Gadis Penyihirku

Tiga puluh lima tahun yang lalu, Lucifer membagi kekuatannya pada tujuh puluh dua bayi yatim piatu. Selama bertahun-tahun mereka dididik untuk membenci manusia, serta diajarkan bagaimana cara memusnahkannya. Mereka tumbuh menjadi makhluk yang bukan lagi manusia, tapi juga bukan iblis. Lucifer menyebutnya Ars Goetia.
Lima tahun yang lalu, Ars Goetia akhirnya menunjukkan keberadaannya pada dunia. Mereka mendeklarasikan perang terhadap manusia, demi memenuhi keinginan Tuannya—menjadikan bumi sebagai neraka kedua.
Target pertama mereka adalah Washington DC, ibukota dari negara paling adidaya. Tujuannya jelas, sebagai ajang unjuk kekuatan. Dan setelah pertempuran panjang yang melelahkan, Amerika Serikat dibuat luluh lantak.
Bumi pun jatuh dalam keadaan panik. Rusia, Cina, Uni Eropa, semua segera menyiapkan pertahanan masing-masing. Namun tak hanya itu. Surga pun tak tinggal diam.
Tuhan mengutus malaikat-malaikat turun ke bumi, lalu menganugrahkan kekuatan sihir pada gadis-gadis remaja yang suci. Awalnya aku tidak tahu kenapa harus gadis remaja, bukannya bayi atau pria dewasa. Gadis-gadis itu kemudian dikenal sebagai Gadis Penyihir.
Maka proxy war antara surga dan neraka berlangsung di bumi, mengubah planet hijau ini menjadi lautan api.
Tapi, sebentar lagi semua akan berakhir.
“BAEL!!!”
Ini dia. Suara seorang gadis yang berteriak lantang memanggil namaku, Ars Goetia yang pertama.
Aku, berdiri di puncak Burj Khalifa—gedung tertinggi di dunia—, menyaksikan Gadis Penyihir berambut biru itu terbang ke arahku dengan menunggang petir. Di bawah sana terdapat Dubai yang sudah ditelan kehancuran setelah perang besar. Sangat cocok sebagai panggung pertarungan kami, antara Ars Goetia terakhir dan Gadis Penyihir terakhir.
“Blue Jupiter!” seruku seraya merentangkan kedua tangan. Butiran pasir mulai bergulungan di sekitarku. “Badai pasirku berikutnya akan mengubur seluruh umat manusia di bawahnya!”
“Coba saja!” tantang Blue Jupiter mantap.
Gadis Penyihir itu melempar petir dari tangannya. Listrik bertegangan tinggi langsung menyambar tanpa ampun. Aku buru-buru membuat pelindung dari pasir, namun hantaman yang dahsyat tetap membuat konstruksi bangunan di sekitarku hancur berkeping-keping.
Aku pun kehilangan pijakan. Tubuhku terpental jatuh. Tapi aku berhasil memadatkan pasir di telapak kakiku tepat waktu. Aku berusaha mengembalikan keseimbangan, hingga dapat berdiri tegak di udara.
Kutengadahkan kepala untuk menatap mata Blue Jupiter. Tatapanku bernada meremehkan, bermaksud mengatakan bahwa serangan barusan tak berarti apa-apa.
Ia berdecak, mungkin bersumpah petir berikutnya akan menghanguskanku.
Aku membalas dengan sunggingan senyum tidak simetris.
Walau dalam hati, harus kuakui. Sebagian efek sengatan tadi berhasil menyentuhku. Membuat tubuhku bergetar dan hatiku gemetar.
“Blue Jupiter!!!” Aku berteriak nyaring, sekuat tenaga, hingga pita suara ini terasa mau putus. Kulepas semua ganjalan. Karena sekarang adalah kesempatan langka yang telah lama kutunggu.
“Jangan memanggil-manggil namaku dengan mulut busukmu!” balas Gadis Penyihir itu ketus, tapi malah membuatku makin bergelora.
