Ghost Service : Di Balik Suara


PART 1

Raito Ishikawa adalah penggemar berat Otoshima, seiyuu cantik yang menjadi pujaan banyak penonton anime di Jepang. Pemuda itu bahkan bersusah-payah kuliah di Tokyo untuk mewujudkan mimpinya—yang orang-orang sebut sebagai mimpi di siang bolong. Namun, ia sudah terlanjur jatuh hati pada sang idola. Ia berharap suatu hari bisa menghadiri acara Live yang dihadiri Otoshima. Lalu keduanya tidak sengaja berpapasan, lalu berkenalan, lalu... terjadi imajinasi-imajinasi yang terlalu indah untuk dibayangkan.

Sayangnya mimpi itu kandas. Bukan karena akhirnya Raito memutuskan untuk berpikir realistis. Hanya saja beberapa hari setelah ia menginjakkan kaki di Tokyo, Otoshima mengumumkan pengunduran diri dari dunia pengisi suara, untuk waktu yang tak ditentukan. Bisa jadi selamanya.

Raito hancur. Mendadak ia ingin pulang ke kampung halaman. Sayangnya ia tak bisa kabur begitu saja. Apa nanti kata orang tuanya yang sudah susah payah memberangkatkannya ke Tokyo. Ia juga khawatir diledek habis-habisan oleh teman SMAnya.

Dengan setitik semangat yang hampir redup, Raito terpaksa menjalani hari demi hari. Sesekali menonton ulang anime yang bahkan sudah ia hafal seluruh dialognya, cuma untuk mendengar suara Otoshima yang hangat, yang tak pernah gagal membuat hatinya berbuga-bunga.

Sore itu pun ia bergegas pulang ke apartemen setelah dimarahi atasan di tempat kerja paruh waktu. Ia ingin mengurung diri di kamar, lalu mendengarkan lagu anime yang dinyanyikan Otoshima sampai perasaannya membaik.

Untuk mencapai kamar apartemennya, Raito melewati apartemen lain yang pintunya terbuka lebar. Sekilas ia melihat tumpukan kardus dan perabotan yang masih dibungkus plastik. Sepertinya ia punya tetangga baru. Tapi ia sedang malas bersosialisasi, jadi langsung menuju pintu apartemennya sendiri. Ia memasukkan kunci, memutar kenop, lalu berdiri tegang karena tiba-tiba mendengar jeritan dari sebelah.

"KYAAAAAAAAAA!”

Tanpa pikir panjang Raito berlari memasuki apartemen sebelah. Ia segera mencium bau gosong dari arah dapur. Benar saja, lidah api sedang menari dari wajan penggorengan. Seorang gadis berambut pendek menjerit-jerit di sudut lain ruangan. Benar-benar situasi yang mengerikan!

Raito menarik napas, lalu berjalan mendekati kompor dengan hati-hati. Ia merundukkan tubuhnya agar tidak tersambar, kemudian menutup saluran gas. Api di wajan pun perlahan padam.

"Huh, ya ampun, kenapa bisa sampai begini?" Pemuda itu mengusap keringat dingin di keningnya. "Untung tidak sampai kebakaran..."

Sang gadis yang sedang Raito ajak bicara itu hanya diam, masih mengkerut di pojokan. Kedua matanya berkaca-kaca. Setelah sadar nyawanya sudah tak terancam, ia segera berdiri lalu membungkukkan badan dalam-dalam, berkali-kali.

"Terima kasih! Terima kasih! Tadi aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa!"

Raito mengerutkan dahi. "Apa ini pertama kalinya kau memasak?"

"I-iya," jawab gadis itu sembari menyeka sisa air mata. "Saat ini aku sedang berhemat, jadi kupikir harus masak sendiri untuk makan sehari-hari."

Mendadak kengerian menjalar di benak Raito. Ia tak mampu membayangkan bila kekacauan ini terjadi tiap kali gadis itu mencoba memasak. Bisa-bisa suatu hari nanti apartemen mereka habis terlalap api!

"Hmm, siapa namamu?" tanya Raito.

"Aku Yuika Yuuki."

"Namaku Raito Ishikawa. Bagaimana kalau mulai sekarang aku akan memasak untukmu?"

"Eh? Benarkah? Apa tidak merepotkan?"

Lebih repot jika apartemen mereka terbakar, pikir raito. Ia mengusap-usap tengkuknya, lalu berkata, "Tapi sementara saja, sambil mengajarimu masak. Mengerti?!"

