Komisi Cerpen : Loop Cest

Part 1
Pagi ini terjadi hal yang tidak biasa. Pak Robi—guru kesenianku saat SMA dulu—mampir ke rumah—entah dari mana ia tahu alamat ini. Aku sempat sedikit berbasa-basi, namun utamanya ia ingin menyerahkan suatu titipan. Katanya ia lupa, dan baru teringat kemarin—setelah sepuluh tahun lamanya!
Aku menatap surat dalam amplop putih yang mulai usang. Tak ada nama pengirim. Siapa yang menitipkan ini pada pada Pak Robi? Karena seingatku, ketika SMA aku tak punya banyak teman. Aku...
Tiba-tiba sebuah kenangan datang menyentakku. Kenangan yang jauh dari kata ‘indah’.
***
Saat itu pulang sekolah, aku dipanggil ke gudang belakang oleh seorang teman sekelas—namanya Vina. Ia lumayan cantik, rambutnya selalu dicat kuning keemasan meski melanggar peraturan sekolah. Namun aku tak berpikir macam-macam sebab kami nyaris tak pernah berinteraksi sebelumnya. Lagipula, kalau bisa aku ingin menjauhinya.
Tetapi sore itu ternyata ia menyatakan cinta. Hanya saja aku dan kepolosanku tak bisa menerimanya. Pertama, aku gugup. Kedua, aku sama sekali tidak mengerti bagaimana memperlakukan pacar. Ketiga, ia membuatku takut. Berdasarkan rumor yang kudengar, gadis itu berafiliasi dengan semacam kelompok anak-anak nakal.
Celakanya penolakanku malah menjerumuskanku dalam keadaan sulit. Vina marah—entah kenapa, hanya karena ditolak lelaki sepertiku. Tak berhenti sampai di situ, ia merencanakan balas dendam. Satu hari pada inspeksi rutin, seorang guru menemukan rokok dalam tasku. Tentu saja itu bukan milikku, seseorang memasukkannya—intuisiku berkata Vina. Namun tak ada yang percaya. Tidak guru, tidak juga teman-teman sekelas. Semua menuduhku, menjadikanku bahan olok-olok, dan kelak mengucilkanku.

Part 2
Aku merinding sendiri kala mengingat peristiwa itu. Jika dipikir lagi, betapa lemahnya aku yang bahkan tak berani membela diri. Kalau saja aku melawan. Kalau saja aku lebih bersikeras... Mungkin saja mereka akan meragukan tuduhan tersebut. Tapi mungkin juga percuma. Semuanya takut pada Vina. Mereka pasti akan mengikuti apapun permainannya.
Aku mulai membaca surat yang tintanya sudah mulai memudar. Entah mengapa tulisan tangannya tak asing, walau aku tidak bisa mengingat siapa pemilik tulisan tangan seperti ini. Sampai aku membaca pembukaannya.

Hai Ando! Aku Andi. Apa kau masih mengingatku? Kau pasti terkejut saat menerima surat ini. Bagaimana keadaanmu sekarang?

Andi. Hanya ada satu Andi yang berasal dari memoriku di SMA. Bukan, bukan seorang teman sekelas, apalagi guru.
***
Masa-masa yang kulalui setelah peristiwa rokok amatlah berat. Semua menjauhiku, kalau tidak membuliku. Bahkan untuk mengerjakan tugas sekolah pun, tak ada yang mau satu kelompok denganku. Terpaksa aku melakukan semua sendiri. Seperti sore itu ketika aku pergi ke kebun belakang guna menyiram cangkokan jambu untuk praktek Biologi.
Di sana aku melihat Pak Robi tengah bercakap-cakap dengan seseorang. Dari pakaian kotor serta arit di tangannya, kutebak ia adalah tukang kebun. Karena tukang kebun lama sudah berhenti, dan wajahnya masih asing, berarti ia tukang kebun yang baru.
Aku tak terlalu menaruh perhatian, toh aku memang jarang berbincang dengan guru. Aku fokus mengurus tanamanku, menyiram dan memupuknya agar cepat tumbuh. Waktu pun berlalu dengan tanpa terasa. Aku selalu menyukai kegiatan ini, melepasku dari segala kesuntukan dunia. Yang menyadarkanku berikutnya adalah sebuah panggilan yang tak pernah kuduga.
“Daunnya bagus, segar sekali.” Kalau tidak salah itulah sapaan pertamanya.
Aku menoleh, mendapati sang tukang kebun. Seketika aku terkesiap melihat wajahnya. Sebelah matanya buta, seperti penjahat di film, membuatku takut. Pak Robi juga sudah pergi. Tapi senyumnya terlalu ramah, segera mengusir kewaspadaanku.
Pria itu memperkenalkan diri. Namanya Andi. Ia memang seorang tukang kebun baru, dan belum mengenal banyak orang. Melihat aku begitu tekun merawat tanaman, membuatnya merasa ingin ngobrol denganku. Akhirnya kami mulai bicara panjang lebar, mengenai berbagai teknik mencangkok tanaman buah.
Saat sore tiba, aku berpamitan. Sebelum berpisah ia sempat memberitahu sesuatu. Jika tidak salah ingat, ia menjelaskan wajahnya yang pernah rusak akibat kecelakaan, yang sekaligus merampas mata kanannya. Jadi ia memang bukan hantu atau orang jahat, hanya manusia yang kurang beruntung.

