Another Side of Folk Lore #2 : Bidadari Yang Terbuang
Entah berapa tahun
sudah Nawangwulan menjalani kehidupan di bumi. Penyebabnya tak lain karena sang
bidadari kehilangan selendangnya kala tengah mandi di danau bersama
saudari-saudarinya. Tanpa itu, ia tak bisa kembali ke kahyangan.
Menumbuk padi, membersihkan
rumah, dan mengurus anak menjadi hal rutin yang ia kerjakan setiap hari, sangat
berbeda dengan ketika ia masih menjadi putri kahyangan. Namun ia tak pernah
mengeluh, karena menganggap semuq itu sebagai bentuk ucapan terima kasih kepada
Jaka Tarub, pemuda yang telah menyelamatkannya. Pemuda itulah yang menemukannya
di danau setelah saudari-saudarinya pergi ke kahyangan.
“Ah, persediaan beras
sudah habis,” gumamnya suatu hari ketika hendak memasak. Hanya tersisa beberapa
bulir beras di dalam bakul.
Nawangwulan pun bangkit
untuk mengambil persediaan gabah di lumbung. Nawangsih – anak hasil peraduannya
dengan Jaka Tarub – masih tertidur pulas, jadi tidak akan ada yang
mengganggunya selama mengolah gabah menjadi beras.
Begitu memasuki
lumbung, ia mendapati gabah yang juga sudah menipis. Sambil berharap panen
musim ini akan memberikan hasil baik, ia mulai mengeruk apa yang bisa dikeruk.
Tapi saat ia menyendok ke dasar, alangkah terkejutnya ia karena mendapati
sebuah selendang merah yang amat ia kenal. Selendang yang selama ini ia kira
hilang entah ke mana, ternyata berada tak jauh, hanya tertimbun oleh tumpukan
gabah.
Mendadak kemarahan
Nawangwulan memuncak. Ia tak habis pikir, jika pemuda yang menyelamatkannya tak
lain merupakan orang yang telah mencuri selendangnya. Ia benar-benar telah
diperdaya hingga harus hidup susah payah sebagai manusia di bumi.
Tanpa ragu ia mengenakan
selendang itu, dan dalam sekejap mata seluruh kesaktiannya kembali. Derajatnya
kembali dimuliakan bersamaan dengan parasnya menjadi jauh lebih bercahaya,
membedakannya dari bangsa manusia fana.
Tiba-tiba pintu lumbung
terbuka dari belakang. Tampak seorang pemuda yang berdiri dengan wajah pucat
pasi. Orang itu, tak lain adalah Jaka Tarub.
“Kang Mas, aku tak
menyangka selama ini kaulah yang telah menipuku,” ujar Nawangwulang
menggelegar.
Jaka Tarub hanya
tergagap menjawabnya. Agaknya ia tak kuasa untuk berbohong di hadapan
bukti-bukti yang ada, tetapi belum mampu mengakui kesalahannya.
“Aku tak bisa memungkiri
rasa cinta dan kebaikanmu selama ini,” lanjut Nawangwulan. “Namun tempatku
bukanlah di sini. Aku akan pergi.”
“Tunggu, bagaimana
dengan Nawangsih?” Jaka Tarub menggunakan anaknya sendiri sebagai tameng.
“Ya, ia tetaplah darah
dagingku. Karenanya beritahu padanya kelak jika ingin menemuiku, bakarlah
setangkai padi. Asalkan kau tak berada di dekatnya, aku akan datang.”
Jaka Tarub mengeratkan
geligi. Dahinya mengkerut sedang matanya menyiratkan murka. Namun tak lama
senyum ganjil tersungging di bibirnya.
“Apa kau yakin kau
masih memiliki tempat di sana?”
Mendadak raut wajah
Nawangsih pun diwarnai teka-teki, “Apa maksudmu?”
“Apa mungkin, saudari
yang mencintai saudarinya akan meninggalkan saudarinya yang kehilangan
selendang begitu saja? Lalu setelah bertahun-tahun, mengapa tidak ada utusan
kahyangan yang datang mencarimu?”
Keraguan pun datang,
lebih cepat dari petir yang menyambar di siang bolong. Nawangwulan ingin
menjawab, tapi pikirannya masih kacau menyusun benang kenyataan.
“Sebelum menemukanmu,
aku sudah mendapatkan pertanda melalui mimpi,” lanjut Jaka Tarub. “Bahkan saat
melihat selendang-selendang yang berjejer, entah mengapa ada kekuatan aneh yang
menuntunku pada selendangmu. Semuanya telah direncanakan. Saudari-saudarimu
membuangmu. Mungkin mereka berkata pada ayahmu bahwa kau mengalami kecelakaan
hingga tak ada yang mencarimu. Tempatmu... hanya di sini bersamaku!”
Mata Nawangwulan
terbelalak lebar. Seluruh tubuhnya gemetar. Kemudian ia menjerit... jeritan
histeris. Jeritan makhluk kahyangan yang telah jatuh ke dalam kasta binatang
buas akibat kejutan yang tak tertahankan.
Jadi selama ini rasa
iri dan benci dari kakak-kakaknya bukan hanya imajinasi Nawangwulan. Meski ia
selalu berusaha berpikiran baik, namun tidak begitu dengan para saudarinya.
Hingga akhirnya siapa yang menyangka jika kasih sayang khusus dari ayahandanya
malah menyebabkan tragedi ini.
Tapi tetap saja, saat
ini yang paling membuatnya marah adalah pemuda di hadapannya, yang untuk
memuaskan nafsu bersedia dijadikan alat oleh saudari-saudarinya. Nawangwulan
pun memejamkan mata, lalu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengingat kembali setiap
detil dari segala kesusahannya selama ini, juga siapa yang bertanggung jawab.
Saat ia membuka mata,
sesuatu yang mengerikan terjadi.
***
Nawangsih terbangun
karena belaian lembut dari ibunya. Namun entah mengapa meski telah membuka
mata, ia masih mengantuk. Tubuhnya pun menolak untuk digerakkan, hingga yang
bisa ia lakukan hanyalah menatap sosok bidadari yang tengah memangku kepalanya.
“Nak, hidup memang
kejam,” ucap sang ibu – atau sang bidadari – lembut. “Karena itu kau harus
kuat, karena mungkin sejak awal di dunia ini kau hanya sendirian.”
Peristiwa itu
berlangsung seperti mimpi, sampai akhirnya Nawangsih kembali memejamkan mata.
***
Sumber gambar : https://maygreen.files.wordpress.com/2008/02/jakatarubnawangwulan.jpg (19 September 2015)
Comments
Post a Comment