Ghost Service : Rise Against The Demons

Part 1
Pharkil tidak ingat kenapa ia terbaring di antara ilalang. Rasanya seperti bangun dari mimpi panjang. Pemuda itu bangkit, lalu berusaha mereka ulang bagaimana ia bisa sampai di tempat itu. Namun, mendadak dahinya berdenyut. Memorinya buntu. Seperti ada dinding besar yang mencegahnya mengintip. Berapa banyak yang tak bisa ia ingat, ia tidak tahu pasti—entah seminggu, sebulan, atau setahun terakhir.
Pemuda itu memperhatikan sekeliling guna mencari petunjuk. Tidak ada hal selain ilalang... dan beberapa bilah senjata. Ada pedang, tombak, juga belati, tergeletak di dekatnya. Ia sendiri memiliki sebuah pisau kecil tersemat di tali pinggangnya.
“Milik siapa ini?” Ia menggumam pada diri sendiri. Senjata-senjata itu tampak tak asing, tapi ia tak bisa mengingat asal-muasalnya.
Lalu ia memutuskan untuk mengecek salah satu senjata. Sang pedang perak dengan gagang berornamen itu menarik perhatiannya. Maka ia mengulurkan tangan untuk meraih benda itu. Tapi begitu ujung jarinya menyentuh gagang pedang, tiba-tiba energi tak kasat mata bagai menyerang kepalanya. Suara-suara yang tidak terhitung jumlahnya berteriak di dalam kepalanya, menyerukan sesuatu, agar ia pergi ke satu tempat.
Kastil!
Pemuda itu refleks membuang pedangnya, dan seketika suara-suara itu menghilang. Keadaan kembali sunyi. Ia menyeka dahinya yang sudah dibanjiri keringat dingin.
Pemuda itu susah payah untuk berdiri, lalu meregangkan punggung yang kaku. Ia memutar pinggangnya ke kanan dan kiri. Pada saat itulah, bayangan hitam di kejauhan tertangkap penglihatannya. Di sana, di seberang padang ilalang, sebuah kastil hitam berdiri megah di bawah naungan rembulan. Entah mengapa sosoknya membuat jantung pemuda itu berdebar-debar. Kuduknya merinding. Namun, sesuatu mendorongnya untuk pergi ke sana. Bisa jadi suara-suara tadi, bisa juga rasa penasarannya sendiri. Ia ingin tahu kenapa bisa terdampat di sana, dan siapa tahu sang kastil menyimpan jawabannya.
Maka ia membulatkan keputusan. Ia menyarungkan pedang dan belati di pinggangnya, memikul tombak, lalu mulai berjalan ke arah kastil.
***
Semakin mendekati kastil, Pharkil mendapati jejak-jejak pertarungan di sekitarnya. Ilalang yang terbakar hangus, lubang kawah akibat ledakan, dan tentu saja... gelimpangan jasad manusia dan iblis. Seolah perang dahsyat baru terjadi beberapa jam yang lalu. Pemuda itu mual, tapi tidak sampai muntah.
Dengan langkah cermat, ia mewaspadai kalau-kalau ada iblis yang cuma pura-pura mati. Tapi setelah menyebrang jauh pun, sama sekali tak ada tanda-tanda kehidupan. Membuatnya bertanya-tanya, siapakah yang memenangkan pertempuran ini. Mungkinkah kedua belah pihak sama-sama musnah.
Setelah melewati lautan jasad, pemuda itu tiba di gerbang kastil yang sudah tak memiliki gerbang. Palang besinya bengkok, sementara pintu kayunya hancur berantakan.
Ada sebuah patung di samping gerbang yang sangat mencuri perhatian Pharkil. Wajahnya sungguh buruk rupa, dengan tangan panjang yang telapaknya mencapai mata kaki. Sosok raksasanya memancarkan atmosfir yang mengintimidasi. Hiasan yang sangat tidak lazim—umumnya para bangsawan memasang zirah baja sebagai hiasan.
Kau masih hidup!””
Mendadak tubuh Pharkil membeku. Barusan ia seperti mendengar suara. Geraman aneh yang entah dari mana asalnya. Padahal tidak tampak manusia selain dirinya.
Krrrrrkkk...
