Oneshot : Crusader dan Necromancer (Part 2/2)

“Rencana kedua, katamu?” Aku hampir tak bisa menutupi keterkejutan. Otakku langsung berputar memikirkan rencana cadangan apa yang mungkin dimiliki Mad. Namun tak kunjung membuahkan hasil, kedua tanganku refleks mencengkram kerah baju mayat hidup itu, “Apa maksudmu?”

Ia hanya meninggalkan sunggingan senyum, dan tiba-tiba kepalanya tertunduk lemas. Tak hanya itu, sekujur tubuhnya tergolek tanpa daya, kini tampak seperti boneka yang digantung. Kurasa penggambaran paling tepat untuk menjelaskan situasi ini adalah... ia baru saja kehilangan nyawa, atau energi sihir yang menggerakkannya.

Kenapa ia melakukan ini? Kenapa ia mematikan dirinya sendiri sekarang? Apa gunanya ia mati, bukankah itu membuatnya tak bisa meminum anggur dari cawan suci?


“Sudah selesai?” tanya Lycus dari belakang.

“Aku tidak mengerti,” jawabku sejujurnya.

“Lalu harus aku apakan tubuhnya?”

“Buang saja ke tempat kau biasa membuangnya.”

Dengan itu aku berjalan keluar dari ruangan. Di sana sudah menunggu Chlodger dan para crusadernya, menantiku dengan wajah penasaran. Tapi sebelum aku sempat berkata apa-apa, seorang crusader berlari dari arah pintu masuk. Lalu ia berteriak, suaranya yang memekakkan telinga bergema dalam ruangan ini.

“Necromancer! Ada serangan necromancer di area kuil!”

Mataku terbelalak seketika. Bodohnya aku. Aku telah termakan ilusi kala mendengar nama ‘Mad’ disebut. Memang, sehebat apapun ia, tak mungkin bisa menghidupkan dirinya sendiri! Seorang necromancer pasti menggunakan jasadnya untuk mengalihkan perhatianku, lalu menyelinap ke dalam.

“Tapi bagaimana caranya?” tanyaku sambil memimpin para crusader bergegas keluar. “Tidak ada jenazah yang disimpan dalam area kuil.”

“Dia membunuhi para pendoa, kemudian membangkitkannya kembali sebagai mayat hidup!”

Sungguh aku tertegun mendengarnya. Para necromancer adalah orang-orang yang menghabiskan berdekade hidupnya untuk mempelajari seni hitam. Aku tak pernah mendengar jika mereka bisa sekaligus terlatih dalam ilmu membunuh.

Di sepanjang jalan, aku melihat beberapa penduduk keheranan menatap kami yang tengah tergesa-gesa. Untunglah jarak antara ruang penyiksaan rahasia dan area kuil tak begitu jauh. Hanya dalam hitungan menit, kami telah tiba di pintu gerbang yang saat ini terbuka lebar, dipenuhi oleh orang yang berlarian keluar.

“Myridon, mereka di dalam!” seru seorang crusader yang tengah membimbing penduduk ke tempat aman.

“Pertebal pertahanan di sini!” balasku sambil lalu. “Jangan sampai ada mayat hidup yang keluar!”

Dan benar saja, begitu aku tiba di halaman depan kuil, aku mendapati pemandangan yang sangat tidak mengenakkan. Puluhan mayat hidup menari-nari di antara crusader yang berniat membunuh mereka.

“Potong kepalanya!” raung Chlodger menginstruksikan cara untuk membunuh makhluk-makhluk penghuni neraka tersebut. Tanpa ragu ia mempraktekkannya sendiri, memenggal sosok yang berada paling dekat dengannya. Kemudian ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. “Di mana necromancernya?!”

Aku tahu di mana dia. Satu-satunya tempat ia berada saat ini, pastilah di ruang penyimpanan cawan suci. Tanpa pikir panjang aku menerabas melewati medan pertempuran. Hanya satu kali kutebaskan pedang yang diselimuti cahaya Iesous ini, yakni saat satu mayat hidup tiba-tiba berusaha menghalangi jalanku.