Aku segera menembakkan bola-bola pasir. Ia menepisnya dengan lecutan petir. Bola pasirku pun pecah berhamburan, tapi seranganku belum berakhir. Pasir-pasir di udara itu kugerakkan, kupadatkan kembali menjadi tombak ular raksasa, yang kugunakan untuk menghujamnya.
Seperti yang kuperkirakan, Blue Jupiter mampu menghindari tombak ular—monster ular berkepala tombak—dengan lihai. Ia berputar, meliuk, bergerak ke sana kemari, seolah sedang menari di udara, membuat dadaku makin berdesir.
Kalau begini terus, aku tidak kan tahan lagi. Akan kukeluarkan semua yang kumiliki. Karena kau—Blue Jupiter—adalah Gadis Penyihir favoritku, idolaku, cintaku, harapanku!!!
***
Takdir antara aku dan Blue Jupiter bermula setelah kami—Ars Goetia—berhasil meratakan Amerika Serikat. Tiap negara bagiannya kami kuasai—kalau tidak terlanjur dihancurkan. Lalu dari sana kami menyebar, guna menaklukkan negeri-negeri berikutnya.
Bagianku adalah Jepang. Sebuah negara kepulauan yang terletak di seberang Samudra Pasifik. Aku membawa enam puluh enam legiunku yang perkasa, mengira pertempuran akan berlangsung lebih mudah. Apalagi katanya Jepang sudah tak punya kekuatan militer yang tangguh semenjak kalah dalam perang dunia kedua.
Namun ternyata aku salah.
Begitu legiunku mendekati Pelabuhan Tokyo, bukan armada militer yang menyambut kami, melainkan empat gadis yang berusia—mungkin baru tiga belas. Gadis-gadis yang baru memasuki pubertas.
Aku masih ingat siapa mereka.
Blue Jupiter, gadis tenang yang seringkali tiba-tiba mengamuk, seperti petir di siang bolong.
Red Mars, gadis ramah yang kemarahannya laksana dewa perang.
Black Neptune, gadis berpipi chuby yang terus kuremehkan sampai ia tiba-tiba berhasil menenggelamkan satu legiun.
Dan Pink Venus, gadis manis yang sekilas tampak paling lemah namun ternyata paling membuat legiunku kalang kabut.
Keempatnya adalah gadis suci yang mendapat kekuatan sihir dari malaikat Michael. Para Gadis Penyihir, yang dalam pelafalan Jepang disebut Maho Shoujo.
Di hadapan mereka, aku menyaksikan enam puluh enam legiunku karam. Tak ada yang tersisa. Mungkin ada, tapi tak berani lagi menunjukkan diri.
Pada saat itulah... seluruh ajaran Lucifer... tentang betapa buruknya manusia serta seribu satu alasan untuk membenci eksistensi itu... mendadak sirna dari ingatanku. Karena aku sama sekali tak mengerti, apa yang bisa dibenci dari gadis-gadis murni yang berani mempertaruhkan segalanya untuk melindungi kaumnya.
Bahkan pada saat itu, pada detik itu, aku jatuh cinta...
Mungkin karena itulah malaikat memilih gadis-gadis sebagai perpanjangan tangannya dalam perang ini. Sungguh langkah cerdas.
Aku pun meninggalkan medan pertempuran. Aku segera menghadap Lucifer, berkata bahwa aku tidak bisa melanjutkan perang ini. Aku bahkan sempat berkonfrontasi dengan Goetia lain perihal keputusanku. Tapi tekadku bulan, dan tak ada yang bisa menghalangi.
***
Bertahun-tahun kemudian, aku tak lagi berada di pihak neraka. Meski proxy war masih berlangsung, saat ini aku malah berada di Jepang, di Tokyo Dome. Bersama ribuan fans yang lain, aku menyaksikan pertunjukan Tokyo Goddess—kelompok Gadis Penyihir yang pernah menghancurkan legiunku.
