Chapter 3 - Anggun Si Putri Cenayang
Pada jam istirahat Fatah disuruh membawa buku tugas ke ruang guru. Sebenarnya bukan pekerjaan sulit, tapi Doni dan Candra ikut membantunya. Maka masing-masing membawa beban yang sudah dibagi tiga.
“Apa
tidak merepotkan?” tanya Fatah agak sungkan. “Biar aku saja.”
“Masa,
merepotkan? Kita kan teman,” jawab Doni. “Ini enteng.”
“Loh
Don, tadi kau bilangnya mau pencitraan?” celetuk Candra. “Supaya dianggap anak
baik oleh guru?”
“Eeeh
jangan buka-buka kartu ya!”
Fatah
memang tidak banyak bicara, tapi ia selalu suka mendengar pembicaraan kedua
temannya itu. Bagi Fatah, bisa bertemu dengan mereka di kelas XI, dan masih
bisa menjalani kelas XII bersama, adalah suatu anugrah.
Mereka
jalan melewati lorong yang dipenuhi siswa-siswi. Kemudian tampak sesosok gadis
yang berlari kecil menghampiri, menyebrang dari lapangan basket.
“Kak
Fatah!” Gadis itu adalah Putri.
“Eh
Putri,” jawab Fatah. “Ya? Ada apa?”
“Nanti
sore jadi ya, mengantarku beli baju taekwondo?”
“Nanti
sore...” Fatah mengingat-ingat acaranya sore ini. “Baik.” Yah, ia tidak ada
acara apa-apa. Biasanya juga sehabis sekolah langsung pulang ke rumah.
“Oke,
nanti kutunggu di halte ya.”
“Siap.”
Putri
pun pergi dengan langkah kecilnya yang malu-malu. Lagi-lagi kerumunan temannya
sedang menunggu, memantau dari kejauhan.
“Fat!”
Tiba-tiba Doni menempatkan diri di depan Fatah. Ekspresinya sangat marah. Ia
mengangkat buku di tangannyanya, lalu mengembalikan dengan kasar. “Aku tidak
jadi membantu! Aku mau ke kantin saja duluan! Can, ayo!”
Pemuda
itu pun pergi, membiarkan Fatah kebingungan sendiri.
“Maaf
Fat, ini bukunya,” ujar Candra, melakukan hal yang sama tapi dengan lebih
sopan. “Paling-paling si Doni cemburu karena kau dekat dengan seorang gadis,
haha. Kutunggu di kantin ya!”
Fatah
pun menghela napas. Apa yang salah? Selama ini ia tak pernah mempermasalahkan
saat Doni dekat dengan gadis mana pun... Lalu ia mengingat-ingat lagi. Rasanya
Doni tidak pernah dekat dengan gadis mana pun. Pemuda itu cuma sering berlagak
sok ganteng, sambil mengumbar cerita fiksi kedekatannya dengan seseorang.
Fatah
memutuskan melanjutkan perjalanannya ke ruang guru. Suasana di dalam sangat
ramai, tidak kalah dengan kantin. Ada guru yang sedang makan, ada yang
mengobrol, ada juga yang sibuk mengoreksi tugas muridnya. Fatah lekas mencari
meja guru sejarah yang menyuruhnya membawakan buku. Ia ingin segera
meletakkannya, agar bisa langsung menyusul Doni dan Candra ke kantin.
Namun,
sesuatu menarik perhatiannya. Jarak dua meja dari tempatnya meletakkan buku,
ada seorang siswi yang tengah diceramahi oleh sang wali kelas. Siswi itu adalah
Anggun.
“Kamu
harus ikut ekskul. Kalau tidak nanti nilai ekskulmu kosong,” ucap Eko, seorang
guru matematikan sekaligus wali kelas XI. Ia bicara sambil duduk bersandar ke
kursinya dengan nyaman.
“Tapi
Pak, saya ikut ekstrakurikuler,” jawab Anggun pelan.
“Apa?”
Eko mengeccek catatannya. “Kamu tidak terdaftar dalam ekskul manapun.”
