Oneshot : Crusader dan Necromancer (Part 1/2)

Penduduk kota suci Luxican begitu agamis belakangan ini. Tiap hari ratusan orang berbondong-bondong ke kuil, memohon pada Dewa Iesous agar kehidupan yang damai tak berakhir. Tapi sepertinya itu mustahil, dengan persaingan antara dua kekaisaran yang terus memanas. Columbica dan Reichen tidak mengenal lelah dalam menyebarkan pengaruhnya. Kelak bila tak ada lagi kerajaan netral yang bisa dipengaruhi, mereka pasti akan mulai menduduki wilayah satu sama lain. Jika itu terjadi, bahkan kota suci yang hanya memihak pada Iesous ini tak bisa mengelak dari imbasnya.

Kemudian aku menengadahkan kepala, menatap pahatan patung dewa kami yang anggun bertengger di atap kuil. Sebuah keraguan menyelimuti hatiku, mempertanyakan bagaimana Iesous akan menyelamatkan kami semua. Sedangkan satu-satunya anugrahNya yang dapat kurasakan sebagai crusader hanyalah kekuatan cahaya yang berjaya atas elemen-elemen kegelapan. Dapatkah aku mencegah perang, sementara yang bisa kulakukan hanya berperang. Terlebih aku cuma seorang crusader, bukan raja apalagi kaisar yang kata-katanya bagaikan perwakilan dewa di bumi.

Di tengah lamunan itu, sebuah seruan memanggilku, “Myrmidon!”


Myrmidon bukan namaku, itu adalah panggilan untuk pemimpin tertinggi satu batalion crusader. Saat ini terdapat empat belas Myrmidon yang berada di bawah perintah langsung Uskup Agung, namun hanya batalionku yang bertugas menjaga keamanan Luxican. Sedangkan yang lain, mereka tengah berada di luar sana untuk membantu menegakkan ajaran-ajaran Iesous – salah satunya tentu adalah mempertahankan kedamaian.

“Ya?” jawabku pada Firgo, salah satu kapten regu yang bertugas di bawahku. Kulihat ia amat tergesa-gesa. “Ada apa?”

“Ada mayat hidup di gerbang kuil!” jawabnya menggebu.

Kedua alisku langsung terangkat mendengar pernyataan itu. Luxican diserang oleh seorang necromancer? Di saat seperti ini? Apa tujuannya?

Namun sekarang bukan saatnya untuk mempertanyakan segala sesuatu. Setidaknya untuk saat ini. Aku menggelengkan kepala, lalu menjernihkan pikiran untuk mengamati kondisi dengan lebih seksama.

“Ada berapa mayat hidup yang terlihat?” tanyaku. “Apa sudah melewati gerbang?”

“Hanya satu,” jawab Firgo, “tapi gerbang sudah ditutup.”

Sementara ia mengucapkannya, aku memperhatikan rombongan pendoa yang berjalan terburu-buru dari arah gerbang. Kelihatannya mereka mulai panik.

“Firgo, bawa orang-orangmu untuk menertibkan para pendoa. Bimbing mereka ke tempat aman. Aku akan segera menuju gerbang.”

“Siap, Myrmidon!”

Pemuda itu bergegas mengumpulkan para crusader bawahannya, sementara aku langsung berlari melewati kerumunan manusia menuju ke arah gerbang. Pertanyaan-pertanyaan kembali mencuat dalam benakku. Apa ini ada hubungannya dengan perselisihan antara faksi barat dan timur? Apa kami diserang karena tidak memihak kepada salah satunya?

Begitu sampai di gerbang, memang pintu kayu berpalang besi itu sudah tertutup rapat. Aku lekas menaiki tangga menuju bagian atas dinding yang mengitari area kuil. Di sana, Kapten Euclio tengah memberi komando. Puluhan crusader di bawah perintahnya sudah membidikkan anak panah ke arah bawah.

“Myrmidon,” sapa Euclio yang kubalas dengan anggukan kecil.