Di bumi ini ada banyak Gadis Penyihir. Tiap malaikat memberi kekuatannya kepada individu maupun kelompok, pada gadis-gadis remaja di seluruh dunia. Lalu dengan tangan-tangan lembutnya, para Gadis Penyihir mengibarkan bendera perang pada Ars Goetia. Diawali oleh pertumpahan darah, lambat laun mereka tampil sebagai pahlawan. Lebih dari itu, kini mereka dipuja sebagai sosok idola.
Sambil mengacung-acungkan light stick, aku ikut melakukan chant bersama fans-fans Tokyo Goddess. Kami mengiringi nyanyian mereka di atas panggung. Ya, aku paham terdapat kesenjangan besar antara perbandingan idola dan fans, sehingga probabilitasku untuk mendapatkan Blue Jupiter amat—sangat—kecil. Karenanya aku cukup puas seperti ini, sebatas menjadi fans yang memberi dukungan tulus.
Kemudian kami dibuat terpukau oleh aksi teatrikal mereka dalam lakon ‘Pertempuran Lepas Pantai Pelabuhan Tokyo’. Efek panggung yang dipadu dengan efek kekuatan sihir mereka sendiri membuat pertunjukan itu amat berkesan. Aku bahkan ikut bersorak saat seluruh legiun jatuh dan sosok Bael melarikan diri.
Akhirnya pertunjukkan berakhir sebelum tengah malam. Aku sangat senang, apalagi mengingat tadi sempat bersalaman dengan Blue Jupiter. Sampai sekarang pun sensasi tangan lembut itu masih terasa. Aku bersumpah, takkan pernah lagi mencuci tangan ini.
Tapi aku haus. Jadi aku mampir ke vending machine untuk membeli minuman soda. Lalu aku mencari tempat duduk. Aku pun bersantai sambil menonton unggahan terbaru video Tokyo Goddess di telepon pintar. Judulnya, ‘Tokyo Goddess Melawan Paimon’. Haha. Sudah kukatakan berapa kali, Goetia payah sepertinya sama sekali bukan tandingan idola-idolaku.
Di tengah keseruan menyaksikan api meteor Red Mars, seseorang duduk di sampingku sambil menghela napas panjang. Otomatis aku melirik ke arahnya. Pria dengan rambut keemasan dan jas hitam, yang rautnya begitu lelah sampai-sampai menutupi ketampanannya sendiri. Aku tahu siapa dia. Dia adalah Michael, malaikat yang memberi kekuatan pada Tokyo Goddess.
Namun ia tak mengenali wujud manusiaku. Aku beruntung memiliki kemampuan menyamar yang paling baik di antara Ars Goetia. Satu-satunya kekuatan yang kubutuhkan untuk menjadi fans Tokyo Goddess.
Sebenarnya aku tak ingin berurusan dengan Michael, tapi ada satu hal membuatku penasaran.
“Pak, anda baik-baik saja?” tanyaku. Mungkin merangkap sebagai manager idola adalah pekerjaan yang berat.
Ia menatapku lalu menggeleng-geleng kepala.
“Saya tahu siapa anda,” lanjutku.
Ia menatapku lagi, kali ini ekspresinya tampak terkejut.
“Anda adalah manager Tokyo Goddess,” tambahku.
Ekspresinya melunak, kemudian tersenyum simpul.
“Anda kelihatannya sangat lelah, tapi saya sangat berterima kasih,” kataku. “Berkat kerja keras anda, umat manusia aman dari ancaman Ars Goetia.”
Tiba-tiba wajah Michael menjadi masam. Dan ia masih tak mengucap sepatah kata pun. Apa ia tak mengerti betapa sulitnya menebak-nebak isi pikiran dari raut ekspresi???
Kurasa sebaiknya aku pulang saja.
“Ah, kau berlebihan. Tidak usah berterima kasih seperti itu.”
Tiba-tiba aku mendengar Michael bersuara. Aku tidak jadi beranjak.
“Aku serius pak,” kataku.
Michael tampak mengerutkan kening. Kurasa ia sedang mempertimbangkan sesuatu. Antara mengatakan atau tidak. Dan akhirnya ia memilih untuk bicara.
“Seharusnya Ars Goetia sudah bisa dimusnahkan seluruhnya sejak tiga tahun lalu.”