Part 3
Aku kerap bertemu Andi dan mengobrol panjang lebar. Tapi, kenapa aku melakukannya? Apa yang membuatku begitu tertarik padanya? Ataukah sekedar karena aku tak punya teman lain di sekolah?
Aku terus membaca surat dari Andi. Isinya kurang lebih seperti tegur sapa dari sahabat yang lama tak bertemu. Namun entah mengapa setiap kalimatnya merangsang memoriku, menarik kembali hal-hal yang seharusnya sudah terkubur dalam. Apalagi saat aku membaca sebaris kalimat itu.

Bagaimana dengan Ayahmu? Kuharap hubungan kalian sudah jauh lebih baik sekarang.

Aku pun teringat pada tragedi lainnya, yang menjadi titik terendah dalam kehidupan SMAku.
***
Ibu baru saja memergoki Ayah berselingkuh dengan wanita lain. Pertengkaran menjadi kegiatan rutin tiap hari di rumah. Aku selalu bersembunyi di kamar kala itu terjadi, menutup telinga rapat-rapat, berharap semua akan berlalu seperti pertengkaran-pertengkaran sebelumnya. Sayangnya pertengkaran kali itu berbeda, jauh lebih serius dari yang sudah-sudah. Bahkan ada kemungkinan Ayah dan Ibu akan bercerai.
Aku tak bisa lagi konsentrasi belajar. Pikiranku selalu dihantui takut dan kesedihan. Aku tidak berani memikirkan apa yang akan terjadi nanti seandainya kami tak lagi tinggal bersama.
Lalu tragedi berikutnya terjadi.
Suatu hari Vina membawa sekelompok anak nakal. Mereka memukulku, memaksaku untuk masuk ke dalam sebuah mobil van, lalu membekapku dengan sesuatu. Setelahnya aku jadi tak sadarkan diri. Yang kuingat berikutnya adalah aku tersadar di sebuah halte, pada pagi buta.
Ketika guru BP memanggilku beberapa hari kemudian, baru aku tahu apa yang dilakukan Vina. Entah bagaimana tersebar foto-foto tanpa busana antara aku dan Vina, yang tertidur pulas di atas kasur—seolah baru saja melakukan hubungan intim. Selain itu Vina juga mengambil beberapa foto yang tidak sepantasnya, saat ia melakukan sesuatu pada tubuhku yang terlelap di bawah pengaruh obat—yang mana orang awam akan mengira aku melakukan itu bersamanya.
Aku diskors, orang tuaku dipanggil ke sekolah, hingga menjadi pemicu keretakan hubungan Ayah dan Ibu yang lebih parah. Keduanya saling lempar tanggung jawab, siapa yang menyebabkanku jadi anak liar yang menyukai seks bebas—padahal aku tak melakukan apa-apa.
Hentakan pamungkasnya adalah saat Vina datang menemuiku, lalu mengatakan hal yang sangat mengerikan.
“Kau memang tidur, tapi adik kecilmu tetap bangun,” katanya, lalu mengelus bagian bawah perutnya. “Adik kecilmu memuntahkan banyak sekali ke dalam sini. Mungkin sebentar lagi aku akan hamil, dan kau harus bertanggung jawab. Kita akan menikah lalu hidup bahagia selamanya.”
Saat itu aku ingin mati saja. Menurutku itu adalah jalan satu-satunya untuk lepas dari segala permasalahan ini. Kalau saja bukan karena Andi.
Ketika aku menyiram tanaman untuk terakhir kali sebelum berencana memotong nadi, pria itu menghampiriku. Aku yang sudah membulatkan tekad tak mau berkata apa-apa. Namun malah ia tetap memulai pembicaraan, dengan kata-kata yang langsung mencuri perhatianku.
“Hidupmu masih panjang, dipenuhi potensi. Apa kau mau mengakhirinya begitu saja?”
Aku hampir-hampir tidak percaya dari mana datangnya itu. Mengapa seorang tukang kebun tiba-tiba memberiku nasihat. Apa kesulitanku tergambar jelas di wajahku? Tetapi aku yang tengah kalut, bukannya mempertanyakan malah terbawa dalam pembicaraan.
“Bagaimana aku bisa keluar dari permasalahan ini? Semua orang... semuanya memusuhiku! Siapa yang bisa kupercaya?!”
Tiba-tiba saja pria itu memelukku erat. Aku yang terkejut sempat berusaha melepaskan diri, namun kegigihannya lekas membuatku sadar tak ada niat buruk di sana. Dekapannya perlahan mengalirkan hangat yang membuatku terbuai. Nyaman sekali. Seolah ia ingin melindungiku dari segala perih dunia.
Dadaku pun berdebar hebat. Akhirnya aku merasa bahwa aku tidak sendiri. Masih ada yang peduli.
“Jalani saja, dengan gagah berani. Orang tuamu mungkin bercerai. Semua orang mengucilkanmu. Vina membuat hidupmu seperti neraka. Tapi suatu hari bisa saja kau menemukan seseorang yang sangat berarti untukmu. Berdua kalian bergandengan tangan, berjalan dalam bahagia. Hanya saja kemungkinan itu akan musnah bila kau mengakhiri hidup di sini. Percayalah, badai pasti berlalu.”
Entah mengapa aku bisa mempercayai kata-katanya, sehingga menciptakan segenap kekuatan baru. Aku ingin mencapai masa depan di seberang sana, dan karenanya aku akan melalui badai yang menghadang.
Kuucap terima kasih pada Andi, lalu mengurungkan niatku. Aku berjanji dalam hati untuk menjalani hari-hari seperti yang dinasihatkannya.