"Iya, aku mengerti. Terima kasih banyak!" Sekali lagi Yuika membungkukkan badannya dalam-dalam.

***

Raito tak pernah menyangka jika impuls sesaat waktu itu membuatnya punya rutinitas baru. Setiap pagi ia membangunkan Yuika untuk membuat sarapan. Sorenya ia mengajari semua yang ia ketahui tentang memasak. Memang tidak banyak, tapi lumayan, berkat kerja sambilannya di kafe.

Selain itu Raito juga membantu beres-beres. Awalnya karena ia sadar kardus-kardus perabotan Yuika masih belum dibongkar bahkan setelah lewat seminggu. Paling cuma baju yang dipakai sehari-hari yang dikeluarkan dari koper. Bahkan sprei kasurnya tidak dipasang dengan benar.

"Kenapa tidak dibereskan?" tanya Raito suatu hari.

"Iya, rencananya besok mau kubereskan, hehe."

Tapi seminggu berikutnya masih saja belum ada perubahan. Kesabaran Raito pun habis. Ia mendedikasikan hari liburnya untuk beres-beres apartemen Yuika.

"Raito, tidak usah repot-repot—“

"Aku tidak keberatan, kok. Ini, masukkan baju-bajumu ke dalam lemari! Jangan cuma dibiarkan dalam koper, nanti acak-acakan!" perintah Raito seperti ibu rumah tangga yang telaten.

"Iya, iya..." Meski malas, Yuika terpaksa mengerjakannya.

Sebenarnya Raito sendiri bingung kenapa harus bersusah-payah begini. Apa karena Yuika manis? Tapi tidak juga, karena baginya tak ada yang lebih manis daripada Otoshi—

Raito terbelalak saat membuka sebuah kardus yang berisi album lagu serta mechandise dari anime yang diisi suara oleh Otoshima! Tanpa sadar ia mengorek-ngorek isinya, memperhatikan satu-persatu, lalu terkagum melihat album foto edisi terbatas yang gagal ia koleksi.

"Yu—Yuika!" serunya tergagap.

"Ya? Ada apa?" Gadis itu datang dengan tergopoh-gopoh.

"Ka... kau itu..." tangan Raito bergetar saat membolak-balik album foto langka yang ia temukan.

"Ah... itu—“ Yuika menatap Raito heran, tubuhnya gugup dan wajahnya memandang ke langit-langit tampak kebingungan.

"Kok, kau punya album ini? Jadi kamu suka Otoshima?" Raito bertanya penuh semangat. Ia membuka kotak lain dan mendapati kotak tadi bukan satu-satunya merchandise Otoshima yang Yuika milki.

"Ah—eh—begitulah.”

"Sampai punya album ini, padahal aku saja mencarinya tidak dapat-dapat!" seru Raito dengan mata berbinar. Pemuda yang biasanya tenang itu berubah menggebu-gebu setelah menemukan rekan seperjuangan sesama fans Otoshima.

"Aku... kebetulan dapat..."

"Tapi itu kan dibagikan khusus untuk yang hadir di Live Anime Raging Bahamut! Kalau pun ada yang mau jual, harganya sangat mahal!"

"Eh iya ya, hehe."

"Oh iya, aku punya ini, lho—“ Raito merogoh saku celana, lalu menyodorkan telepon genggam dengan stiker bergambar Otoshima versi chibi. "Aku menang sayembara radio Agensi MYIVA! Cuma ada selusin di dunia ini!"

"Raito suka sekali ya dengan Otoshima."

"Loh, kamu juga, kan?"

"Oh—ya—maksudku—kukira Raito tidak suka nonton anime."

"Daripada anime, mungkin lebih tepatnya anime yang ada Otoshimanya, hehe. Aku beli semua Bluray-nya, lho."

"Begitu ya.. tapi dengar-dengar katanya Otoshima sudah pensiun sebagai Seiyuu, ya?"

Mendadak ekspresi Raito yang semula riang menjadi murung. Tapi ia segera tersenyum kembali.

"Yah, mungkin Otoshima butuh istirahat dari dunia hiburan. Ia juga pasti sudah bekerja keras selama ini. Sebagai fans kita harus tetap menghormati keputusannya, kan?"

Yuika mengangguk.

Sejak saat itu Raito semakin sering mengunjungi apartemen Yuika. Kalau biasanya ia datang cuma untuk memasak, sekarang ia sambil menikmati konten-konten album edisi terbatas yang tak bisa ia miliki. Ia juga sering membicarakan Otoshima, sebab tak punya teman kuliah ataupun kerja paruh waktu yang sehobi.