“Tiga tahun lalu?!”
Jelas saja aku kaget. Karena yang kutahu sampai detik ini perang masih berlangsung, walau Ars Goetia mulai tumbang satu persatu.
“Ya, tiga tahun lalu,” ulang Michael, tapi tidak melanjutkan kalimatnya. Ia malah melamun pada ruang kosong.
“Tapi perang masih berlangsung pak, minggu lalu saja Tokyo Goddess berhasil mengusir Paimon!”
Michael tertawa. Tawa yang terkekeh. Seperti sedang menertawakanku.
“Itu hanya pertunjukkan sandiwara.”
Tidak mungkin Lucifer membiarkan Ars Goetianya bermain sandiwara dengan Gadis Penyihir.
“Maksud bapak?” tanyaku untuk memastikan.
“Perang yang sebenarnya hanyalah pertempuran yang berlangsung pada setahun pertama,” ujarnya dengan suara agak berbisik seolah takut ada yang menguping. “Pada saat itu memang banyak korban berjatuhan dari pihak manusia dan Gadis Penyihir. Tapi pada saat itu juga jumlah Goetia yang paling banyak dimusnahkan.”
“Berarti para Goetia jadi semakin kuat?”
“Salah,” potong Michael. “Gadis Penyihir yang bertahan dalam pertempuran tahun pertama terus bertambah kuat, sampai titik di mana mereka bisa mengalahkan Goetia dengan mudah.”
Masuk akal, mengingat kehancuran legiunku sendiri di hadapan empat orang gadis.
“Sayangnya, mereka memilih untuk tak melakukannya,” lanjut Michael, yang membuat tenggorokanku kering seketika. “Selama setahun itu, mereka berubah dari gadis yang bukan siapa-siapa, menjadi pahlawan... bahkan idola. Mereka dipuja, diperlakukan bagai dewi, menjadi bintang. Beberapa Gadis Penyihir malah sempat dipinang partai politik sebagai kager untuk meningkatkan elektabilitas calon yang diusung. Gadis Penyihir yang menembakkan cahaya-cahaya untuk melawan Goetia masih bisa diterima akal sehat, tapi gadis remaja yang menjadi kepala pemerintahan? Aku sendiri ragu apa mereka paham apa itu politik.
“Sayangnya, mereka akan kembali menjadi gadis biasa setelah perang ini berakhir. Awalnya para malaikat memberi kekuatan tanpa iming-iming apapun. Gadis-gadis itu murni bertarung demi melindungi umat manusia. Sekarang, mereka bertarung untuk mempertahankan posisinya sebagai bintang.
“Entah sudah berapa kali Paimon menyerang. Tiap kali, jumlah legiunnya makin menipis. Tapi gadis-gadis itu tak pernah benar-benar menghabisinya. Mereka selalu membiarkannya kabur, agar bisa datang mengacau lagi nanti.”
Tanpa sadar rahangku sudah membuka lebar. Lebih tepatnya, aku melongo. Entah mengapa aku tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Padahal bagiku pertarungan hidup-mati gadis-gadis itu adalah keindahan yang sangat luar biasa. Tak pernah kusangka mereka cuma pura-pura terdesak. Dan memang benar, kenapa juga mereka yang telah menghancurkan legiunku, harus terdesak oleh si payah Paimon?
Semuanya... semuanya cuma rekayasa!
Aku meremas kaleng minuman di tanganku hingga isinya tumpah. Aku benar-benar marah. Beraninya Blue Jupiter membohongiku. Ketulusannya, keberaniannya, kecuali kekuatannya, semuanya palsu!
“Pak, kenapa anda membiarkannya?!” seruku seraya menarik kerah kemeja Michael. Ia tampak risih karena tanganku kotor oleh minuman bersoda. “Sama saja anda membiarkan kebodohan ini!”
“Tugasku adalah memberi kekuatan pada Gadis Penyihir, dan menariknya setelah Ars Goetia musnah seluruhnya. Selain itu aku hanya bisa memberi pengarahan, namun mereka menolak pengarahanku! Kau tidak tahu, selama tiga tahun ini aku diperlakukan bagai sampah!!!”
