Review Novel : Zombie Aedes
Alkisah sekitar hampir empat
minggu yang lalu, saya mendapat sebuah buku dari someone. Judulnya Zombie
Aedes, novel karangan Satria Satire, yang dari namanya saja harusnya kalian
sudah tahu ceritanya tentang apa... Bukunya lumayan tebal, 373 halaman. Tapi
bukan itu juga yang membuat saya membutuhkan waktu begitu lama untuk
menyelesaikannya. Jadi, apakah itu? Mari kita baca reviewnya~
Dikisahkan sebuah wabah melanda
bumi. Disebabkan oleh obat nyamuk keluaran baru yang memutasi nyamuk sehingga
nyamuk itu akan memutasi manusia yang digigitnya menjadi zombie. Pemerintahan
Indonesia (dan mungkin dunia) runtuh hanya dalam beberapa minggu, menyisakan
segelintir survivor yang kemudian hari menjadi karakter-karakter utama dalam
novel ini.
Baik, jadi hal pertama yang saya
suka dan yang paling saya suka sepanjang cerita adalah bagian awalnya, ketika
penulis menggambarkan adegan-adegan zombie outbreak di berbagai tempat di
Indonesia. Selain ketegangannya terbangun, agaknya sang penulis juga melakukan
risetnya dengan baik mulai dari seting realistis, prosedur rapat di gedung
istana, sampai prosedur penayangan acara di Metro TV. Bahkan ke depannya denah
kapal pesiar hingga cara pemasangan panel tenaga surya dijelaskan dengan baik.
Sayangnya hal positif di awal
hanya berhasil memancing ketertarikan saya di permulaan saja. Setelah
adegan-adegan zombie outbreak berakhir, cerita bergulir ke beberapa bulan
kemudian, yang menyorot beberapa karakter survivor. Awalnya hanya beberapa,
namun lama-kelamaan menjadi banyak seperti party game RPG. Dan di situlah
masalah dimulai. Teralu banyak nama, namun begitu sedikit ciri khas yang
membedakan antar tokoh. Sampai-sampai pada titik tertentu saya tak peduli lagi
dengan dia siapa, seperti apa orangnya, atau apa tugasnya. Semua terlihat sama,
jadi yang penting baca saja terus.
Masalah lain yang terjadi adalah
ketika penulis kerap menyebut nama tiap orang untuk mendeskripsikan kegiatan yang
mereka lakukan satu persatu. Misal, “A dan B pergi ke lorong sementara C, D,
dan E menunggu di luar. Jujur saja lama-kelamaan saya menjadi lelah
memperhatikan kegiatan orang-orang yang bahkan sulit saya bedakan karakternya.
Kemudian, over deskripsi terjadi
di mana-mana, menceritakan sesuatu dengan pola berulang-ulang. “Kelompok X
memasuki suatu gedung, kelompok X disergap zombie, kelompok X menghabisi zombie”,
hal seperti inilah yang terus ditawarkan selama ratusan halaman tanpa adanya
drama yang cukup menarik. Sekalinya ada konflik dengan sesama manusia, tak
lebih dari dua kali kemunculan anak punk yang selalu digambarkan brutal dan
pada akhirnya mereka dihajar oleh kedatangan pihak ketiga yang bersenjata
lengkap. Ah, tapi sebenarnya ada satu konflik batin yang cukup menarik terkait
dendam, yang sayangnya hal itu malah tidak dieksplore lebih dalam dan dibiarkan
berlalu begitu saja. Sampai akhir pun tak ada twist atau sesuatu apa yang bisa
menggugah.
Lalu satu hal yang mengganjal
adalah, entah bagaimana caranya orang-orang sipil di cerita ini lihai menembakkan
berbagai tipe senjata api, handal mengayunkan katana, mahir menahkodai kapal
laut, sampai ahli mengendalikan tank baja lengkap dengan meriamnya...
Kemampuannya pun bermacam-macam dan anehnya pas sekali untuk misi penyelamatan
yang tengah mereka emban. Tapi yah untuk yang satu ini mungkin mau tidak mau
memang diperlukan sebagai plot device ya...
Terakhir... saya bingung dengan
maksud kemunculan para penunggang kuda bersorban putih di akhir, yang tengah
melakukan hijrah ke Daulah. Mereka bahkan membawa pandangan baru mengenai
zombie apocalypse ini namun tak pernah dijelaskan secara lebih dalam. Yang saya
permasalahkan sih bukan karena kemunculannya dalam cerita – yang justru bisa
jadi menarik kalau mereka hadir di tengah-tengah sebagai bagian dari plot
utama. Yang saya permasalahkan adalah kehadirannya kenapa cuma di beberapa
halaman sebelum tamat yang terasa sangat Out Of The Blue. Seperti numpang
nongol untuk me-mindfuck pembaca namun sesungguhnya tak ada hikmah yang
tersampaikan.
Yap, jadi begitulah. Sebagai
pecinta genre zombie apocalypse saya cukup kecewa meski di satu sisi juga
senang membaca novel lokal yang mengangkat tema ini. Kalau boleh memberi pesan
dan kesan terakhir, saya harap Satria Satire terus berkarya membuat cerita
zombie yang lebih mantap lagi. ^^
Comments
Post a Comment