***

Hari itu hari Raito pulang ke apartemen dengan perasaan gundah. Kuliahnya itu berlangsung sampai malam. Ia khawatir Yuika belum makan. Begitu sampai apartemen, secara refleks ia menuju kamar Yuika terlebih dahulu.

"Yui—“

Pintu apartemen Yuika terkunci. Raito mengetuk beberapa kali. Tidak ada jawaban. Ia mengeluarkan telepon genggam, lalu membuat panggilan.

"Ya? Halo?" terdengar suara gadis itu.

"Yuika!" seru Raito. "Kau di mana? Sudah makan?"

"Oh, iya sudah. Aku lupa memberitahumu, hari ini aku ada acara keluar."

"Begitu. Syukurlah kalau begitu, aku sempat khawatir kau masak sendiri lalu membakar seluruh gedung apartemen."

"Hahahaha enak saja. Saat ini kemampuan memasakku sudah lebih baik, tahu! Aku bisa membalik ikan goreng seperti chef terkenal."

Mereka lanjut bicara selama beberapa menit sebelum akhirnya Raito menyudahi pembicaraan. Ia menghela napas, lalu memasuki apartemennya sendiri. Malam ini ia tidak perlu repot-repot memasak. Ia bisa bersantai nonton anime untuk menyegarkan hatinya yang lelah. Mungkin ia akan menonton ulang Jembatan Cinta Arakawa, anime debut Otoshima sebagai seiyuu.

Namun, setelah menghabiskan beberapa episode, rasanya ada yang kurang. Bukannya menonton anime itu tidak menyenangkan, hanya saja belakangan ini seperti ada sesuatu yang lebih menyenangkan, yang setiap harinya membuat Raito tidak sabar untuk pulang. Entah sejak kapan pertemuannya dengan Yuika menjadi kebiasaan, sehingga tanpa gadis itu ia merasa ada yang hilang.

Tapi mungkin saja Raito cuma butuh teman yang sama-sama menyukai Otoshima. Bukannya ia menyukai... pemuda itu menelan ludah. Malam itu ia tidak bisa tidur, berusaha memahami perasaannya sendiri.

***

Seminggu penuh Raito berkonflik dengan hatinya. Ia tidak tahu apa yang bergejolak di dadanya, sebab ia baru pertama mengalami. Dan itu berbeda daripada saat ia mengagumi Otoshima. Rasanya lebih dekat, lebih menyenangkan, lebih menenangkan. Maka akhirnya ia membulatkan tekad.

Raito memberanikan diri mengajak Yuika pergi ke sebuah kafe, tepatnya kafe di mana ia bekerja paruh waktu. Tempatnya bergaya Eropa, memutar alunan jazz yang lembut. Raito, dengan pakaian terbaiknya, membuat Yuika sedikit gugup.

"Malam ini aku sedang malas masak, jadi sebagai gantinya aku mengajakmu ke sini," Raito memulai dengan basa-basi.

"Apa tidak apa-apa?" Yuika terus memperhatikan dekorasi sekelilingnya yang tampak mewah.

"Bos memberiku diskon untuk malam ini."

"Jadi... aku boleh memesan semauku, nih? Hihi."

"Jangan mencoba-coba peruntunganmu, ya!" Raito nyengir memperingatkan.

Yuika memesan spagheti dan jus jeruk. Pilihannya cukup sederhana meski tadi sempat menggoda Raito. Lalu keduanya memanggil pelayan. Seorang pemuda berseragam putih yang seumuran Raito pun mendekat.

“Wooow Raito, bagus juga seleramu!” adalah kalimat pertama yang ia ucapkan, sembari memperhatikan Yuika.

“Tanaka, jangan banyak omong! Tidak sopan!” hardik Raito panik. “Yuika, abaikan saja. Mungkin maksudnya selera makananku yang berkelas.”

Raito cepat-cepat menyampaikan pesanan lalu mengusir Tanaka ke dapur. Pemuda itu pergi sambil cengengesan.

“Huh, ada-ada saja...”

“Kalian kelihatannya akrab, ya?”

“Ah, tidak juga. Tanaka memang orangnya hiperaktif, hahahaha.”