“Saya
ikut ekskul catur, Pak.”
“Oh...”
Eko meletakkan catatannya. “Tahun ini ekskul catur ditiadakan. Anggota lama
sudah lulus semua, sedangkan tidak ada anak baru yang mendaftar.”
Ekspresi
Anggun tak berubah, tetap sayu tanpa senyum atau apapun. Tapi ia diam. Seolah
sedang berusaha menerima kenyataan itu.
Fatah
yang mencuri dengar pun lekas memutar ingatannya pada hari Sabtu kemarin.
Mungkinkah saat itu ia menunggu
seharian tanpa tahu ekskunya sudah bubar?
“Begini
saja,” lanjut Eko. “Coba cari ekskul lain.”
“Tapi
Pak, ekskul yang saya masuki nantinya akan sepi,” ucap Anggun. “Seperti ekskul
catur...”
“Tidak
usah memikirkan itu, coba saja dulu. Mungkin saja anak-anak memang sudah tidak
berminat dengan...” Eko menghentikan kalimatnya saat tanpa sengaja menyadari
keberadaan Fatah yang mencuri dengar. “Hei, sedang apa di sana?” hardiknya.
“Ini
Pak, meletakkan buku tugas Pak Karyo.”
“Oh.
Sudah belum?”
“Sudah.”
“Kalau
begitu keluar, sana! Hush, hush!” Pria botak berkumis tebal itu seperti sedang
mengusir kucing garong yang kedapatan mencuri ikan di dapur.
Fatah
pun buru-buru pergi.
***
Sepanjang
sisa siang Doni tak bicara pada Fatah. Fatah juga tak berusaha bicara pada
Doni. Biasanya kemarahan pemuda itu hanya sebentar, dan akan hilang jika
perhatiannya teralihkan. Benar saja, saat pulang sekolah mereka sudah mengobrol
seperti biasa. Mereka membicarakan acara sinetron yang tayang di televisi.
“Tukang
Bubur Naik Haji kapan tamatnya, ya?”
“Astaga
Can, kau nonton sinetron?” ucap Doni terbelalak.
“Tidak
usah lebay, memang apa salahnya nonton sinetron?!” balas Candra. “Ya, nggak,
Fat?”
“Masalah
selera memang tidak selayaknya diperdebatkan,” komentar Fatah senetral mungkin.
Namun,
Doni masih memaksakan pendapatnya, bahwa sinetron adalah tontonan yang tidak
mendidik. Sebuah pembodohan bagi generasi penerus bangsa. Tapi ceramahnya
terhenti saat seorang gadis memanggil dari arah halte.
“Kak
Fatah!” Putri bangkit dari duduknya sambil melambaikan tangan.
Kemarahan
Doni pun muncul lagi, secepat ia melupakannya.
“Can,
si Fatah mau kencan. Ayo pulang duluan!” ucapnya ketus sambil menarik tangan
Candra.
“Mau
ke mana sih Don, kita cari angkot di sini saja!” protes Candra.
“Tapi...
tapi...” Doni tidak sampai hati saat melihat Putri berlari kecil menghampiri
mereka. Ia tahu hatinya akan teriris-iris jika melihat Fatah yang pendiam bisa
mengunggulinya dalam urusan perempuan.
“Halo
Kak Doni! Halo Kak Candra!” Tidak disangka, gadis itu juga menyapa mereka satu
persatu.
“Ha—halo,”
balas Doni gagap. Ia tak mengira Putri akan menyapanya. Lebih dari itu, itu tak
mengira Putri mengetahui namanya.
“Halo
Putri,” Candra bersikap lebih normal.
“Kakak-Kakak
semua sedang mau ke mana?” tanya Putri.
“Tidak
mau ke—“
“Tadinya
sih mau nongkrong,” potong Doni dengan gaya sok cool. “Tapi sepertinya Fatah
sibuk, ya?” Sindirannya seketika membuat Fatah merasa tak enak.
Putri
mengerutkan keningnya, tapi tiba-tiba menepuk telapak tangan.