Pharkil kembali was-was. Terdengar suara retakan pelan yang bersambung, semakin lama semakin keras. Ia menajamkan pendengaran. Ia mengikuti asal suara tersebut, menuju patung iblis yang berdiri di samping gerbang. Retakan menjalar di kulit batunya, dan tiba-tiba kedua tangannya bergerak. Seluruh lapisan batunya meluruh, memperlihatkan kulit merah merah membara dengan urat-urat yang mengalir bagai magma.
Pharkil hanya bisa ternganga menyaksikan semua itu. Tanpa sadar tubuhnya terus bergerak mundur, sambil berharap bisa berada sejauh mungkin dari iblis tersebut. Namun, ia sudah melewatkan kesempatannya untuk lari.
“Aku Angreact!” Sang  iblis meraung. Suaranya membahana angkasa. “Aku tak pernah membiarkan mangsaku hidup!”
Tengkuk Pharkil pun merinding. Ketakutan menerornya.
“Aku—aku bukan mangsamu!” seru pemuda itu. “Aku bahkan tak tahu kenapa bisa ada di sini!”
Tapi percuma saja berusaha meyakinkan iblis yang dipenuhi amarah. Angreact tidak peduli. Makhluk raksasa setinggi tiga meter itu langsung menerkam Pharkil hanya dengan satu lompatan. Tangannya yang panjang terangkat tinggi, dan cakarnya membentang ganas.
Awalnya Pharkil mematung seperti anak kelinci. Namun, insting bertahan hidupnya lekas mengambil alih. Ia menghindar ke samping di saat terakhir, sehingga cakar Angreact hanya berhasil menghantam tanah. Tapi serangan itu sangat dahsyat, sampai-sampai bumi terasa berguncang. Tanah yang terhantam cakarannya membentuk kawah, sementara retakannya menjalar ke mana-mana. Pharkil tak bisa membayangkan apabila serangan itu sampai mengenai dirinya.
Angreact terlihat tidak senang. Ia menoleh, lalu mencakar lagi. Pharkil merundukkan tubuh sehingga serangan itu lewat di atasnya. Iblis itu melancarkan serangan dengan tangan yang lain. Pharkil memusatkan kekuatannya di kaki, lalu melontarkan tubuh ke belakang sekuat tenaga. Ia berhasil mundur cukup jauh hingga tangan sang iblis tak mampu mencapainya.
“Hentikan ini!” teriak Pharkil, sadar ia tak bisa menghindar selamanya. Sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga. Dan sekali saja sang tupai jatuh, kematianlah yang menyambutnya. “Iblis, apa alasanmu menyerangku?”
Angreact menjawab dengan raungan, lalu mengejar Pharkil. Tatapannya yang buas terpatri pada nyawa pemuda itu.
Pharkil tak punya pilihan. Ia menggenggam tombak di tangannya erat. Mungkin hanya benda itu yang bisa menyelamatkannya saat ini.
“Kalau begitu majulah!” Ia memutar tombak, lalu memasang kuda-kuda. Ujung bilah tepat mengarah pada Angreact.
Iblis itu datang. Cakarnya melesat. Pharkil menyapukan tombak untuk menangkal serangan tersebut. Dan berhasil. Bilah tombaknya merobek telapak tangan sang iblis, hingga ia meraung kesakitan. Darah kental seperti magma mengalir dari sana.
Pharkil melanjutkan serangannya. Ia menusukkan tombak itu. Angreact menghindarinya dengan lompat salto ke belakang. Tapi begitu mendarat, ia langsung melentingkan diri kembali ke arah Pharkil. Ia menebaskan kedua cakarnya.
Sang pemuda melintangkan tombaknya untuk bertahan. Ketika hantaman Angreact mengenai tombaknya, ia terpental ke belakang beberapa meter. Tapi itu masih lebih baik daripada menerima cakaran secara langsung.
Melihat Angreact yang langsung menyerang tanpa jeda, Pharkil buru-buru bangkit lalu mempersiapkan kuda-kuda.
Pemuda itu menghindari serangan, lalu balas menyerang. Bahu sang iblis tergores, tapi tak menurunkan kecepatannya. Ia meneruskan serangan seolah luka itu tak ada artinya. Pharkil kembali melintangkan tombaknya untuk bertahan, lalu tubuhnya terpental jauh akibat hantaman sang iblis.
Pemuda itu benar-benar kewalahan. Berapa kali pun ia bangkit, berapa kali pun ia melukai Angreact, seolah tidak ada artinya. Mereka terus bertukar serangan, dan stamina Pharkil makin terkikis. Di sisi lain Angreact bertarung seperti mesin yang tidak kenal lelah. Kalau keadaannya tetap seperti ini, cepat atau lambat Pharkil akan menemui ajalnya.