Lalu keduanya diam, menunggu pesanan datang. Suasananya agak canggung. Sejak tadi Raito berpikir, kapan saat yang tepat untuk mengatakan. Sebelum atau sesudah makan? Kalau sesudah, apa nanti Yuika tidak keburu ngantuk karena kekenyangan?

“Raito, kenapa bengong begitu?”

Pertanyaan Yuika mengagetkan pemuda itu, hingga refleks iya berkata, “Ada yang ingin kusampaikan—ups!"

"Ya? Apa?"

Sekarang Raito sudah tidak bisa mundur lagi. Ia menelan ludah. Tidak cukup, ia minum dulu air putih yang tersedia di meja sampai habis. Sementara Yuika masih menanti. Raito pun menarik napas dalam-dalam.

"Dari mana harus memulainya ya. Hmm, begini saja." Raito berdeham. "Jadi sebenarnya dulu aku adalah NEET."

Yuika menampilkan ekspresi simpati. "Tidak apa-apa, yang penting, kan, sekarang—“"

"Tunggu, aku belum selesai!" sela Raito. "Itu kan dulu... semua berubah sejak aku mengenal Otoshima. Aku sangat tersentuh saat pertama melihat karakter yang diisi suaranya oleh beliau. Suaranya yang ceria seolah punya kekuatan yang menyentuhku. Karena ia juga aku bekerja keras sampai berhasil ke Tokyo seperti ini."

"Kalau begitu... kau pasti sedih ya karena Otoshima berhenti?"

"Tidak! Ah, maksudku, aku memang sedih, tapi bukan sedih putus asa! Ya, memang, awalnya aku sedih, sih... tapi, maksudku... hmm. Akhirnya aku menyadari sesuatu."

Yuika tak mengucap sepatah kata pun, menanti kelanjutan kalimat Raito.

"Aku sadar," kata pemuda itu, "bahwa yang jauh lebih penting bagiku adalah seseorang yang berada di hadapanku, yang setiap hari memasak bersamaku! Yuika, aku menyukaimu."

Kedua mata Yuika membelalak. Sejak awal ia memang merasa ada yang aneh dengan undangan ini, tapi ia tak pernah menyangka jika ini akan menjadi pernyataan cinta. Perlahan tapi pasti dadanya mulai berdebar keras. Perutnya seperti tergelitik seolah ada kupu-kupu yang beterbangan di sana.

"Aku... aku.." bibir gadis itu mengatup-atup, tak yakin harus menjawab apa. Sementara Raito di seberang meja menatapnya penuh harap. Gadis itu hanya bisa menemukan satu cara untuk keluar dari situasi penuh tekanan ini. "Aku belum bisa memberi jawaban sekarang."

Tiba-tiba ia bangkit dari meja.

"Yuika, tunggu—“

Gadis itu sudah terlanjur pergi keluar kafe. Perasaan Raito menjadi kacau, berusaha keras memahami apa yang terjadi. Apa ia sudah melakukan kesalahan?

Lalu Tanaka datang membawa pesanan. Ia ikut bingung melihat Raito tinggal sendirian.

PART 2

Yuika berlari kecil menyusuri jalanan Tokyo menuju apartemennya. Ia mengunci pintu, lalu menenggelamkan wajah di atas kasur. Ia berusaha menenangkan diri, lalu berpikir pelan-pelan. Tapi otaknya seperti tidak mau diam. Gadis itu pun berguling-guling seperti sosis yang sedang dipanggang.

Akhirnya ia lompat dari ranjang, lalu berlari ke arah lemari. Di dalam salah satu laci terdapat sebuah wig panjang yang tersimpan rapi. Awalnya ia ragu. Namun, ia lekas membulatkan tekad. Ia meraih benda itu lalu mengenakannya. Saat ia menatap cermin, segala kebimbangannya seolah sirna. Ekspresi Otoshima yang tenang dan tajam terpantul dari sana.

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya sebagai Otoshima. Wig itu tidak hanya mampu membuatnya berpikir jernih, tapi juga merasa jadi pribadi yang berbeda.

Ya, Yuika adalah identitas asli dari Otoshima, dan ada sekelumit kisah mengapa Otoshima mendadak undur diri dari dunia pengisi suara.

Saat itu agensi tempat Otoshima bernaung melakukan kerja sama dengan Literature Factory, sebuah penerbit Light Novel besar yang menguasai delapan puluh persen pasar Jepang. Literature Factory akan membuat adaptasi anime dari Light Novel Spear Art, yang popularitasnya sedang  meledak belakangan ini. Otoshima mendapat peran sebagai heroine dalam anime tersebut. Baginya itu adalah kesempatan yang sangat besar.