“Bagaimana
kalau nanti Kakak-Kakak kubelikan hadiah?” tanyanya, diikuti nada memohon.
“Tapi pinjam Kak Fatahnya dulu ya... Aku butuh seragam taekwondo untuk ekskul.”
“Ya
tidak ap—“
“Hah?
Tidak usah repot-repot!” Lagi-lagi Doni memotong Candra, kali ini dengan gaya
mau tapi malu. Toh tidak setiap hari ia bisa dapat hadiah dari seorang gadis.
“Benarkah?
Ya sud—“
“Eh,
eh, eh, maksudnya tidak usah repot memikirkanku, tapi bagaimana dengan Candra?”
Mendadak Doni panik.
“Aku
sih tid—“
Doni
langsung menyikut Candra. “Tuh kan, Candra mau hadiah?”
“Aduh,
aku jadi bingung, hahaha.”
“Sudahlah
Put, tidak usah dipikirkan,” celetuk Fatah, membuatnya mendapat tatapan nanar
dari Doni. “Ah, tapi tidak apa-apa sih, kalau tidak merepotkanmu.”
“Sama
sekali tidak,” jawab Putri seraya menggelengkan kepala. “Hmm, bagaimana kalau
kapan-kapan kita jalan-jalan bareng? Aku juga akan ajak teman-teman... kalau
mereka mau.”
Mood
Doni pun berubah dalam sekejap. Tiba-tiba ekspresinya jadi cerah.
“Benarkah?
Boleh, boleh, sepertinya menarik. Sesekali Candra juga perlu bergaul dengan
perempuan, supaya tidak sama batangan terus. Hahahahaha!”
“Jaga
bicaramu Don...” gumam Candra kesal. Ia tidak mengerti kenapa temannya itu tak
bisa jujur dengan perasaannya sendiri, malahan membawa-bawa nama orang melulu.
“Jadi,
boleh kami pergi?” tanya Putri.
“Silakan,
silakan, bawa saja Fatah!” kata Doni sambil mendorong punggung Fatah terlalu
keras. “Jagain ya, kalau tidak diawasi, ia kadang bertingkah yang aneh-aneh.
Kemarin saja saat menunggu di perlintasan kereta, dia sambil mengemil batu
kerikil rel.”
“Ahahahahaha,
Kakak ada-ada saja!” tawa Putri.
Fatah
hanya berdecak, reaksinya yang biasa ia keluarkan saat diecengi Doni.
Keempat
orang itu pun naik angkot yang sama, lalu berpisah karena Fatah dan Putri harus
turun duluan di area pertokoan.
“Kau
hebat ya,” adalah kalimat pertama Fatah setelah turun dari angkot. “Bisa
menaklukkan Doni.”
“Biasa
saja kok, Kak,” jawab Putri nyengir. “Kak Doni lucu, ya?”
“Iya,”
jawab Fatah singkat.
Tapi
lebih dari itu, Doni adalah orang yang spesial bagi Fatah. Kalau saja ia tak
bertemu Doni saat kelas XI, ia tidak yakin apa bisa berteman akrab dengan yang
lain. Mungkin hanya Doni dan Candra yang bisa menerima ia apa adanya.
“Yuk,”
ajak Fatah seraya memimpin jalan.
Tapi
siang itu area pertokoan sangat ramai. Ada begitu banyak orang berlalu-lalang
di trotoar. Kendaraan bermacet-macetan di jalan, dan tukang parkir sibuk
mengatur mobil dan motor yang hendak datang dan pergi.
Tidak
sulit bagi Fatah menerobos kerumunan. Ia berjalan saja dengan biasa. Sampai ia sadar
mungkin ada yang tertinggal. Ia pun menoleh. Benar saja, Putri yang berbadan
kecil itu masih cukup jauh di belakang, sebab kesulitan melewati pejalan kaki
lain. Fatah pun segera kembali, lalu meraih gadis itu.
“Sini,
jangan jauh-jauh,” kata Fatah, meraih tangan Putri. Lalu ia memimpin jalan bagi
gadis itu. Sebuah hal sederhana baginya, yang diterima Putri dengan perasaan
berbunga-bunga.
