak... maksudku... kita... berteman saja, ya?”
Kemudian
Putri diam mematung.
“Put?”
tanya Fatah lagi untuk memancing respon.
Kebisuan
Putri seolah membekukan waktu. Entah berapa lama waktu berlalu yang terasa
seperti keabadian. Fatah sudah khawatir saja ketika perlahan ia mendengar sesuatu
yang mirip isakan.
“Apa
ini... karena Kak... Anggun?”
Fatah
terkesiap. Rahangnya membuka, menarik udara untuk mengisi paru-parunya.
“Bukan!” ucapnya. “Bukan begitu!”
“Lalu—lalu—kenapa?”
“Itu—hanya...”
Fatah mengerutkan kening. “Kau... uh... kau itu—kau bukan tipeku... Ya... itu.”
Putri
terisak makin keras. Ia mulai sibuk menyeka air matanya dengan punggung tangan.
Pikiran
Fatah jadi tidak karuan. Tak pernah seumur hidupnya melihat gadis menangis, sedangkan
tak ada orang selain dirinya yang bisa menenangkan. Hal pertama yang melintas
di benaknya adalah mengusap bahu Putri—tapi tangannya berhenti di udara. Ada
keraguan di sana. Terlebih, apa yang akan dipikirkan orang tua Putri jika
melihat ini.
Pemuda
tanggung itu pun menarik tangannya hingga lepas dari genggaman Putri. Beban ini
terlalu berat, bahkan bagi seorang Fatah.
“Kalau
begitu—aku pulang dulu ya,” ucapnya getir kemudian bergegas tanpa menoleh lagi.
Satu
hal yang ingin dilakukannya sekarang adalah sembunyi, membiarkan saja Putri
menangis. Sambil menyimpan harapan kosong—bahwa besok keadaan akan kembali
seperti semula seolah tak terjadi apa-apa.
Duh sakit juga penolakannya.
ReplyDelete