Namun, terjadi sesuatu yang tak diharapkan saat pertemuan staff dari pihak S.D. Agency dan Literature Factory. Mereka mengakhiri pertemuan dengan minum-minum di kantor Literature Factory. Sawamura, manajer dari Literature Factory, mengajak Otoshima ke ruangannya untuk membahas sesuatu. Awalnya gadis itu tidak menaruh curiga, sampai tiba-tiba Sawamura berusaha melampiaskan hawa nafsunya.

Otoshima berusaha melawan. Ia berteriak keras-keras. Beruntung manajernya—Eiji—sudah mencium gelagat aneh itu. Ia membuntuti Sawamura, lalu segera menolong saat mendengar jeritan Otoshima.

Otoshima meminta pertanggungjawaban, tapi rupanya pihak agensi maupun penerbit memutuskan jalan keluar yang berbeda. Skandal ini disembunyikan untuk menjaga citra perusahaan, dan mereka hanya meminta maaf lalu meminta Otoshima melupakan semuanya. Bahkan Sawamura tidak dipecat, hanya dipindah tugas ke bagian lain.

Otoshima merasa tidak mampu bekerja bersama perusahaan yang melindungi pemerkosanya. Oleh sebab itu ia memilih untuk mundur. Ia ingin menenangkan diri.

Hanya saja saat ini ia kembali gusar. Pemuda yang memasak untuknya setiap hari tiba-tiba menyatakan perasaan. Dadanya jadi berdebar-debar terus, dan wajahnya panas.

Ia bukannya tidak mau menerima.

Gadis itu mengambil telepon genggamnya, lalu mengetik sebuah pesan.

"Raito, maaf aku tiba-tiba pergi. Tapi ada yang harus kulakukan dulu sebelum memberimu jawaban."

Ia mengirimnya,

Otoshima bukannya tidak mau menerima. Entah sejak kapan, ia selalu merasa senang tiap kali pemuda itu datang pada pagi dan sore hari. Tanpa sadar ia jadi terus menantikannya. Namun, ia merasa tak adil jika hanya ia yang mendapat kebahagiaan. Ia juga ingin pemuda itu mendapatkan kembali apa yang jauh-jauh dicarinya sampai Tokyo.

Gadis itu mencari sebuah kontak nama di telepon genggamnya, lalu melakukan panggilan.

"Halo, Pak Eiji?" ucapnya. "Aku sehat." Setelah mendengarkan beberapa saat, ia berkata, "Aku ingin kembali mengisi suara."

Hening sejenak. Lalu tiba-tiba Eiji berseru heboh di seberang sana. Tidak heran, sebab selama ini ia terus menanti cemas sambil berharap. Kehilangan seiyuu sebesar Otoshima adalah kehilangan besar bagi industri maupun para fans.

***

Otoshima datang ke agensi sesuai permintaan Eiji. Ada banyak hal yang harus mereka bahas. Awalnya gadis itu masih ragu, tapi begitu memasuki lobi, para staff memberi sambutan yang hangat. Ia segera merasa nyaman seperti dulu. Seseorang mengantarnya ke kantor Eiji di lantai atas. Pria paruh baya itu tak bisa menyembunyikan senyum sumringah saat melihat Otoshima.

"Duduk! Duduk! Syukurlah aku bisa melihatmu lagi di ruangan ini!"

"Ya, terima kasih," jawab gadis itu dengan anggun.

"Apa kau tahu, saat ini seluruh industri sedang gempar! Semua orang sudah menunggumu kembali."

"Maaf karena sudah menyusahkan." Otoshima menundukkan kepala.

"Tidak apa, tidak apa, kami semua mengerti apa yang harus kau hadapi selama ini."

"Aku harap ke depannya kita bisa bekerja sama lagi dengan baik."

"Mengenai hal itu..." Eiji mengerutkan dahi. "Ada yang perlu kusampaikan. Tapi keputusan akhirnya tetap di tanganmu."

"Apa itu, Pak?"

"Musim lalu kau batal mengisi anime Spear Art. Tapi Literature Factory rupanya masih mengharapkanmu bergabung mengisi suara di musim baru Attack on Gods. Itu juga untuk mengobati para fans yang sempat kecewa."

Otoshima langsung merasa kebebasannya terenggut kembali. Di antara semua, kenapa harus perusahaan itu yang pertama memberinya penawaran.