Karena itu ia harus melakukan sesuatu.
Pharkil mengayunkan tombaknya, lalu melompat jauh ke belakang. Ia mendarat dalam sebuah kuda-kuda menyerang. Ia memutuskan untuk berhenti bertahan. Kali ini ia akan menyerang.
Angreact menjawab tantangan ini. Iblis itu melesatkan cabikan mautnya tanpa berpikir dua kali. Pharkil menerjang di saat bersamaan, mempertaruhkan segalanya pada satu serangan terakhir.
Lalu keduanya menubruk satu sama lain.
Cakar Angreact membentang panjang, menggores pelipis Pharkil.
Namun, bilah tombak pemuda itu berhasil menghujam jantung sang iblis.
Seketika Angreact berhenti bergerak. Ia dia mematung. Pharkil menjaga posisinya, memastikan iblis itu benar-benar mati. Lalu sang iblis ambruk di atas kedua lututnya.
“Manu... sia...” bisiknya, sementara nyala tubuhnya padam, lalu retak menjadi batu.
Pharkil mencabut tombaknya. Ia mengamati patung batu di hadapannya untuk beberapa saat. Setelah yakin makhluk itu tak bergerak lagi, barulah ia memutuskan untuk pergi. Tempat ini terlalu berbahaya. Bagaimana jika di dalam kastil bersemayam iblis yang lebih mengerikan dari Angreact?
Namun, tiba-tiba tombak di tangannya bergetar dan terasa panas. Belum sempat ia berbuat sesuatu, benda itu pecah berkeping-keping. Seperti kaca yang getas. Lalu kepingan itu berubah menjadi cahaya keemasan, yang merasuk cepat ke kepala Pharkil. Mengembalikan potongan-potongan ingatan pada pemuda itu.
***
Gerbang kota.
Ratusan prajurit kerajaan memasuki kota dalam keadaan mengenaskan.
Sebagian sebagai mayat, sebagian terluka parah.
Warga pun ketakutan.
Teror mencekam.
Pasukan iblis iblis sudah mengetuk perbatasan.
“Pharkil!” seru Mix, pemuda gagah yang memanggul tombak besar di bahunya. “Duke Grassfield sudah menunggu kita. Selanjutnya ia akan mengirim legiun petualang untuk melawan iblis. Dan memang sudah seharusnya itu menjadi tugas kita!”
Pharkil mengangguk. Pada Mix, dan pada dua orang lain yang wajahnya terlihat samar.
***
Pharkil meringkuk dengan napas terengah-engah. Hantaman imaji itu membuatnya mengingat banyak hal.
Ia adalah seorang petualang. Yang berbicara padanya adalah Mix, pemilik tombak yang barusan ia gunakan. Mix adalah pengguna tombak terbaik sekaligus sahabatnya. Kemampuan bertarungnya tadi pun mungkin berasal dari tombak itu.
Saat ini seharusnya mereka sedang menyerang kastil yang dijadikan basis para iblis, sesuai arahan Duke Grassfield. Ia juga pergi bersama setidaknya ratusan petualang lainnya.
Tapi apa yang terjadi? Kenapa sekarang ia tinggal sendiri? Apa jasad-jasad yang bergelimpangan itu adalah yang tersisa dari para petualang? Di mana Mix? Siapa pemilik pedang dan belati yang ia temukan bersama tombak itu? Apa tugas mereka sudah selesai?
Namun, baru saja ia bertarung melawan iblis yang menjaga gerbang. Mungkin saja di dalam sana masih ada iblis yang menanti. Pharkil mengepalkan kedua telapak tangannya, lalu berjalan memasuki kastil. Ia malu karena sempat berpikir untuk lari. Sebab bagi seorang petualang, menyelesaikan misi adalah prioritas utama. Meski saat ini ingatannya masih samar, itu bukan alasan untuk berhenti.

Part 2
Pharkil menelusuri lorong kastil yang muram. Bebatuan dindingnya terasa sangat dingin. Begitu sunyi, senyap, seolah serangga pun tak berani memasuki tempat biadab ini.
Tapi semakin mendekati aula utama, samar-samar ia mendengar sesuatu. Maka ia berhenti di ujung lorong, mengintip ke aula.
