Review Anak Pohon (With Spoiler)



Ini adalah lanjutan dari review sebelumnya, dibuat terpisah karena memuat spoiler-spoiler. Untuk review tanpa spoiler, bisa dilihat di Review Anak Pohon (No Spoiler).

Ada satu hal yang terasa kurang berkenan di hati saya saat membaca buku ini. Sebab sampai 3/4 bagian buku, saya masih tidak tahu apa konflik utamanya, mau dibawa ke mana cerita ini. Berikut saya jabarkan.

1/4 awal bercerita tentang pengenalan tokoh Nuansa beserta kesehariannya. Bagaimana ia dan keluarganya dikucilkan (yang sayangnya hanya melalui narasi, sementara nyaris tidak ada adegan yang menunjukkan itu) karena tidak percaya tahayul pohon keramat. Nuansa juga membeci sekelompok gadis pesolek tanpa alasan kuat. Entah mengapa salah satu gadis pesolek itu ingin berteman dengan Nuansa. Terjadi sedikit cekcok, lalu dengan mudahnya mereka menjadi akrab. Sesekali ada sosok-sosok gaib yang muncul di mimpi Nuansa, tapi saya sebagai pembaca tidak begitu peduli sebab Nuansa sendiri tidak takut, marah, atau menyatakan perasaan apapun tiap melihat sosok itu.


2/4 cerita masih tentang keseharian Nuansa dengan teman sekolahnya. Ada sedikit konflik, tapi dapat diselesaikan. Yang sayangnya menurutku kurang relevan dengan konflik utama dari cerita. Dengan atau tanpa konflik sampingan tersebut, sebenarnya cerita utama masih bisa berjalan. Apalagi konflik itu sama sekali tak berkaitan dengan dikucilkannya Nuansa (katanya). Kemudian sedikit dikuak bahwa 8 tahun lalu Nuansa pernah diculik wewe gombel penunggu pohon keramat, tapi saya masih tidak peduli, sebab saat ini Nuansa baik-baik saja, kan? Sempat terlintas kekhawatiran Djabrik bahwa Nuansa akan diculik lagi, tapi Djabrik kan bukan tokoh utama, dan tokoh utama biasanya selamat sampai akhir, jadi kukira itu tidak cukup urgent.

3/4 cerita, Nuansa menghilang ke dunia lain, ke tempat wewe gombel penunggu pohon keramat. Semua panik mencari Nuansa. Harusnya ini menjadi konflik penting, tapi sekali lagi, karena Nuansa adalah tokoh utama, dan tokoh utama biasanya selamat sampai akhir, saya jadi tidak bisa merasakan ketegangan orang-orang yang mencari Nuansa. Sampai titik ini saya sempat berpikir seharusnya Djabrik sang sahabat dekat yang menjadi tokoh utama, dan cerita berputar pada petualangannya mencari belahan jiwa yang diculik kalong wewe. Tapi kenyataannya Nuansa memang baik-baik saja, malah mendapat tugas dari penunggu pohon untuk menjaga pohon keramat. Kemudian ia muncul di balai desa saat semua sedang sibuk mencarinya, meminta agar orang-orang tidak menebang pohon keramat meski terbukti sudah menelan korban jiwa, dengan alasan pohon keramat itu menyuburkan tanah.

4/4 cerita, di sini saya baru merasa konflik dimulai. Tujuan Nuansa akhirnya diketahui, yakni melindungi pohon keramat yang bisa membawa kesuburan. Tapi tujuan mulia itu mendapat perlawanan dari penduduk desa sebab pohon keramat selalu meminta tumbal. Siapa yang benar? Menurutku kedua pihak ada benarnya, tapi juga ada salahnya. Nuansa jadi tampak egois, sementara pihak lawan meski tindakannya masuk akal tapi kelakuannya menyebalkan. Bagian ini yang paling saya sukai, sebab konfliknya memancing penasaran saya terhadap penyelesaiannya.

Sayang, penyelesaiannya terasa anti-klimaks. Ketimbang solusi, yang ada malah semua berakhir karena kedua belah pihak saling menghancurkan. Penduduk ramai-ramai berusaha menebang pohon keramat, sementara penjaganya melakukan perlawanan dan membunuhi penduduk. Sementara Nuansa sang karakter utama yang diserahi tugas melindungi pohon itu, malah tidak bisa melakukan apa-apa. Saya pun jadi mempertanyakan apa sebenarnya perannya sepanjang cerita ini.

Plot yang terlalu menekankan pada penjelasan ketimbang adegan membuat narasi terasa menggurui pembaca. Ada juga kontradiksi-kontradiksi pada pesan dalam cerita ini, seperti :

1. Nuansa mengusung prinsip 'greater good' untuk menumbalkan anak demi menyuburkan tanah. Kenapa Nuansa tak mengusung prinsip itu pada rusaknya ekosistem demi kemajuan peradaban manusia? 

2. Di awal cerita seolah memberi pesan agar kita tak mengkeramatkan pohon. Ada alasan kenapa kita tak boleh melakukan itu, sebab sejatinya pohon hanyalah benda mati yang tak bisa melakukan apa-apa. Tapi dalam cerita ini, pohonnya malah memiliki kekuatan magis untuk menyuburkan tanah di sekitarnya. Selain itu pohonnya bahkan meminta tumbal anak-anak. Disebut perpanjangan tangan Yang Maha Kuasa pun, bukannya justru malah menyalahi ajaran agama di mana seharusnya sebatang pohon hanyalah pohon? Dan tindakan mengkeramatkan pohon itu jadi lebih rasional karena faktanya pohon itu bisa membunuh orang-orang.

Akhir kata, menurutku kekurangan dari buku ini terletak pada plotnya, di mana konflik kurang tergali secara tajam, juga pada penyelesaiannya yang anti-klimaks.

Comments

  1. Wow. Fantasiah dengan latar lokal. Saya mesti baca ini buat ngembangin universe Preanger, tempat Pucung dan pupuh-pupuh lainnya berkiprah kelak. Nice review, Candle!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thx.
      Hmm, sepertinya memang sejurusan ya dengan genrenya pucung. Recommended ini. (y)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

The Masque of the Red Death

Review Novel : Attack On Titan Before The Fall Vol. 1

Review Novel : Zombie Aedes