***
Keesokan
harinya, Doni sangat bersahabat. Ia terus mengajak ngobrol Fatah, bahkan saat
di kantin.
“Jadi,
apa saja yang kalian lakukan kemarin?” tanyanya.
“Beli
seragam taekwondo,” jawab Fatah.
“Setelahnya?”
“Pulang.”
“Ayolah,
memangnya hanya itu?” desak Doni cengar-cengir.
“Apa
sih maksudmu?” Fatah jadi garuk-garuk kepala.
“Sudahlah
Don...” ucap Candra yang lelah menyaksikan tingkah temannya.
“Ahahaha,
ya sudah, namanya juga baru, jadi belum melakukan apa-apa, ya?”
Fatah
semakin tidak mengerti, sementara Canda geleng-geleng kepala.
“Lalu
bagaimana dengan jalan bareng anak-anak kelas X nya?” tanya Doni mendadak
merangkul Fatah.
“Putri
sedang bertanya pada teman-temannya.”
“Bagus,
hehe. Sudh kuduga, kau memang teman sejatiku!”
“Bagaimana
denganku?” cicit Candra, tapi tak ditanggapi. Biasanya ialah yang mengobrol
dengan Doni, tapi hari ini Doni sedang sibuk mendekati Fatah. Candra pun
memutuskan untuk fokus pada makanannya saja.
Buk!
Tiba-tiba
ada yang menubruk punggung Candra. Ia refleks menoleh ke belakang.
“Maaf
bang, tidak sengaja!” seru seorang anak botak, sepertinya adik kelas. Setelah
mengucapkan permintaan maaf yang setengah hati itu, ia kembali berlari mengejar
seseorang. “Eh, sini kembalikan sepatuku!” serunya tertawa-tawa.
“Kejar
dong, hahaha!” jawab temannya, sambil berlarian di kantin, menghindari
orang-orang.
“Dasar
bocah,” gerutu Candra pelan.
Doni
masih sibuk mengambil hati Fatah, jadi Candra kembali fokus pada makanan.
Brak!
“Aduh!”
Kali
ini terdengar tubrukan keras. Candra mengangkat wajahnya untuk melihat apa yang
terjadi. Di jarak beberapa meja darinya, seorang anak terjatuh, tapi
cepat-cepat bangkit lagi. Ia adalah anak botak yang tadi juga menabraknya.
“Sukurin,”
gumam Candra, berpikir anak itu akan dapat masalah. Namun, ia segera menarik
perkataan itu kala melihat siapa yang ditabrak. Karena, anak itu baru saja
menabrak Anggun, si anak dukun. Sesuatu yang buruk mungkin akan terjadi.
“Ah...
ah... Anggun... ma—maaf ya,” kata si anak botak, wajahnya pucat pasi. Matanya
memperhatikan teh botol yang terguling di meja, dan isinya tumpah membasahi rok
sang gadis. “Aku... tidak sengaja...”
Anak-anak
satu kantin segera memperhatikan kejadian tersebut, tapi tak ada yang berani
mendekat. Semua menonton tanpa benar-benar memalingkan wajah, takut ikut
terlibat.
“Mampus!
Mampus! Anak itu akan mampus!” bisik Doni. Ia bahkan sudah berhenti mengobroli
Fatah karena melihat kejadian barusan.
Anggun
masih duduk bergeming, ekspresinya tak terbaca. Marah? Memaafkan? Tidak ada
yang tahu. Tapi saat sedetik kemudian ia menoleh pada si anak botak, anak itu
berjingkat ke belakang. Tatapannya sangat gelap, seperti sedang melesatkan
kutukan demi kutukan.
“Ampun,
aku benar-benar tidak sengaja!” Anak botak itu memutuskan untuk bersujud.
“Jangan... jangan apa-apakan aku!”
Anggun
membelalakkan kedua matanya, semakin menciutkan nyali.