Aku segera melempar pandangan ke arah sesosok yang berdiri menantang sekelompok crusader di bawah sana. Yang tertangkap mataku adalah wujud pria berkulit pucat dengan pakaian lusuh. Yang lekas meyakinkanku bahwa ia adalah mayat hidup, tak lain dari aroma busuk yang kucium ketika angin bertiup. Di dunia ini, tidak ada satu apapun yang bisa menyamai bau memuakkan dari daging manusia yang telah dimakan belatung.

“Apa kau tahu keberadaan necromancer yang mengendalikannya? Ia pasti tak jauh dari sini.”

“Mengenali seorang necromancer jauh lebih sulit daripada mengenali mayat hidupnya,” jawab pria tua itu yang masih memiliki ketajaman mata laksana elang. “Aku takut ia sudah menyusup bersama rombongan pendoa.”

“Tapi necromancer tidak berarti tanpa makhluknya,” kataku. “Firgo dan crusadernya pasti bisa berbuat sesuatu jika ia hendak macam-macam. Tapi yang membuatku penasaran,” tambahku, “kenapa makhluk itu diam saja?”

“Tidak, Myrmidon,” bantah Euclio diiringi gelengan kecil. “Mayat hidup itu tidak diam saja.”

Benarkah? Aku kembali memperhatikan bagaimana Kapten Chlodger bersama crusader-crusadernya mengacungkan pedang dan tombak ke arah sang mayat hidup. Sang mayat sama sekali tidak melawan, tapi juga tak terlihat diam sepenuhnya. Ia mengangkat sedikit tangannya ke depan, lalu aku mendengar sesuatu yang harusnya tak mungkin didengar dari jenazah yang dihidupkan oleh sihir Dewa Osiris.

“Aku datang dalam damai,” ucap sang mayat hidup dengan suara berat dan datar.

Chlodger tampak diam sejenak, lalu berseru, “Apa yang kau bawa bersama kedatanganmu ini?!”

“Aku hanya ingin meminta seteguk anggur dari cawan suci yang tersimpan dalam kuilmu.”

Dahiku langsung mengkerut. Anggur yang tersimpan dalam kuil Dewa Iesous bukanlah anggur sembarangan. Menurut kitab yang diwariskan secara turun temurun, minuman itu adalah perwujudan dari darah sang dewa, sehingga mampu memberi keagungan tiada batas bagi peminumnya. Namun untuk apa mayat hidup meminumnya, sementara makhluk itu tak lebih dari boneka?

“Kami para crusader bersumpah mati untuk menjaganya!” seru Chlodger lagi. “Takkan kami biarkan anggur dari cawan suci diminum orang yang salah!”

“Maka aku adalah orang yang tepat,” jawab sang mayat hidup, yang anehnya penuh percaya diri. Bagi mayat hidup untuk berbicara saja sudah aneh, apalagi untuk memiliki karakter yang kuat. Memang aku pernah mendengar keajaiban-keajabian yang mampu dibuat oleh necromancer kelas atas, hanya saja...

“Siapa kau?!” hardik Chlodger.

“Namaku Mad.”

Kedua mataku terbelalak seketika. Satu-satunya ingatan yang melekat dalam benakku apabila mendengar nama itu segera melintas, membuat keringat dingin mengucur dari keningku. Mustahil ia adalah orang itu.

“Mad bukanlah mayat hidup!” Aku tak kuasa untuk terus diam. Kubuka suaraku dengan lantang. “Ia seorang necromancer!”

Mayat hidup itu mendongak, melihat ke arahku. Seketika dadaku berdesir. Ekspresi kelam itu, tatapan getir itu, meski aku tak mengingat rupa fisiknya, namun ada sensasi yang sama dengan ketika aku menyaksikannya tiga puluh tahun lalu.

“Ya, aku adalah necromancer,” jawab sang mayat hidup, “dan sekarang aku merupakan mayat hidup.”

“Bagaimana mungkin?”

“Aku menghidupkan diriku sendiri setelah kematian.”

Itu mustahil... setidaknya bagi necromancer biasa. Tapi bagi Mad... aku mulai merasa bahwa itu mungkin saja terjadi.