"Apa aku boleh menolak?"

Eiji terdiam. Tampaknya ada hal yang sulit ia katakan. Namun, ia harus tetap mengutarakannya.

"Jika kau lakukan itu," ucapnya hati-hati. "Literature Factory mungkin akan memasukanmu ke daftar hitam untuk semua adaptasi anime dari Light Novel yang mereka terbitkan."

Otoshima tertegun. Literature Factory menguasai delapan puluh persen pasar Light Novel di Jepang. Sementara saat ini satu dari tiga aime yang diproduksi setiap musimnya adalah adaptasi Light Novel. Apabila ia masuk daftar hitam perusahaan itu, maka ia akan kehilangan peluang untuk mengisi anime-anime besar.

"Tidak perlu menjawab sekarang," kata Eiji saat menyadari kekhawatiran Otoshima. "Kau bisa memikirkannya dulu. Yang jelas, aku dan seluruh agensi ini akan mendukung apapun keputusanmu."

***

Kebimbangan terus menguasai Otoshima—juga saat ia menjadi Yuika. Berdiam di kamar membuat pikirannya makin kusut. Gadis itu pun jalan-jalan keliling gedung apartemen, lalu menghabiskan sore bermain ayunan di taman. Semilir angin membuat perasaannya nyaman untuk sesaat. Ia harap jalan keluar bisa datang secara tiba-tiba bersama tiupan itu.

"Yuika?"

Gadis itu terkejut lalu menoleh. Yang memanggilnya barusan adalah Raito. Ia langsung salah tingkah. Setelah sempat menghindari pemuda itu, ia berniat untuk mulai bicara lagi setelah benar-benar kembali ke dunia seiyuu. Tetapi kebimbangan ini menghentikannya, hingga akhirnya ia menjauhi Raito terlalu lama.

"A—sejak kapan—anu—“

"Tenang, aku tidak akan meminta jawabanmu sekarang," potong Raito, lalu duduk di ayunan sebelah. "Aku hanya... maksudku, tak perlu merasa tidak enak. Katakan saja kalau menurutmu waktunya sudah tepat."

Yuika terenyak, tapi ia ingat memang seperti itulah Raito. Seorang pemuda yang mampu memahami pengunduran diri Otoshima dengan lapang dada.

"Hei, Raito," ucap Yuika setelah keheningan sesaat. "Boleh aku minta pendapat?"

"Tentu saja boleh, memasak untuk setiap hari saja aku rela."

"Iya ya, hehe." Yuika menggaruk-garuk pipinya. "Jadi begini. Hmm... Kalau misal ada atasan yang melecehkan Raito, lalu Raito keluar dari perusahaan itu. Tapi kemudian perusahaan itu ingin merekrut Raito lagi, apa yang akan kau lakukan?"

"Aku? Kenapa aku dilece—“ kalimat Raito mengambang kala ia sadar apa maksud di balik perumpamaan tersebut. Tentu saja, tidak semua orang bisa dengan gamblang menyebutkan masalah seperti itu. "Eh-Em! Baik. Kalau aku pernah dilecehkan, tentu saja aku tak mau bekerja di sana lagi."

"Tapi..." Yuika menjejakkan kakinya di tanah, lalu mulai berayun ringan. "Bagaimana kalau karena menolaknya kau jadi kehilangan kesempatan yang sangat besar?"

Raito tahu ini adalah masalah sensitif. Sebagian dirinya marah mengetahui kejadian buruk semacam itu pernah menimpa Yuika. Ia berpikir sejenak, lalu menjawab dengan hati-hati.

"Kau masih ingat anime Panggung Angkasa, kan?"

"Panggung Angkasa? Masih."

"Di situ Otoshima berperan sebagai staff panggung yang mendapat tawaran debut sebagai artis dari panggung rival. Tapi syaratnya ia harus menyabotase panggung tempatnya bekerja. Kau tahu, kan, apa yang terjadi selanjutnya?"

Yuika mengangguk.

"Ia menolak tawaran itu," lanjut Raito. "Tapi pada akhirnya ia tetap debut sebagai artis, di panggung tempatnya bekerja. Karena ia memang ditakdirkan untuk hal besar, maka kesempatan itu pasti akan datang lagi!"

Yuika tertegun. Gadis itu menatap takjub wajah Raito yang tertimpa cahaya senja.