Begitu memasuki kuil yang megah, aku mendapati pemandangan yang sama dengan di halaman luar. Puluhan mayat hidup dan crusader saling berusaha merebut nyawa satu sama lain. Namun aku tak berhenti hanya sampai di situ. Aku terus berlari ke altar, lalu menuju pintu besi di belakangnya, yang kini sudah terbuka. Tampak ruang penyimpanan cawan suci, dan celakanya benda kudus itu telah berada di tangan seorang necromancer.

Aku melihat sesosok gadis dengan rambut pirang yang terurai hingga pinggang. Ia mengenakan gaun putih yang bersimbah darah, begitu juga dengan pedang pendek yang tergenggam di tangan kanannya. Sepertinya ia menyelundupkan senjata itu di balik gaunnya. Dengan tatapan dingin ia memandangku, kemudian meminum cairan anggur di dalam cawan suci.

“Hentikan!” Spontan aku menerjang. Pedangku teracung ganas. Hanya dalam tiga langkah, aku telah berhasil mendekatinya. Kuayunkan bilah pedangku kuat-kuat, hingga benturan terjadi.

Cawan suci yang ia pegang pun terjatuh, menumpahkan anggur yang tersisa. Tapi aku tak lagi mempedulikan hal itu. Yang membuatku terperangah adalah, bagaimana tangan dan pedang kecilnya mampu menahan hantaman pedangku yang terkenal akan daya hancurnya.

Necromancer itu bergerak mundur sedikit, kemudian berputar. Selanjutnya ia mencoba menebasku. Aku refleks mencondongkan tubuh ke belakang guna menghindar. Namun serangan demi serangan cepat terus ia lancarkan, cukup untuk memaksaku tetap berada dalam posisi bertahan. Meski kucari celah di antaranya, tak juga aku menemukannya.

Maka aku memutuskan untuk menciptakan titik balikku sendiri. Dengan hentakan kuat aku melontarkan tubuhku ke belakang. Begitu mendarat dalam kuda-kuda tangguh, lekas kuayunkan pedang hingga terdengar suara tajam udara terbelah. Tapi rupanya gadis necromancer di hadapanku melakukan keputusan tepat dengan menghindar ke belakang, karena seranganku kali ini tiga kali lebih kuat daripada sebelumnya. Apabila ia coba bertahan, mungkin pedang dan tangannya kini sudah tak utuh lagi.

“Siapa kau? Apa rencana untuk menyelamatkan dunia yang diceritakan Mad adalah sungguhan?” Mad mungkin tidak berbohong, jika tuannya mengendalikan pikirannya seperti itu. Tapi necromancer ini, aku tak tahu apa pikirannya. Lagipula sekarang saja ia sudah menjatuhkan begitu banyak korban, apa ia bisa dipercaya?

Tanpa menjawab kata-kataku, gadis itu menerjang maju. Segera kuayunkan pedang untuk meyambutnya. Namun mendadak ia merundukkan kepala, lalu berguling di bawah ayunanku. Aku berputar secepat mungkin agar kecolongan ini tak berujung pada serangan balik yang mematikan, tapi nyatanya ia tak bersusah payah untuk menyerangku. Necromancer itu justru malah berlari, keluar dari ruang penyimpanan cawan suci ini!

“Hei, jangan kabur!”

Aku mengejarnya, tetapi segala zirah pelindung yang kukenakan serasa menahan gerakanku. Di sisi lain gadis itu tampak lincah dengan gaun putihnya. Sambil menerobos area pertempuran antara crusader dan mayat hidup, beberapa kali ia memampirkan pedang kecilnya pada siapapun yang menghalangi. Tanpa ampun. Seperti dewi pemilik alam kehidupan dan kematian.

“Hentikan gadis itu!” seruku pada semua yang mendengarkan. “Ialah necromancernya!”

Sayangnya semua crusader yang berada di dekat pintu kuil sudah sibuk dengan lawannya masing-masing. Apabila sampai lengah mengalihkan pandangan, mungkin selanjutnya merekalah yang akan bergabung dalam gerombolan mayat hidup.

Sesampai di halaman kuil, aku kembali berteriak, “Tutup gerbang! Jangan sampai ia keluar! Pemanah, jatuhkan necromancer itu!”