“Mad,” panggilku perlahan, “apa yang ingin kau capai dengan kekuatan anggur dari cawan suci?”

“Perdamaian dunia.”

Chlodger segera memotong dengan gaya temperamennya seperti biasa. Ia mengeluarkan umpatan demi umpatan yang intinya tak mempercayai bahwa necromancer, apalagi mayat hidup, bisa memiliki keinginan mulia macam itu. Namun aku terdiam, dan malah bertanya-tanya. Bahkan kami para pengikut cahaya kesulitan untuk mewujudkan perdamaian, lalu apa yang akan dilakukannya?

“Chlodger!” seruku. “Ikat dia, bawa ke ruang interogasi!”

Perintahku jelas. Meski tampaknya keberatan, pria itu lekas memerintahkan crusader-crusadernya untuk untuk mengikat kedua tangan Mad menggunakan borgol yang tersambung pada rantai besi.
Aku memerintahkan Euclio untuk meningkatkan penjagaan dan tetap waspada, kalau-kalau ada penyusup lain yang tengah menjalankan rencana busuk.

Kemudian aku pergi bersama Mad ditemani kawalan para crusader, menuju sebuah ruang tersembunyi di bawah tanah. Area yang penuh akan aura penyiksaan, sesuatu yang sangat menodai kesucian Luxican. Noda darah yang menempel pada kursi dan meja kayu seakan masih menjerit atas derita yang dirasakan pemiliknya. Alat-alat tajam di dinding tak jarang dibiarkan berkarat, seolah tak ada yang mau merawat. Kalau bisa, aku tak pernah ingin memasuki tempat ini. Bahkan Chlodger yang memiliki sifat keras itu tampak tak nyaman saat melihat sebuah kurungan besi yang berisi duri-duri tajam.

“Myrmidon, siapa lagi yang kau bawa?” terdengar suara bergetar dari ujung ruangan.

Aku melihat Lycus, kapten yang nyaris tidak pernah nampak di permukaan. Regunya adalah para crusader yang bertugas untuk melakukan hal-hal kotor, termasuk menyiksa tawanan hingga mati demi untuk menggali sejumput informasi. Sebuah pengorbanan yang luar biasa, atau bisa kubilang justru ia melakukannya dengan senang hati sebagai hobi.

“Apa kau punya cara untuk menginterogasi mayat hidup?” Ketika aku bertanya, Chlodger mendorong Mad hingga ia jatuh tersungkur.

Lycus mengendus. Ia mengernyit sesaat, lalu tersenyum lebar. “Dari mana kau mendapatkannya? Mayat hidup tidak merasakan sakit. Mereka bahkan tidak bisa bicara. Punya pikiran pun tidak.”

“Tapi ia adalah Mad,” jawabku. “Kau punya cara atau tidak?”

Pria itu memandang Mad yang tengah berusaha bangkit. Ia mengamatinya seksama, seperti sedang memperhatikan keanehan di bumi. Lalu entah apa yang terjadi, tiba-tiba ia berubah pikiran.

“Bawa ia ke dalam,” katanya sambil menunjuk salah satu ruangan. “Lalu tinggalkan kami. Aku lebih suka mengerjakan tugasku sendirian.”

“Hei, aku harus ikut ke dalam,” potongku tegas. Aku sama sekali tak mau melewatkan hal ini.

“Oh ya, tentu saja! Tentu saja kau boleh ikut ke dalam, Myrmidon! Asalkan kau tidak menggangguku karena kau merasa terganggu!”

Apa ia meremehkanku? Namun itu justru menandakan bahwa aku masih memiliki harkat sebagai manusia. Karena hanya bajingan rendah penghuni bangsal neraka yang bisa menikmati penyiksaan terhadap orang lain.

Usai memasukkan Mad ke dalam ruangan yang dimaksud serta mengikat kedua tangannya erat ke borgol yang tergantung dari langit-langit, Chlodger dan crusader-crusadernya pergi keluar. Kini hanya tinggal aku, Lycus, Mad, dan seperangkat alat penyiksaan.