"Ah, tapi itu kan di anime ya, hehe," Raito menggaruk-garuk tengkuknya. "Tapi aku juga percaya anime memiliki pesan-pesan moral untuk kehidupan. Itu juga sebabnya aku menyukai Otoshima, karena karakter yang ia mainkan selalu memotivasiku.

"Jadi, kalau hal besar itu memang takdirku, aku pasti akan tetap meraihnya asalkan terus berusaha!"

Tanpa sadar air mata Yuika menitik. Ia buru-buru mengusapnya. Raito sempat panik, tapi gadis itu sudah tidak apa-apa. Malah, Yuika akhirnya bisa tersenyum cerah.

"Raito, tunggu aku ya, ada yang harus kubereskan dulu sebelum memberimu jawaban!"

Sebenarnya Raito tak begitu mengerti, tapi ia memang akan bersabar, menunggu Yuika sampai kapanpun.

"Tentu!" ucapnya sembari mengacungkan jempol.

PART 3

Hari berlalu, minggu berputar, musim berganti. Tiba-tiba Otoshima memberi angin segar bagi para fansnya, dengan kembali mengisi suara. Memang cuma anime kecil yang awalnya kurang diantisipasi. Namun, barisan fansnya lekas menunjukkan loyalitas sampai-sampai tdak ada yang menyangka jika anime itu menjadi salah satu terfavorit musim itu.

Raito tidak tahu bagaimana harus bersikap. Ia yang tadinya sudah berusaha ikhlas, tak bisa menahan diri untuk tidak bergabung dalam gelombang fanboy. Akhirnya kedatangannya ke Tokyo tidak sia-sia.

Karir Otoshima perlahan melesat, sampai akhirnya ia dipilih untuk mengisi suara heroine dari franchise anime yang sangat terkenal. Ia juga didapuk untuk menyanyikan lagu pembukanya. Pihak agensi dan studio pun menggelar sebuah acara Live untuk mempromosikan anime tersebut.

Tentu Raito tak melewatkan kesempatan tersebut. Bersama ratusan fans lainnya, ia memadati ruangan. Begitu Otoshima muncul ke panggung, meledaklah perasaan pemuda itu. Sosok yang selama ini hanya ia tonton di layar kaca, akhirnya bisa ia lihat langsung dengan matanya sendiri. Keanggunan Otoshima membuat kebahagiaannya meluap, hingga tanpa sadar ia menjerit sendiri. Akhirnya ia ditertawakan, tapi semua bisa paham. Memangnya siapa yang tidak menjerit saat melihat Otoshima?

Pada sesi tanya jawab, Raito menjadi yang paling cepat mengangkat tangan. Setelah diberikan mic, ia segera mengutarakan penasarannya selama ini.

"Otoshima, bolehkah kami tahu kenapa Anda sempat menghilang dari dunia seiyuu?"

Sebuah pertanyaan yang mewakili fans-fans lainnya.

Awalnya Otoshima tampak kaget. Tapi kemudian ia menjawab disertai tawa kecil, "Otoshima jadi NEET."

Sontak seluruh penonton keheranan. Gadis itu lekas melanjutkan.

"Waktu itu aku sedang sangat terpukul karena ada masalah yang membuatku tak sanggup kembali ke studio rekaman. Tapi untungnya aku bertemu seseorang yang sangat suka pada Otoshima. Dia bilang ini memang sudah takdirku, jadi apapun masalahnya, kesempatan akan tetap datang bila aku terus berusaha!"

Otoshima mengatakan itu sambil menatap Raito. Pemuda itu pun pun terperanjat. Ia sepertinya mengingat kalimat itu, kata-kata yang pernah ia ucapkan pada Yuika. Jadi apakah... Yuika adalah temannya Otoshima?

Acara pun berlanjut sampai selesai. Raito bersiap-siap untuk pulang dengan hati puas.

Namun, seorang staf tiba-tiba memanggilnya.

"Apa kau adalah Raito?" tanya pria itu.

"Ya?"

"Saya Eiji," ucapnya.

"Ada apa ya?"

"Ada pesan dari Otoshima. Ayo ikut aku ke belakang panggung."

"Pesan? Dari Otoshima? Yang benar?" Raito khawatir orang itu penipu.

Eiji segera mengeluarkan kartu namanya untuk meyakinkan. Raito memperhatikannya berulang kali, lalu memutuskan untuk ikut dulu. Kalau ada apa-apa ia masih bisa berteriak minta tolong. Toh di gedung ini masih ada banyak orang.