Anak
itu jelas pernah mendengar rumor mengenai satu kelas yang kesurupan, kakak
kelas yang kehilangan barangnya, juga rumor-rumor lainnya.
Setelah
ketegangan yang panjang, akhirnya Anggun membuka suara, “Tidak apa-apa kok.”
“Benarkah?”
Si anak botak mengangkat wajah, tapi buru-buru menurunkannya lagi.
Anggun,
dengan ekspresi dinginnya, bangkit dari kursi. Ia meninggalkan mangkuk baksonya
yang baru dimakan sedikit. Ia melangkah pergi begitu saja, seolah sudah
kehilangan nafsu makan. Jelas, tidak ada yang tidak apa-apa.
Mampus,
mungkin adalah kata yang saat ini diucapkan orang-orang dalam hati, saat
menyaksikan si anak botak yang menyedihkan.
“Kurasa
dia harus cepat-cepat minta perlindungan dari orang pintar,” kata Doni.
Fatah
menghela napas, sulit menerima ketegangan yang baru saja berlangsung.
***
Tak
terasa hari sudah Sabtu lagi. Katanya era globalisasi dan informasi membuat
hidup berjalan jauh lebih cepat, tak seperti dulu saat sebuah surat saja harus
diantar selama berhari-hari.
Anggota
ekstrakurikuler taekwondo duduk-duduk di selasar mushola, lengkap dengan
seragam putih.
“Putri
cocok ya, pakai seragam taekwondo. Gina jadi gemas~” ucap Gina seraya mencubit
kedua pipi Putri.
“Aduh,
aduh, sakit, Kak! Lepasin!”
Putri
mengelus-elus pipinya setelah dilepas Gina.
“Jadi
bagaimana Put, setelah ke toko olahraga, kalian ke mana?” tanya Ami.
“Langsung
pulang Kak.”
“Jangan
bohong, hehehe.” Kali ini Ami yang mencubit Putri.
“Sumpah,
Kak... Tanya saja Kak Fatah...” Putri benar-benar pasrah.
“Iya,
langsung pulang...” ujar Fatah, demi mengakhiri siksaan yang diterima Putri.
Seketika para gadis pun menunjukkan ekspresi kecewa. Fatah pun bingung, kenapa
semua orang mempertanyakan hal itu. Memangnya ia dan Putri harus ke mana lagi
setelah dari toko olahraga?
Ami
merangkul Putri lalu terlihat menariknya agak jauh, kelihatannya membisikkan sesuatu.
“Oh
iya, aku ada pengumuman,” kata Raynold. “Kita kedatangan anggota baru.”
“Benarkah?”
Gina tampak bersemangat. “Laki-laki atau perempuan?”
“Memangnya
kenapa kalau laki-laki?” celetuk Olive. “Kau mau mengincar berondong?”
“Bukan
begitu, cuma penasaran saja!”
“Sudah,
sudah,” ucap Raynold seperti biasa, untuk menghentikan ocehan para gadis.
“Anggota barunya perempuan, dan bukan berondong. Dia anak kelas XI.”
“Seangkatanku,
dong?” tanya Olive.
“Iya,”
jawab Raynold tak antusias. “Dia pindah dari ekskul sebelumnya. Dia...” Pemuda
itu berhenti saat menyadari seseorang sedang berjalan ke arah mereka. Sontak,
yang lain pun melihat ke arah yang sama.
Ada
seorang gadis yang mengenakan seragam olahraga putih-biru khas sekolah mereka.
Rambutnya yang bergelombang itu dibiarkan terurai, seolah menjadi tirai yang
menyembunyikan kemisteriusan dirinya. Lalu ia berhenti di depan mushola, di
hadapan semua orang.
“Apa
ini ekskul taekwondo?” tanya gadis itu, Anggun.
endingnya tertebak. tapi kasihan sekali si jones
ReplyDeleteWadoo, saya jadi ngefans sama Anggun. Dingin-dingin empuk (?) gitu yak~
ReplyDeleteaaaaahhhh sukaaakkk <333
ReplyDeleteAnggun sang ratu di kantin <33