“Baik, biar kita mulai,” bisik Lycus disertai sunggingan senyum. Ia mengambil sebuah cambuk, lalu melesatkan dera tepat ke perut Mad. Sayangnya sang mayat hidup tak tampak merasakan siksa apapun. “Fisiknya memang fisik mayat hidup,” komentar Lycus.

“Hei, hei, aku bahkan belum menanyakan apapun,” Aku segera menepuk bahu Lycus. Jika dibiarkan, pria ini akan berbuat semaunya.

“Oh ya, aku lupa,” jawab Lycus enteng.

Orang ini gila! Kurasa ia bahkan tidak mengerti apa arti interogasi. Ia hanya menikmati penyiksaan. Dengan cara seperti ini, ia akan membuat tawanannya putus asa terlebih dahulu.

“Tapi aku ingin coba melakukan sesuatu,” lanjut Lycus. “Tadinya aku mengira ia adalah mayat hidup biasa. Namun saat aku melihat tatapannya, aku merasakan aura kehidupan! Sekalipun fisiknya tak merasakan sakit, pasti ada sudut-sudut dalam hatinya yang menjerit ketika aku memotong sesuatu. Contohnya... bagaimana rasanya melihat organ vitalmu sendiri digiling menjadi makanan anjing?”

Aku tak ingin menanggapi celotehannya. Satu-satunya hal yang ingin kutanyakan adalah mengenai cara seorang necromancer menjaga kedamaian dunia. Sesuatu yang tak akan bisa kulakukan apabila puluhan fanatik mengelilingiku dan terus menghujat atas setiap kalimat yang diucapkan Mad.

“Tak usah repot-repot,” ucap Mad memotong kebahagiaan Lycus. “Karena kini kita bisa bicara empat mata.”

Aku terenyak, “Apa maksudmu?”

“Myrmidon, kurasa kau bersedia mendengarku. Karena itu aku membiarkanmu membawaku ke tempat ini.”

“Begitukah?” responku singkat bernada sangsi, tapi aku tahu, sorot mataku telah menjelaskan persetujuan. Itulah sebabnya mayat hidup itu melanjutkan.

“Tujuanku sungguh perdamaian dunia.”

“Necromancer sepertimu? Bagaimana caranya!?

Mad melakukan gestur menghela napas, meski mayat hidup harusnya tak perlu bernapas. Mungkin itu hanya kebiasaannya kala masih menjadi manusia. Selanjutnya ia mulai bicara, sementara Lycus yang kehilangan minat kini memilih duduk di ujung ruangan.

“Pengalamanku sebagai necromancer dalam berbagai medan perang telah mengajarkanku pada sesuatu,” jelas Mad memulai. “Yang ditakuti para prajurit saat menghadapi necromancer adalah apabila rekan maupun musuhnya bangkit kembali sebagai mayat hidup setelah terbunuh. Oleh sebab itu biasanya mereka akan memberi prioritas dalam menumpas sang necromancer terlebih dahulu. Sekarang bayangkan, apa jadinya jika ada sihir yang mampu mengubah sistem dunia ini. Bagaimana jika setiap manusia yang mati akan berubah menjadi mayat hidup bila tak segera dikuburkan?”

Kedua mataku terbelalak lebar mendengar revelasi tersebut. Aku menelan ludah untuk membasahi tenggorokan, baru berbicara dengan suara yang masih bergetar, “Itu berarti perang akan menjadi ladang penciptaan mayat hidup.”

“Ya, dan hanya raja gila yang rela menciptakan ribuan mayat hidup hanya untuk egonya semata. Apabila perang dalam skala dunia terjadi, maka tidak akan ada yang keluar sebagai pemenang. Satu-satunya yang akan berjalan di atas muka bumi setelahnya hanya para mayat hidup.”

“Dan kau akan mengendalikan para mayat hidup, sehingga kau menjadi satu-satunya pemenang!”

“Tidak, itu tidak benar!” kilah Mad tajam. “Silakan bunuh aku setelah sihir ini berjalan, maka tidak akan ada siapapun yang mengendalikan mayat-mayat itu.”

