Review Novel : Winterflame

Alkisah saya akhirnya berkesempatan membaca sebuah novel karangan Fachrul R.U.N yang berjudul Winterflame, merupakan cerita fantasi tinggi berlatar dunia Vandaria. Karena itu langsung saja tanpa membuang waktu lagi, biar saya mereview buku dengan cover keren ini.


Seriusan, saya - sangat - menyukai - pakai banget - cover novelnya. Ada nuansa epik-epik tapi tidak norak yang terpancar dari sana, yang membuat saya bisa dengan bangga meletakkan buku ini di atas meja agar semua orang yang berkunjung ke kostan bisa melihat.

Nah, setelah mengagumi covernya, sekarang mari saya bahas isi dari bukunya itu sendiri.



Winterflame, awalnya berkisah tentang tiga sekawan yang hobi mencuri. Rhys, mencuri untuk dibagi-bagikan pada orang yang kesulitan. Sasha, mencuri untuk memenuhi kebutuhan hidup di bawah tekanan bangsawan dan penjajahan kaum frameless. Sementara Algisarra, mencuri untuk membantu kedua temannya itu. Celakanya pada suatu malam mereka melakukan pencurian ke tempat yang salah, hingga membuat mereka terlibat akan suatu petualangan yang mempertaruhkan masa depan seluruh Benua Acrovell.

Secara karakter, Rhys terbilang karakter yang loveable, di mana ia adalah pemuda yang tidak ragu mengorbankan diri untuk orang-orang di sekitarnya sebagai bentuk penebusan dosa masa lalu. Algisarra juga unik, sebagai heroine yang bisu namun memiliki kemampuan fisik yang amat tinggi. Interaksi antara keduanya bisa dikatakan enak untuk diikuti. Sementara Sasha punya peran dan keistimewaannya sendiri, meski entah mengapa pada beberapa bagian saya merasa karakternya kurang totalitas, misalnya ketika ia sedang marah kepada Rhys namun seringkali tidak terasa aura kemarahannya.

Selain tiga karakter utama, karakter-karakter penting maupun pendukung lainnya sudah tergambar dengan jelas. Hanya saja yang agak saya sayangkan - meski harusnya hal ini cukup wajar - , karakter-karakter lainnya tak jauh dari karakter generik standar cerita fantasi tinggi. Mulai dari penjahat licik yang kejam, pria tua bijaksana berkekuatan dahsyat, hingga paman yang ingin merebut kekuasaan dari sang ayah. Poin plusnya adalah ketika porsi karakter-karakter ini dimainkan dengan pas sehingga membuat cerita tetap mengalun apik.

Sementara bagian dari karakterisasi yang paling mengganggu saya adalah pembedaan cara dialog untuk kaum kelahiran rendah, saxmor, dan frameless kelas atas. Untuk kaum kelahiran rendah, dialog yang dipakai ialah kalimat tidak baku, yang mana kemudian saya sadari bukan hanya kalimat tidak bakunya saja tetapi juga susunan Subjek-Predikat-Objek-Keterangan dari kalimat yang diacak, membuat saya kesulitan untuk memahaminya dalam sekali baca. Hal ini juga terjadi pada dialog kaum saxmor, namun lebih sulitnya karena ceritanya lidah mereka berbeda dengan lidah manusia, sehingga ada kata-kata yang ditulis dengan dipelintir. Untuk dialog frameless kelas atas, kadang digunakan kosakata-kosakata yang terasa tidak umum.

Secara alur cerita, alur ceritanya bukanlah sesuatu yang tidak akan disangka-sangka oleh pembaca, malah cenderung klise bagi penggemar cerita fantasi. Misalnya adalah jati diri dari salah satu karakter utamanya. Saya bahkan sempat berharap agar si karakter utama ini merupakan orang biasa saja. Namun nilai plusnya adalah seluruh rangkaian alur cerita disusun secara solid dengan sebab-akibat yang jelas dan logis. Paling-paling hal yang saya pertanyakan ada pada adegan di mana Rhys hendak dibunuh tapi penjahatnya malah sekedar memberinya obat pelumpuh lalu membuangnya agar dimakan anjing mutan, bukannya langsung dieksekusi mati di tempat.

Dari segi narasi dan teknik kepenulisan, sudah sangat oke. Informasi yang disampaikan efektif tanpa berlebih-lebihan. Hal ini membuat pembaca saga Vandaria baru seperti saya pun bisa dengan mudah mengikuti kisah yang berlangsung di Winterflame ini. Deskripsi pertarungan yang terjadi cukup banyak juga sangat mudah untuk divisualisasi. Hanya ada sedikit typo dan kesalahan enter di beberapa bagian.

Oh ya, satu lagi yang tidak boleh lupa disebut adalah terdapat ilustrasi-ilustrasi menarik yang membantu penjelasan seting latar kota-kota di Ortheva.

Nah. sekian saja review buku dari saya. Satu pesan terakhir, overall Winterflame ini cukup worth untuk kalian miliki (buat yang belum punya), minimal covernya keren untuk dipamerin. :^)

Comments

  1. Tjieee... Cadel punya lbog... :))))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe, jangan lupa mampir terus ya ke blog ini >,<

      Delete
  2. Wihhh, orang Indonesia ternyata banyak yg jago nulis genre fantasy ya. Semoga suatu hari bisa diadaptasi jadi film sama HBO, kayak Game of Thrones =)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bisa dikatakan lumayan lah, tapi untuk saat ini masih sulit karena genre yang umu di pasar pembaca Indonesia masih didominasi genre-genre seperti teenlit dan horor. Tapi yah mudah-mudahan ke depannya genre fantasi ini semakin berkembang. :))

      Delete
  3. Keren reviewnya mas.....melongo saya bacanya

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

The Masque of the Red Death

Review Novel : Attack On Titan Before The Fall Vol. 1

Review Novel : Zombie Aedes