Raito mengikuti pria itu menuju sebuah ruangan, yang memang di pintunya tertulis nama 'Otoshima'. Dada Raito mulai berdebar-debar tidak karuan.

Eiji mengetuk pintu, lalu dipersilakan masuk dari dalam. Eiji pun membukakannya untuk Raito.

"Masuklah."

Raito takut disekap begitu ia masuk ke dalam, tapi ia juga ingin tahu siapa yang ada di balik pintu bertulis 'Otoshima' tersebut.

Kemudian kedua matanya terbelalak.

"Yuika?" ucapnya. "Apa yang sedang kau lakukan di sini?"

Yuika, gadis itu, duduk di samping sebuah wig yang diletakkan di meja.

"Ah, Raito, anu, sebenarnya aku--"

"Kau temannya Otoshima, ya? Kenapa tidak bilang? Pantas saja Otoshima tahu kata-kata yang pernah kubilang padamu!"

Pemuda itu terus bicara seperti senapan mesin. Yuika tadinya kesal karena kalimatya dipotong, tapi lama-kelamaan jadi geli sendiri sampai tertawa  cekikikan.

"Eh, kenapa sih? Kok malah ketawa?" tanya Raito sambil mengernyitkan sebelah alis.

Yuika memutuskan untuk menjelaskan tanpa kata-kata. Ia meraih wig di sampingnya, lalu mengenakan itu di kepalanya. Wajahnya yang bulat ceria tiba-tiba tampak lebih tirus dan dewasa. Seperti gadis penyihir yang baru saja menggunakan keajaiban sihirnya, menjadi orang yang berbeda.

Raito pun terbelalak. Ia mengucek kedua matanya, lalu melihat lagi. Pandangannya tidak salah. Gadis yang mendadak muncul di hadapannya adalah Otoshima!

"Yu—O—Yui—Shima? Kau... selama ini... kau adalah Otoshima?!”

Gadis mengangguk.

“Raito payah, telat sekali sadarnya!”

Raito menganga. Selama ini ia memasak, beres-beres rumah, bahkan mengobrol dengan Otoshima setiap hari. Dan—ia—tidak—menyadari—itu! Ia melewatkannya begitu saja, tanpa tahu bahwa ia adalah pemuda paling beruntung yang tinggal di apartemen sebelah idolanya! Rasanya ingin sekali ia lompat dari atap sambil teriak keras-keras.

“Habis... habis... kau beda sekali! Pipi Yuika lebih bulat—“

“Maksudmu aku gendut?”

“Bukan! Bukan! Bukan begitu! Maksudku—aaaaargh!!!”

Otoshima tertawa geli melihat tingkah Raito.
"Jadi, mengenai perasaanmu waktu itu, kurasa akhirnya aku bisa menjawab sekarang," kata Otoshima. Mendadak Raito berdiri tegang. "Kalau kau masih bersedia..."

Raito mengangguk-angguk cepat. Ia merasa semakin harus tahu jawaban Otoshima—atau Yuika. Jika memang pada akhirnya ditolak, ia sudah siap. Toh ia bukan siapa-siapa, cuma salah satu dari sekian banyak fans. Sementara Otoshima adalah idola semua or—

"Aku juga suka Raito."

Singkat, jelas, padat. Seketika dada Raito mencelos. Ia nyaris tidak percaya apa yang didengarnya.

“Bisa... bisa diulangi?”

Mendadak wajah Otoshima memerah, “Kau tidak dengar?”

“Dengar sih, cuma... aku... ini seperti mimpi...”

“Kalau begitu dengar baik-baik ya,” Otoshima membuang pandangannya, lalu mengulang dengan malu-malu. “Aku juga suka Raito.”

Raito pun bagai melayang ke langit ketujuh. Rasanya cupid baru saja menembak jantungnya sampai pecah. Lututnya jadi lemas, lalu ia terhuyung ke belakang. Kalaupun mati sekarang, rasanya ia rela.

"Raito! Raito!” Otoshima pun panik melihat pemuda itu ambruk “Pak Eiji, tolong!"

Seketika orang-orang masuk dan ruangan itu menjadi gaduh. Tapi di antara semuanya, hanya suara Otoshima yang terdengar oleh Raito. Suara indah yang tiap kalimatnya seperti nyanyian.


Pemuda itu pun tersenyum, sangat bahagia.

Comments

Popular posts from this blog

The Masque of the Red Death

Review Novel : Attack On Titan Before The Fall Vol. 1

Review Novel : Zombie Aedes