Part 4
Lalu entah bagaimana semuanya membaik. Orang tuaku akhirnya bisa saling memaafkan, serta mengulang sumpah setia sebagai suami-istri. Atas desakan Pak Robi, para guru terus mengusut kasus penyebaran fotoku, hingga diketahui bahwa Vina dan kelompoknyalah yang bersalah. Mungkin karena malu, gadis itu memutuskan untuk pindah sekolah. Aku tak pernah melihatnya lagi sampai saat ini.
Ucapan Andi benar, badai pasti berlalu. Hanya saja, ke mana pria itu sekarang? Sejak kapan kami berpisah? Apa setelah kelulusanku?
Tidak, tidak. Kami sudah berpisah bahkan sebelum itu. Kami berpisah pada satu sore di halaman belakang sekolah.
***
Andi duduk di sampingku, menatap cangkokan jambu yang tumbuh dengan baik. Ia mendapat nilai terbaik dalam praktek Biologi, dan selanjutnya akan dibiarkan terus tumbuh di sana.
“Kelak itu akan jadi memento dirimu di sekolah ini,” ujar Andi.
Aku hanya tersenyum simpul menanggapi kebanggaan tersebut.
Berdua, kami terus bercakap hingga matahari makin terbenam. Rasanya aku tak ingin pergi dari tempat itu. Aku ingin di sana selama mungkin.
Kenapa?
Dan tiba-tiba saja, Andi mengucapkan sesuatu yang membuatku sadar akan penyebabnya.
“Tugasku sudah selesai,” katanya. “Teruslah kuat.”
Aku lekas menoleh ke arahnya. Seiring tenggelamnya mentari, entah mengapa tubuhnya seolah memudar. Kesedihan segera bertumpuk-tumpuk di hatiku. Setitik air mata mengalir tanpa kusadari.
Aku coba meraihnya, namun tanganku hanya mengibas udara kosong.
“Jangan... pergi..” ratapku malang.
Ia hanya tersenyum, kemudian hilang sepenuhnya.
Apakah Andi itu? Hantu? Halusinasi? Teman khayalan?
Yang aku tahu, aku baru saja kehilangan seorang yang sangat berarti.

Part 5
Kesedihan yang hampir kulupa muncul kembali. Namun itu bukan sedih yang menyakitkan, melainkan sedih yang mengingatkanku bahwa aku pernah memiliki seseorang yang berharga. Aku bersyukur karenanya.
Aku pun sampai pada bagian akhir surat.

Akhirnya kurasa aku harus jujur. Apa kau ingat rumor di sekolah kita? Bahwa jika kita berada di belakang sekolah lalu berharap untuk dipertemukan dengan seseorang, permintaan itu akan terkabul? Saat itu... aku berharap untuk menemui diriku di masa lalu. Aku ingin diriku tidak mengalami kesalahan yang sama, dan kecelakaan yang sama.
Ando, tetaplah berhati-hati dalam mengambil keputusan. Selalu objektif.

Seketika tanganku bergetar. Gemuruh di dadaku bertalu-talu. Aku langsung beranjak menuju kamar mandi. Kunyalakan lampu lalu kutatap bayangan yang terpantul di cermin.
Wajah kami berbeda, tapi... ia bilang ia pernah mengalami operasi setelah kecelakaan. Sementara postur tubuh kami... Saat ini aku teringat bahwa sepuluh tahun lalu, aku selalu rindu untuk melihat postur ini yang tengah bekerja di kebun sekolah.
Aku pun tak bisa lagi menahan derai air mata. Ini adalah perpisahan yang lebih jauh dari bentang kutub. Dibatasi oleh garis dunia paralel yang tak kumengerti.
Saat ini aku sudah hidup baik, tapi bagaimana denganmu? Apa kau hidup baik di sebelah sana?

Kurasa aku hanya bisa mengatakan terima kasih... Terima kasih banyak.

Comments

Popular posts from this blog

The Masque of the Red Death

Review Novel : Attack On Titan Before The Fall Vol. 1

Review Novel : Zombie Aedes