Sesosok iblis perempuan tengah duduk anggun di atas kursi singgasana. Wajahnya cantik, kulitnya mulus, tapi apa yang ia lakukan akan menciptakan ketakutan pada lelaki manapun yang melihatnya. Iblis itu memegang kepala manusia yang berlumuran darah. Ia sudah membuka batoknya, lalu mencuil otaknya sedikit demi sedikit sebagai camilan. Dan tak hanya satu melainkan puluhan kepala yang sudah kopong tergeletak di sekitarnya. Aula kastil yang semula megah itu kini tampak seperti dasar neraka.
Pharkil bergidik ngeri.
Tiba-tiba kepalanya berdenyut. Aliran ingatan menyeruak lagi ke dalam sana.
***
Para petualang bertarung melawan pasukan tengkorak di padang ilalang.
Mereka sudah hampir menang.
Namun iblis wanita itu datang.
Mera.
Ia mengangkat kedua telapak tangannya, lalu menembakkan bola-bola sihir yang tak terhitung banyaknya.
Seluruh padang rumput segera menjadi ladang pembantaian, yang diwarai ledakan dan serpihan daging.
Di saat yang sama tidak ada pedang, panah, maupun sihir yang mampu menembus sihir pertahanan iblis itu.
Para petualang sudah terbiasa menghadapi situasi sulit lalu berhasil selamat.
Tapi kali ini berbeda.
Harapan mereka seolah sirna di hadapan kekuatan absolut.
***
Pharkil terjatuh di atas kedua lututnya. Ia gemetar bukan main sampai-sampai tak mampu menjaga keseimbangan tubuh. Napasnya memburu. Ia ingat bagaimana ratusan petualang mati di depan matanya. Ia tak pernah menghadapi iblis sekuat itu. Dan jika manusia-manusia terkuat tak bisa menghentikan Mera, maka tak ada yang bisa. Apalagi cuma seorang pemuda lemah.
Akhirnya ia tahu kenapa ia kehilangan ingatan. Pasti ia sendiri yang menghapusnya. Ia ingin melupakan mimpi buruk itu dan melepas beban berat di pundaknya. Ia ingin lari saja, karena tidak ada yang bisa dilakukan untuk mencegah kehancuran kerajaan.
Jangan lari!
Pemuda itu membelalak. Ada yang berbicara padanya, tapi bukan ke telinga. Suara itu seperti berbunyi di pikirannya. Dan ia mengenal suara itu.
“Spinel?” bisiknya.
Gunakan belatiku!
“Belati?” Pharkil mencabut benda itu dari pinggangnya. “Tapi—“
Gunakan itu!
Pharkil tak yakin.
Kita membuat kesalahan, dan sekarang kau akan memperbaikinya!
***
Mera menjilati sisa otak dan darah di jemarinya, lalu melempar batok kepala yang sudah kosong ke lantai. Akhirnya ia kenyang, setelah menyantap banyak sekali manusia. Juga tentunya karena petualang memiliki kualitas yang lebih baik dari manusia pada umumnya.
Lalu ia menguap lebar, kemudian bersender nyaman di singgasana.
“Sekarang aku mengantuk.”
Iblis itu memejamkan mata, lalu membayangkan berapa banyak manusia yang bisa ia santap di ibukota. Sebagai iblis yang terlahir dengan wujud menyerupai manusia, ia memiliki obsesi tak wajar terhadap manusia. Ia selalu ingin makan, makan, makan, makan, makan, makan, makan, makan, makan, makan manusia.
Tapi tiba-tiba imajinasinya kacau karena ia mendengar suara derit dari ujung lorong.
Sontak ia bangkit, lalu menembakkan bola sihir yang meledakkan sebagian kastil. Menyisakan lubang dan puing.
“Apa masih ada manusia yang tersisa?” serunya.
Tak ada jawaban. Tapi Mera tahu bahwa seseorang ada di sana, sebab hidungnya tak pernah gagal membaui aroma manusia.
“Keluarlah, aku tahu kau di sana!” ucapnya seraya berjalan melenggang ke arah lorong. “Perutku masih cukup untuk satu manusia lagi!”
Mera kembali menembakkan bola sihir. Ia menghancurkan dinding lorong sepenuhnya.
Namun, tiba-tiba aroma itu tercium dari belakangnya. Ia segera berbalik lalu menembakkan bola sihirnya. Sayangnya ledakan itu juga tak mengenai apapun kecuali dinding dan lantai batu.
“Di mana kau?!” Ia mulai berteriak. Kesabarannya terkikis.