Kurasa, aku bisa memahami perasaannya. Ini sudah keterlaluan.
“Maaf,” kataku sembari melepas cengkraman. “Lalu... bagaimana agar mereka kembali serius seperti dulu?”
“Aku tidak tahu,” jawab Michael pasrah. “Kecuali, Ars Goetia tiba-tiba menjadi kuat, dan mengingatkan mereka pada kengerian yang sesungguhnya. Ah, maaf, seharusnya aku tak bicara begitu. Sama saja aku mengharapkan kematian manusia. Setidaknya pada kondisi saat ini, dunia sudah aman. Tolong lupakan racauanku barusan, aku sedang lelah. Selamat malam.”
Michael bangkit, lalu pergi meninggalkanku. Namun aku lihat dengan jelas kobaran di matanya, saat ia mengharapkan kemunculan Goetia yang mampu membawa kehancuran.
Aku memahami perasaannya. Aku pun terkhianati. Lebih baik dunia ini hancur daripada melihat keindahan palsu. Aku ingin Tokyo Goddess yang dulu. Aku rindu Blue Jupiter yang menyambar semua tanpa ampun, hingga tak menyisakan walau hanya satu keroco.
Aku pun bertekad untuk mengubah segalanya.
Sampai sekarang aku masih yakin, tanpa Gadis Penyihir pun bisa saja kami dikalahkan oleh manusia. Mereka memiliki berbagai senjata modern. Yang yang paling mengerikan adalah senjata pemusnah massal seperti nuklir dan bom hidrogen. Belum lagi senjata kimia, juga biologi. Teknologi komunikasi yang canggih juga memungkinkan koordinasi yang sangat akurat.
Kemenangan kami atas Amerika Serikat ditentukan oleh tiga faktor.
Pertama, manusia masih kaget atas kemunculan kami.
Kedua, legiun kami masih lengkap.
Ketiga, tujuh puluh dua Ars Goetia menyerang secara serentak.
Sayangnya setelah kemenangan itu kami menjadi angkuh. Kami menyebar ke seluruh dunia, mengira tak ada lagi negara yang mampu memberi perlawanan sehebat Amerika Serikat. Bersatu kita teguh, bercerai kita dibantai Gadis Penyihir satu persatu.
Maka langkah pertamaku adalah mengumpulkan Goetia yang tersisa, lalu menghancurkan tiap negara satu persatu. Giliran kami yang memberantas Gadis-Gadis Penyihir yang sedang sibuk menjadi idola.
***
Rencana yang kumulai setahun lalu itu berjalan dengan baik. Aku mengumpulkan Goetia-Goetia yang tengah berdebat berusaha membuktikan dirinya sebagai yang terbaik. Aku sampai harus membunuh dua atau tiga hingga yang lain akhirnya tunduk atas perintahku. Lalu kami mulai mengamuk selangkah demi selangkah. Rusia, Cina, Eropa, kami singgahi dan kami hancurkan.
Akhirnya manusia kembali teringat pada teror dari neraka, dan Gadis Penyihir bersatu untuk melawan kami dengan serius. Seperti yang sudah kuperkirakan, kami kalah. Kami terus didesak sampai harus menjadikan tanah bergurun ini sebagai basis pertahanan terakhir—karena kekuatanku berlipat ganda pada area ini.
Tapi tidaklah mengapa. Justru kekalahan demi kekalahan ini yang kunikmati setiap momennya. Tak ada yang lebih menggairahkan daripada melihat gadis suci yang bertarung dengan tekad murni untuk melindungi. Memang berkali-kali aku meremas dada saat ada gadis yang terbunuh, namun gadis lain menjadi lebih kuat setelah kematian rekannya. Kemudian mereka balas membunuh para Goetia, membuat darahku bergejolak tidak karuan.
Sebagai momen kenikmatan terakhir, adalah pertarunganku dengan Blue Jupiter yang telah berlangsung selama berjam-jam. Di tengah area gurun ini, aku bisa menari sepuasnya bersamamu.