Tak berapa lama setelah aku mengatakannya, sebuah anak panah melesat ke arah sang necromancer. Sayang tembakan itu meleset.

Kemudian dua orang crusader berlari untuk menghalanginya. Pedang mereka terangkat tinggi, lalu diayunkan nyaris bersamaan. Tapi sang necromancer mampu bergerak begitu lihai, menghindari keduanya, sambil sempat menyayat leher crusader itu satu persatu. Darah segar pun memancar, menambah ingatan merah yang akan terus terekam dalam benakku seumur hidup.

Yang kutakutkan adalah apabila necromancer itu tiba di pemakaman kota. Entah ada berapa ratus atau ribu mayat hidup yang bisa ia bangkitkan. Dengan kekuatan anggur cawan suci, itu bukan perkara mustahil.

Untunglah gerbang sudah ditutup. Beberapa crusader menghalanginya. Para pemanah yang berjaga di atas dinding mulai menembak. Namun necromancer itu tetap saja bergerak anggun seolah tak mengerti apa itu takut. Dengan ayunan pedang yang seperti menari, ia menepis anak-anak panah yang berdesing ke arahnya. Ia juga menjatuhkan mereka yang mencoba menghalanginya untuk menaiki tangga menuju atas dinding.

Apa ia ingin berbuat nekad, dengan melompat keluar dari atas dinding? Ya, di saat seperti ini tidak ada yang mustahil. Maka aku mengerahkan segenap tenaga untuk mengejarnya ke atas. Karena aku yakin tak akan pernah bisa menyentuh kecepatannya, maka aku melempar pedang besarku padanya.

Besi itu pun berputar seperti roda. Sempat menyadari serangan yang datang, sang gadis necromancer melempar tubuhnya ke samping. Tapi keputusanku tidak meleset karena setidaknya itu membuatnya hilang keseimbangan. Pada saat itulah sebuah anak panah yang dilesatkan Euclio berhasil bersarang di dadanya.

Gadis itu tersentak. Tubuhnya menjadi kaku seketika. Meski masih berdiri, namun ia terlihat sangat rapuh. Pedang pada genggamannya terlepas, lalu ia terhuyung mengikuti tiupan angin. Terdorong menuju tepi dinding, hingga terjatuh ke sisi luar.

Aku bisa mendengar suara daging menghantam tanah, dan dari ketinggian seperti ini kuyakin ia takkan selamat. Tapi sekedar untuk memastikan, aku bergerak menuju sisi dinding dan melihat ke bawah seperti yang lain. Hanya untuk terperangah ngeri...

Di bawah sana tampak gerombolan mayat hidup. Telanjang, memamerkan tubuh yang telah busuk. Berbagai luka menghiasi wujud mereka, menunjukkan kondisi yang tidak lengkap. Aroma busuk yang mereka pancarkan sangat menyiksa hidung, membuat mataku berair seketika. Namun di tengah ratusan kengerian itu, aku dapat mengenali sosok yang beberapa waktu lalu kukira sudah mati sepenuhnya.

Mad.

“Tega-teganya kalian melakukan ini pada Lisa!” serunya setengah berlari menuju gadis necromancer yang tergeletak di tanah.

“Tembak!” Aku memberi aba-aba yang langsung diikuti oleh para pemanah. Namun mayat-mayat hidup segera menutupi Mad, menjadikan tubuh mereka sebagai perisai daging.

“Lisa, bangunlah, aku di sini!” seru Mad lagi sambil berlutut di samping jasad sang necromancer.
Dan lagi-lagi, aku tak bisa mempercayai apa yang kulihat. Gadis yang harusnya tak mungkin selamat itu kini bangkit. Ia mencabut anak panah yang menancap di dadanya, tapi tak ada darah yang keluar. Tulang kaki yang terkilir pada arah mengerikan itu juga seolah tak membuatnya kesakitan. Ekspresinya tetap sedingin saat aku melihatnya di dalam kuil.

“Sudah hentikan saja semua ini, percuma!” ujar Mad seraya menuntun Lisa – si gadis yang semula kuduga sebagai necromancer – laksana putri. Di bawah hujan panah, di tengah perlindungan dinding mayat hidup, ia menatapku. “Aku telah mendapatkan anggurnya.”