Ia membuat gerakan tiba-tiba, lalu meledakkan kursi singgasana.
Masih tak ada manusia yang terlihat.
Tapi penciumannya membuat iblis itu gila, sebab ia yakin ada manusia yang sedang bersembunyi di dalam kastil.
“Aku tahu!” serunya. “Akan kuhancurkan saja seluruh kastil ini, biar kau terkubur hidup-hidup!”
Ia merentangkan kedua tangannya, lalu menembakkan bola-bola sihir secara brutal. Ledakan demi ledakan pun memporak-porandakan seisi kastil, meruntuhkan dinding-dinding, serta menjebol langit-langit. Dan iblis itu tertawa, terbahak-bahak. Seolah semua ini tak lebih dari permainan kecil—
“!!!”
Tiba-tiba sebilah tajam menembus jantung Mera dari belakang. Ia tercekat, tapi tak ada yang bisa di lakukan. Seketika seluruh energi sihirnya sirna. Ia bahkan tak mampu membentuk sihir pelindung.
“Sejak... sejak kapan...” Ia berusaha menoleh. Hanya sekelebat sosok manusia terlihat di belakangnya. Lalu ia jatuh tersungkur di lantai.
***
Pharkil memastikan tubuh Mera tak lagi bernapas.
Kesalahan para petualang sebelumnya adalah karena mereka menghadapi iblis itu secara langsung. Mera memiliki sihir serangan dan pertahanan yang tak tertandingi. Namun, sebenarnya ia punya satu kelemahan—tak bisa menggunakan sihir penyerang dan pertahanan secara bersamaan. Maka satu-satunya kesempatan untuk mengalahkannya adalah dengan menikam dari belakang saat ia sibuk menembakkan bola sihir.
Dan belati milik Spinel adalah senjata sempurna untuk melakukan aksi tersebut. Belati itu memberi penggunanya kekuatan untuk menghilangkan hawa keberadaan. Sambil memanfaatkan kelebihan itu, Pharkil memanipulasi aroma manusianya untuk membingungkan Mera. Lalu perlahan mendekati iblis itu dari belakang.
Belati yang sudah menunaikan tugasnya itu pun pecah, menjadi serpihan-serpihan cahaya yang melengkapi memori Pharkil. Pemuda itu mengingat Spinel, pemuda yang tak banyak bicara dan memiliki keahlian membunuh dalam senyap. Bersama Mix dan Spinel, ia membentuk sebuah kelompok petualang... yang terdiri dari empat orang. Ada satu orang lagi yang belum bisa Pharkil ingat, sang pemilik pedang.

Part 3
Di lantai teratas kastil, terdapat ruangan yang cukup megah—saat ini permukaannya agak miring akibat kekacauan yang dibuat Mera. Pharkil menapaki ruang itu. Satu iblis tengah bersemayam di sana, seolah memang sedang menanti kedatangannya. Ia adalah Hubal, iblis bertanduk empat dengan bulu-bulu keemasan tumbuh di sekujur tubuhnya. Ia membawa gada yang sangat besar, yang memancarkan aroma kematian.
“Apa kau yang terakhir?” Pharkil memberanikan diri untuk bertanya. Ia mencabut pedangnya.
Hubal tidak menjawab. Ia cuma menatap pemuda itu melalui sepasang mata kuning dengan pupil berupa garis hitam horizontal.
“Kalau begitu kuartikan demikian.”
Pharkil berlari menerjang. Ia mengitari Hubal, lalu menyabetkan pedangnya ke bagian yang tampak tak terlindung. Tapi iblis itu segera mengayunkan gadanya secepat kilat. Senjata mereka bertemu hingga terbentuk percikan api. Pedang Pharkil terpental ke belakang, untuk tak sampai lepas dari genggamannya.
Hubal segera menyerang dengan ayunan-ayunan yang berat. Pharkil bersusah payah menghindari tiap serangan yang datang, sebab jika beradu kekuatan ia sudah pasti kalah. Lantai maupun dinding yang tak sengaja terpukul oleh gada itu saja dibuat hancur berkeping-keping, apalagi batok kepalanya.
Pada satu kesempatan Pharkil berusaha memberi serangan balik. Ia membungkukkan badan untuk menghindari sapuan horizontal Hubal, lalu mencoba menebas kaki makhluk itu. Tapi ia bereaksi cepat. Ia melompat mundur sebelum bilah Pharkil mengenainya.