Otakku lekas berputar meragukan segala sesuatu. Tapi anehnya bukan kejujurannya yang kuragukan, melainkan satu hal yang lain. “Sihir berskala dunia yang mampu mengubah tatanan sistem semesta, bagaimana mungkin kau melakukannya?”

“Kulihat kau mengenali namaku, harusnya kau mengetahui kisah mengenaiku,” ucapnya datar.

“Bukan hanya tahu, tapi tiga puluh tahun lalu aku adalah prajurit pertahanan yang menyaksikan saat kau membawa delapan puluh ribu mayat hidup untuk menyerang kota milik Maharaja Urk,” kataku sambil mau tak mau teringat akan kenangan kala itu. Hujan api turun dari langit atas perintah sang maharaja, menciptakan samudra membara. Namun mayat-mayat hidup di luar dinding terus melenguh dan berjalan maju, seolah tak kenal takut. Sesuatu yang membuat bulu kudukku merinding ketika menyadari keberadaanku yang tak lebih dari sehelai daun di antara badai raksasa.

“Itu benar. Aku melakukan sesuatu yang mustahil dilakukan necromancer pada zamanku, zaman terdahulu, maupun pada zaman yang akan datang. Bahkan Necro sendiri tak bisa melakukannya. Seumur hidup yang kukejar adalah seni kegelapan ini, yang bahkan memungkinkanku untuk menghidupkan jasad matiku sendiri. Karena itu yang kuperlukan kini hanyalah anggur dari cawan suci, untuk melengkapi kekuatanku agar bisa digunakan dalam skala dunia.”

Aku ingin menarik napas dalam-dalam, namun tertahan oleh bau busuk yang terus menguar dari tubuh Mad. Keyakinanku berkontradiksi. Sulit untuk mempercayai apa yang bisa ia lakukan, namun kenyataannya ia telah mencapai hal-hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

“Jika kau mau bukti, kau bisa membunuhku sekarang,” lanjut Mad. “Dan seluruh jenazah di kota suci ini tetap akan bangkit meski tak kukendalikan. Hanya saja, setelah itu kau akan menyesal karena kau tersadar sudah kehilangan potensi terbesar umat manusia.”

“Itu artinya kau sudah mengaktifkan sihirmu?”

“Hanya untuk berjaga-jaga.”

“Ia mengatakan yang sebenarnya,” tiba-tiba Lycus menimpali dari pojokan. “Seluruhnya.”

Lycus adalah pria yang telah menghabiskan dua pertiga dari hidupnya untuk berurusan dengan hal-hal seperti ini. Kecuali Mad adalah raja pembohong, tak mungkin Lycus salah. “Tapi ia adalah mayat hidup...” Tetap saja aku masih sangsi.

“Namun tatapannya hidup dan berbicara,” balas Lycus singkat.

Aku kembali fokus pada Mad. Kuperhatikan tiap detail tubuhnya. Dari wajah hingga ke ujung kaki.
“Mengapa necromancer sepertimu peduli dengan kedamaian dunia?”

Mad Cuma memberi sunggingan senyum kecil, “Ah, tidak juga.” Kemudian ekspresinya kembali datar, “Sekarang tergantung padamu, apa kau mau membantuku?”

Ya, ujungnya pasti seperti ini. Cara paling mudah bagi Mad untuk mendapatkan anggur cawan suci adalah dengan bantuan seorang Myridon yang bertugas menjaga keamanan cawan suci itu sendiri. Tapi haruskah aku berpegang pada kata-katanya? Kata-kata seorang necromancer? Namun kenyataannya crusader sepertiku pun tak bisa berbuat apa-apa dalam menjaga perdamaian.


“Jangan bingung!” hardikan Mad menyadarkanku. “Kalau kau tak bisa memutuskan, biar kujalankan rencana keduaku,” lanjutnya dengan suara yang datar, namun entah mengapa mampu menggetarkan hingga lubuk hatiku yang terdalam.


(bersambung ke part 2/2...)

Comments

Popular posts from this blog

The Masque of the Red Death

Review Novel : Attack On Titan Before The Fall Vol. 1

Review Novel : Zombie Aedes