Persekutuan Terlarang
“Bakso
di sini enak, lho.”
“Aku
baru tahu di sini ada warung bakso yang ramai. Padahal tempatnya di gang
terpencil. Itu motor-motor yang parkir saja nyaris ngabisin jalan.”
“Aku juga awalnya gak sengaja lihat pas mau ke
rumah bibi. Tuh, rumahnya yang cat warna ungu.”
Doni
dan Candra asyik mengobrol sambil menunggu pesanan datang. Sementara aku diam saja
memperhatikan bapak tua yang sedang meracik bakso di gerobak usangnya.
Setelah
menunggu dengan sabar, tiga mangkuk bakso diantar ke meja kami.
“Makasih
Pak,” kata Candra.
Ia
lekas memulai prosesi santap baksonya. Dimulai dengana menghirup aroma, lalu
menyeruput kuahnya, diakhiri dengan mengunyah satu butir daging.
“Benar
Don, rasanya enak!” Ia berseru.
“Iya,
kan?” sahut Doni bangga. “Fatih, kau juga coba dong, jangan ditontonin saja
baksonya. Kalau sudah dingin nanti jadi tidak enak.”
Aku
mengangguk, lalu mencicipi kuahnya.
Biasa
saja.
Kumakan
bola dagingnya.
Hmm,
seperti kebanyakan aci daripada daging.
Aku
pun menambah sambal, mengaduknya, lalu mencicipi lagi.
Masih
biasa, cuma jadi lebih pedas saja.
Aku
menegakkan tubuh, mengamati orang-orang yang memadati warung sempit ini. Mereka
semua makan dengan lahap. Aku pun menggaruk-garuk leher, kemudian memperhatikan
si bapak tukang bakso yang sedang meracik pesanan. Aku mengerutkan kening.
Ada
anak kecil botak yang duduk di bahu bapak itu. Ia cuma mengenakan celana dalam.
Dari mulutnya, liur menetes seperti banjir. Ia menadahi liur itu dengan telapak
tangan, lalu mencipratkannya pada mangkuk-mangkuk bakso yang siap dihidangkan
pada tamu.
Kutarik
napas dalam-dalam, lalu membulatkan tekad. Pada akhirnya aku harus tetap
membayar mangkuk ini, jadi aku rugi kalau tak menghabiskannya.
Selesai
makan, kami berjalan keluar dari gang, lalu menyusuri trotoar menuju alun-alun
kota.
“Ah,
kenyang,” kata Doni seraya mengusap perutnya yang membuncit di balik seragam
putih yang terlihat sempit. “Maaf ya kalian jadi harus makan di luar. Di rumahku
sedang tidak ada orang. Semalam adikku mendadak panas, jadi langsung diopname.
Bapak dan ibuku menginap di rumah sakit dari semalam.”
“Tidak
apa-apa Don, sekalian coba kuliner baru,” jawab Candra. “Semoga adikmu cepat
sembuh.”
“Amin.
Tadi bapak telpon, katanya kondisinya sudah stabil.”
“Oh
ya, ngomong-ngomong nanti setelah tugas selesai, aku boleh pinjam laptopmu
untuk main game, tidak?”
“Eeeits,
wani piro?!”
“Eh,
jangan pelit-pelit Don, mentang-mentang baru dibelikan laptop baru!”
“Loh,
loh, Can, ada apa itu di alun-alun? Ada konser ya?” tukas Doni seraya
menepuk-nepuk bahu Candra. Entah ia sekedar ingin mengalihkan isu atau memang
tertarik dengan keramaian di alun-alun. Ada panggung besar dan banyak baliho
yang terpasang. Orang berkerumun di dalam sampai keluar-keluar, menyebabkan
kemacetan di jalan.
“Acara
kampanye calon walikota,” jawab Candra sambil membaca tulisan pada baliho.
Keduanya
berjalan sambil melihat ke arah panggung. Ada seorang pria yang tengah
berorasi, melontarkan kalimat-kalimat yang menggebu.
Pria
itu... tubuhnya dililiti oleh seekor ular besar. Mirip ular sanca, dengan
mustika merah di atas kepalanya. Mata makhluk itu berkilat-kilat, seolah
menghipnotis mereka yang menatap ke arahnya.
“Ngomong-ngomong,
Bu Eni cantik ya?” ujar Candra setelah kami melewati keramaian kampanye.
“Iya.”
Doni menyetujui. “Sudah menikah belum ya?”
“Entahlah.
Kelihatannya sih masih muda.”
Muda?
Menurutku
Bu Eni tidak semuda itu. Ia cuma memakai susuk di dahinya. Susuk emas. Tapi
Doni, Candra, dan semua orang di sekolah tak menyadari hal itu.
“Fat,
menurutmu bagaimana?” Tiba-tiba Doni bertanya padaku.
“Ah...
Em...”
“Jangan
tanya Fatih, Don. Dia kan homo.”
Lalu
keduanya tertawa terbahak-bahak, menertawakanku. Aku pun cuma bisa diam.
Sejujurnya aku tak bisa mengatakan Bu Eni cantik, karena memang aku tak
melihatnya seperti itu. Tapi aku juga tak bisa mengatakan bahwa ia memakai
susuk. Sama seperti aku tak pernah mengatakan apapun, meski melihat tuyul
penglaris maupun siluman ular yang membangkitkan wibawa. Aku tidak mau
orang-orang menganggapku aneh, klenik, penghayal, pembual, serta
sebutan-sebutan lainnya. Aku sudah cukup merasakan pengalaman buruk sewaktu
belum bisa membedakan mana yang kasat dan tak kasat mata.
Tak
lama kemudian, kami sampai di rumah Doni. Bangunannya sederhana, tapi
halamannya cukup lapang, ditumbuhi berbagai tanaman hias. Ada juga sebuah pohon
mangga yang sudah hampir berbuah.
Doni
membukakan gerbang.
“Ayo
masuk,” katanya.
Candra
mengikuti di belakang.
Tapi
sebelum aku masuk, langkahku terhenti. Aku melihat... sesosok hitam yang
bertengger di atap rumah Doni. Tungkai-tungkainya sangat panjang, dengan posisi
menyerupai kaki laba-laba. Kedua matanya merah menyala, terpaku tajam
menatapku. Seolah ingin menelanku hidup-hidup.
“Fatih!”
Doni memanggilku. “Ngapain? Sini masuk!”
“Oh,
iya...”
Tak
kusangka keluarga Doni juga memelihara yang seperti itu.
Aku
tak mengerti, mengapa orang-orang senang bergantung pada yang gaib. Bagus kalau
adik Doni bisa sembuh. Kalau tidak, mungkin selanjutnya kau yang akan dijadikan
tumbal, Don.
Gak ada lanjutannya?
ReplyDelete