Pemuda itu mengeratkan geraham, lalu mengejar. Sayangnya kesombongan singkat—karena ia berpikir bisa mendesak Hubal—itu berakhir tragis. Belum sempat ia melesatkan bilah, sapuan Hubal sudah datang. Ia yang sedang menerjang tak mampu untuk menghindar. Maka satu-satunya jalan adalah menggunakan pedangnya sebagai perisai.
Suara pecahan langsung terdengar. Pedang Pharkil menjadi kepingan, sementara tubuhnya tetap terhempas jauh. Ia berguling-guling di lantai, lalu tertelungkup. Tubuhnya terasa berdenyut perih. Mungkin ada satu atau dua tulangnya yang patah.
Pemuda itu berusaha mengangkat kepalanya. Hubal sedang berdiri gagah, menatapnya selayaknya semut yang malang.
Pecahan pedang Pharkil yang berserakan di sekitar iblis itu perlahan berubah menjadi cahaya, lalu menerobos masuk membuka memori Pharkil.
***
Mix adalah sahabat yang mengajak Pharkil untuk menjadi petualang. Spinel adalah sahabat yang mengajarinya cara-cara bertahan hidup sebagai petualang. Dan Seolhyun, adalah yang menjadi alasan bagi Pharkil untuk tetap sebagai petualang, seberapapun berat rintangan yang harus ia hadapi. Sebab gadis itu adalah cinta pertama sekaligus kekasih hatinya.
Seolhyun adalah pendekar pedang terkemuka yang terkenal di seantero kerajaan. Suatu hari Pharkil dan kedua sahabatnya tak sengaja mengerjakan misi yang sama dengan gadis tersebut. Ternyata mereka merasa cocok lalu membentuk kelompok petualang bersama.
Diam-diam Pharkil selalu mengagumi kecantikan, keberanian, juga kemampuan Seolhyun. Ia membulatkan tekad untuk menyampaikan perasaan, dan sama sekali tidak mengira gadis itu akan membalas perasaannya. Sejak saat itu ia menjadi orang yang paling bahagia di bumi. Dan karena itu pulalah, saat Seolhyun terbunuh di depan matanya, ia menjadi orang yang paling berduka di bumi.
***
Air mata Pharkil menetes di depan Hubal. Sayangnya iblis itu tidak bersimpati pada manusia. Ia hanya berdiri di sana, menunggu sang pemuda untuk bangkit dan menantangnya sekali lagi.
Tapi Pharkil tidak bisa bangkit. Kesedihan yang ia rasa begitu dahsyat, dadanya sangat sesak, sampai-sampai ia berharap ingatannya hilang saja. Ia menangis meraung-raung, meneteskan titik demi titik air mata.
“Lebih baik aku mati...”
“Lebih baik aku mati...”
“LEBIH BAIK AKU MATI!!!”
Ia berteriak pada Hubal, yang membalasnya dengan tatapan dingin seperti patung.
Pharkil tahu ia tidak punya kekuatan untuk mengalahkan iblis itu. Ketiga senjatanya sudah hancur, kecuali belati kecil di pinggangnya. Kalaupun ada cara, hanya satu yang melintas di benaknya. Entah bagaimana ia tahu sebuah sihir, yang bisa mengubah seluruh energi kehidupannya menjadi serangan maha dahsyat. Dengan kata lain, sebuah ledakan bunuh diri. Sihir terlarang yang mematikan penggunanya bersama musuh-musuhnya.
“Baiklah.”
Pemuda itu bangkit. Ia berkonsentrasi, memfokuskan energi sihir dari setiap sendi tubuhnya.
“Matilah kau!”
Ia mengangkat tangan, mengarahkan telapaknya ke arah Hubal. Tangannya akan menjadi semacam meriam untuk menembakkan energi.
Hubal menerima tantangan tersebut. Ia tidak melarikan diri. Ia juga tidak menyerang untuk mengacaukan kuda-kuda Pharkil. Iblis itu berdiri seolah menanti serangan yang datang, untuk membuktikan kekuatan sihirnya sendiri.
Pharkil menyunggingkan senyum. Ia ingin sekali bertemu dengan teman-temannya, dan mungkin mereka bisa berkumpul kembali setelah ini.
“Sampai bertemu di alam baka...”
Tapi tiba-tiba tangan yang lembut meraih pergelangan tangannya. Pemuda itu terbelalak, terlebih karena ia sangat mengenali jari-jemari yang tetap indah meski mengayunkan pedang setiap hari. Sosok seorang gadis cantik berdiri di sampingnya, entah imajinasi atau realitas.