Blue Jupiter. Matamu begitu sinis, menampilkan kebencian pada siapapun yang mengganggumu, juga orang-orang yang kau sayangi. Aku ingin merasakan kesinisan itu.
Ketenanganmu yang tiba-tiba meledak dalam sambaran dahsyat, aku ingin merasakan keperihan itu.
Keteguhanmu yang pantang menyerah, aku ingin menjadi batu yang dihancurkan keteguhan itu.
Pada saat ini, pada detik ini, kau adalah bunga yang mekar paling indah. Walau itu berarti kematianku sudah dekat.
Oh Lucifer, maafkan hambamu yang egois ini. Kau sendiri yang mengajarkanku bagaimana caranya menjadi egois. Lagipula sejak awal kau memulai perang yang tak bisa kau menangkan. Karena itu bersabarlah, dan selanjutnya buat armada yang lebih kuat lagi.
Di saat kumenikmati tiap luka, seekor naga petir raksasa tercipta di langit. Sebagai balasan, aku menciptakan iblis pasir yang bergulung-gulung. Jika dua energi ini saling hantam, maka takkan ada seekor semut pun yang bisa selamat dalam radius yang jauh.
Tapi biar bagaimanapun aku sudah tahu hasil akhirnya. Aku takkan bisa menang. Dan itulah yang kuharapkan. Kau adalah Gadis Penyihir terakhir, aku tak sampai hati melihatmu musnah—walau di saat yang sama aku tak bisa mengalah karena akan menghilangkan esensi dari pertarungan ini.
Ya, esensinya.
Sebuah pelampiasan atas rasa sukaku padamu, rasa kagumku padamu, rasa pujaku padamu, rasa hausku padamu, rasa cintaku padamu, serta segala rasa-rasa yang terpendam lainnya. Rasa yang tak boleh kau ketahui, yang akan kubawa ke liang lahat. Kau tak boleh tahu, karena aku takut kau menjadi bimbang. Lalu ketulusan untuk melindungimu berubah menjadi dendam kebencian karena merasa telah kupermainkan.
Nah, sudah saatnya.
Kukerahkan badai pasirku.
Kau sambarkan naga petirmu.
Kekuatan kita saling bertumbukan.
Aneh, untuk sesaat aku malah merasa terhubung padamu.
Lalu kehancuran.
Suara dentuman membelah angkasa.
Bumi bergetar seperti mau runtuh.
Pusaran meraung-raung mendistorsi ruang.
Tubuhku mulai tercabik-cabik. Rasa perih menjalar. Kepalaku seperti mau pecah, ditekan oleh ribuan gada tak terlihat. Hingga otakku tak bisa berpikir lagi, dan membiarkan tubuhku jatuh, di atas lautan pasir yang sebelumnya adalah Kota Dubai nan mempesona.
Ah, aku jadi melankolis.
Kedua mataku terpaku pada langit yang masih ditutupi pasir tebal. Perlahan-lahan angin meniupnya, hingga matahari kembali bersinar. Lalu sosok Blue Jupiter tampak berdiri tegak di dekatku. Rambutnya yang biru sangat khas, sama indahnya seperti lima tahun lalu—saat ia masih berusia tiga belas.
“Bael,” katanya dengan berlinangan air mata. “Waktumu sudah habis.”
Aku hanya bisa tersenyum. Untuk pertama kalinya ia bicara padaku. Senangnya bukan main.
Blue Jupiter, setelah ini kau akan kembali, membangun dunia bersama manusia yang selamat. Tenanglah, kau akan selalu menjadi idola di hati mereka. Tak perlu lagi bersandiwara. Mungkin kau juga sudah belajar dari kesalahanmu.
Dan aku... ini perpisahan.
Aku bahagia.
Lalu sebuah pedang petir menghujam jantungku.
Blue Jupiter... selamat malam.


Comments

Popular posts from this blog

The Masque of the Red Death

Review Novel : Attack On Titan Before The Fall Vol. 1

Review Novel : Zombie Aedes