Selanjutnya Mad berlutut di depan tubuh Lisa. Ia mengeluarkan sebilah pisau, kemudian melubangi bagian perut sebelah kiri – lambung – dari gadis di hadapannya. Cairan ungu mengalir keluar, dan ia segera menyesapnya khidmat. Peristiwa yang akhirnya membuatku tersadar sepenuhnya.

Sejak awal Lisa adalah mayat hidup. Karya terbaik milik Mad, mungkin bisa kukatakan demikian. Ia cantik, tak mengeluarkan bau, menyerupai manusia seutuhnya, dengan kemampuan bertarung yang luar biasa. Mad menggunakan Lisa untuk memasuki kuil, membunuhi orang agar bisa dijadikan mayat hidup, dan mengambil anggur dari cawan suci.

Untuk mayat-mayat hidup yang dibawa Mad, tentu saja ia mengambilnya dari ruang penyiksaan rahasia. Tampaknya setelah ini aku harus meminta agar Lycus tidak membuang jasad tawanannya sembarangan.

Akhirnya Mad selesai meminum cairan ungu dari perut Lisa. Lalu ia berdiri, dan tersenyum lebar. Ia telah berhasil mencapai tujuannya.

Tiba-tiba kegelapan pekat memancar dari tubuhnya. Sebuah tiang kabut hitam tercipta, menancap darinya hingga ke langit, menggelapkan awan-awan putih yang semula menyelimuti langit. Aura keputusasaan pun menyebar, membuat kudukku merinding. Belum pernah sebelumnya aku melihat yang seperti ini.

“Te-tembak terus!” Raunganku gentar dirundung ngeri.

Tapi Mad tak terpengaruh. Dengan tenangnya, penuh percaya diri, ia berkata, “Saksikanlah keajaiban terbesar yang akan kubuat, untuk menyelamatkan umat manusia!” Seperti mata badai. “Setelah ini kalian harus berpikir dua, tiga, empat, hingga sembilan puluh sembilan kali sebelum membunuh satu sama lain. Kalau saja sejak awal sudah seperti ini, tentu Kain tak akan berani membunuh Habil. Dan juga, tentu kau tidak perlu mati, Lisa.” Mendadak nada suara Mad menjadi sendu kala ia mengucapkan baris terakhir kalimatnya.

Aku pun terenyak memikirkan kemungkinan seperti apa yang menanti kami di masa depan. Di tengah ketakutan para crusader, di tengah anak panah yang perlahan menghujani mayat hidup satu persatu, ada harapan kecil yang bertunas di hatiku.

“Inilah sihir terbesarku,” Mad mengangkat telapak tangannya ke angkasa. “Dunia Osiris.”

Tiang hitam yang memancang dari tubuh Mad perlahan menghilang. Awan kembali berwarna putih seperti kapas. Segala aura intimidasi yang kurasakan barusan kini sirna tak berbekas.

Para crusaderku yang pemberani masih melesatkan anak panahnya, menghujani para mayat hidup, hingga tak ada lagi yang membentengi Mad dan Lisa. Tembakan-tembakan terakhir pun tepat bersarang di kepala mereka, hingga kedua terjatuh. Bersama dengan itu, seluruh mayat hidup yang mengamuk di area kuil tumbang seperti boneka rusak.

Selesai sudah semuanya. Luxican baru saja melewati salah satu dari hari terburuknya.

Tapi satu pertanyaan masih bertutar dalam batinku. Apakah sihir Mad berhasil dilakukan? Dan anehnya diam-diam aku justru berharap demikian. Karena dengan begitu maka pengorbanan hari ini tidak akan sia-sia. Apabila para kaisar segera menyadari perang besar berarti menciptakan mayat hidup dalam skala masal, mungkin mereka tidak akan melakukannya.

Semoga saja.

Comments

  1. Yell, saya suka narasinya. Enteng. Gak berbelit. Mudah dicerna. :>>>

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

The Masque of the Red Death

Review Novel : Attack On Titan Before The Fall Vol. 1

Review Novel : Zombie Aedes