“Seo—Seo—lhyun..?”
Gadis itu mengangguk.
“Tapi—tapi—kau—“
“Jangan lakukan,” ucap gadis itu singkat.
“Tapi—untuk apa lagi aku hidup—tanpamu—tanpa kalian?!”
Sosok Mix dan Spinel pun mewujud di depannya, utuh tanpa luka sedikit pun.
“Kalau kau mati, siapa yang akan memastikan Hubal sudah dikalahkan?” kata Mix seraya mengangkat tombaknya. “Aku akan membantumu.”
“Ini pertarungan terakhir kita,” timpal Spinel dengan belatinya.
Lalu keduanya berbalik, menghadapi Hubal.
“Bagiku...” tutur Seolhyun. “Aku hanya ingin kau terus hidup. Mengerti?”
Dan gadis itu tersenyum. Senyuman paling indah yang pernah Pharkil lihat. Bagai sebuah bunga matahari yang tumbuh di tengah padang gersang. Yang segera menghangatkan hatinya. Kemudian gadis ia mengeluarkan pedangnya, bergabung dengan Mix dan Spinel.
“Serang!!!” Ia berseru, lalu pertarungan berlanjut.
Ketiga petualang itu menghadapi Hubal secara bersama-sama, mengayunkan senjata-senjata mereka pada sang iblis.
Hubal mengangkat gadanya ke belakang, lalu membuat sapuan sekuat tenaga. Seolhyun, Spinel, dan Mix mengerem lajunya, kemudian melompat mundur, tepat sebelum senjata sang iblis mengenai mereka.
“Sekarang!”
Seolhyun maju lagi, menghunuskan pedang. Hubal melintangkan gada untuk menangkis serangan tersebut. Tapi tiba-tiba bilah tombak Mix melesat dari belakang Seolhyun. Hubal menghindarinya dengan melompat ke belakang. Namun, tanpa ia sadari Spinel sudah mengendap di belakangnya, dengan belati yang terhunus.
“!!!”
Hubal berhasil menghindar, tapi belati Spinel juga berhasil menggores pinggangnya.
“Kerja bagus!” seru Mix. “Teruskan!”
Mereka melakukan serangan demi serangan yang terkoordinir. Seolhyun menghadapi dari jarak dekat, Mix memberi serangan dukungan dari jarak jauh, sementara Spinel mencari celah untuk memberi tikaman-tikaman fatal.
Namun, semua itu masih belum cukup. Hubal mampu beradaptasi dengan cepat. Ia mempelajari tiap pola serangan yang datang lalu merumuskan cara untuk menangkalnya.
Seolhyun dan yang lainnya tak mau kalah. Jika Hubal bisa beradaptasi dengan cepat, begitu pula dengan mereka. Ketiga petualang itu kerap mengganti formasi, mengejutkan Hubal dengan pola-pola serangan baru.
Sementara Pharkil diam terperanjat menyaksikan pertarungan itu. Ia masih ditelan kegamangan, antara sedih dan bahagia melihat ketiga orang paling penting dalam hidupnya masih bernapas.
Lalu serpihan kenangan itu kembali padanya. Potongan terakhir yang menjelaskan siapa dirinya.
***
Pharkil, seorang necromancer dengan kemampuan yang tidak istimewa.
Apa yang bisa ia bangkitkan tak lebih dari iblis-iblis berlevel rendah.
Ia selalu diremehkan, dicemooh, dipandang sebelah mata.
Kecuali Mix, Spinel, dan Seolhyun, yang menerimanya apa adanya.
Dan berkat merekalah, akhirnya ia bisa menggunakan sihir necromany terkuat.
***
Heroes Awakening,” gumam pemuda itu.
Heroes awakening adalah sihir necromancy kelas atas, yang mampu membangkitkan roh pahlawan dengan kekuatan seutuhnya. Dan Pharkil tak hanya membangkitkan satu, tapi tiga pahlawan sekaligus.
Ia begitu takjub pada dirinya sendiri, hingga tubuhnya gemetar hebat. Tapi, ia tak bisa terus diam sementara ketiga rekannya bertarung habis-habisan. Ia harus mengakhiri ini sekarang dan selama-lamanya.
Pemuda itu pun mencabut sebuah pisau kecil dari pinggangnya. Ia menggenggam pisau itu erat-erat. Senjata yang selalu ia jaga segenap jiwa, sebab ia merasa kemiripin antara dirinya dan senjata itu. Lemah, tak berguna, selalu dianggap enteng. Namun kali ini ia akan membuktikan, bahwa makhluk lemah inilah yang akan menghabisi sang raja iblis.
Pharkil mengamati pertarungan sambil mempelajarinya. Ia memperhatikan gerakan-gerakan Hubal. Iblis sekuat apapun pasti punya kelemahan, itu yang selalu dikatakan Spinel. Maka pemuda itu mulai melangkah. Ia menggenggam pisaunya erat. Tatapannya tajam bagai elang. Di hadapannya sebuah badai pertarungan dahsyat tengah berlangsung, dan ia masuk di antaranya. Di antara Hubal dan Seolhyun yang bertukar serangan, secepat sambaran tombak, setepat tusukan belati. Ia menghunuskan pisaunya dari arah yang tak pernah Hubal duga. Dan senjata itu berhasil menikam jantung sang iblis, menghentikan ambisinya untuk menguasai dunia.
“!!!”
Untuk pertama kalinya wajah tanpa ekspresi Hubal berubah. Rautnya seolah mengatakan bahwa ia tak percaya manusia lemah berhasil melakukan itu padanya. Namun, semua sudah terlambat. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan. Tubuhnya menjadi kaku, lalu terhuyung. Ia mengangkat telunjuknya ke arah Pharkil. Mulutnya bergerak, seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi ia rubuh terlebih dahulu. Mati. Sang raja iblis telah mati.
“Kita menang!!!” raung Pharkil dengan kepalan di udara.
Lalu teman-temannya menyambut dengan seruan yang tak kalah dahsyat. Pedang, tombak, dan belati mereka diangkat tinggi, menandakan kemenangan manusia atas kaum iblis. Perjuangan panjang mereka menemui akhirnya.
“Aku tahu kau bisa melakukannya!” Mix menepuk dada Pharkil.
“Terima kasih.”
“Kalau begitu, sekarang saatnya kita pergi,” kata Spinel. “Kutitipkan dunia ini padamu.”
“Eh? Apa maksudmu?” Pharkil terperanjat.
“Kau membangkitkan kami dengan sihirmu, tapi itu hanya sementara,” jelas Spinel.
“Tidak, aku akan terus mengaktifkan sihir ini!”
“Jangan, atau energi kehidupanmu akan terkuras habis. Kau tidak cukup kuat.”
“Aku mampu!” Pharkil masih berkeras. “Lihat—“
Tiba-tiba pemuda itu ambruk. Napasnya tidak beraturan. Sekujur tubuhnya mulai terasa berdenyut menyakitkan.
“Aku... masih... bis—uhuk—“ Pharkil mengeluarkan darah dari kerongkongannya. Pemuda itu terenyak menyadari batasan dirinya sendiri. Keputusasaan segera menguasai. Ia akan kehilangan teman-temannya sekali lagi.
Namun, sebuah tangan yang lembut menyentuh bahunya. Ia menoleh. Wajah cantik itu tersenyum teduh kepadanya.
“Relakan kami,” ucap Seolhyun.
“Tidak bisa...” Pharkil mulai berurai air mata. “Daripada aku hidup sendiri... lebih baik aku ikut bersama kalian.”
Seolhyun menggelengkan kepala, lalu berkata dengan sabar. “Kami akan terus hidup di hatimu. Tapi orang-orang di dunia ini masih membutuhkanmu. Tanpa petualang sepertimu, siapa yang akan menjadi perisai umat manusia dari serangan iblis?”
“Tapi—tapi—“
Seolhyun membekap mulut Pharkil menggunakan bibirnya. Ciuman yang menghanyutkan.
“Sekarang biarkan kami pergi,” kata Seolhyun. “Kita akan berkumpul lagi ketika waktunya tiba. Sampai saat itu, kutitipkan dunia ini padamu.”
Pharkil tak mampu berkata-kata lagi. Satu-persatu temannya menyampaikan perpisahan, lalu terurai. Mereka pergi ke alam barzah.

Kini sang pemuda tinggal sendiri dalam sunyi. Namun, ia membulatkan tekad. Ia akan tetap bertarung, meneruskan perjuangan teman-temannya.

Comments

Popular posts from this blog

The Masque of the Red Death

Review Novel : Attack On Titan Before The Fall Vol. 1

Review Novel : Zombie Aedes