Chapter 5 - Anggun Si Putri Cenayang


Hari ini sebuah kabar tak mengenakkan tersebar di sekolah. Berawal saat upacara bendera, ketika beberapa anak menyadari ada satu teman sekelasnya yang tidak masuk. Lalu pada jam pelajaran pertama, wali kelas mengatakan bahwa anak tersebut izin sakit. Sebuah kesimpulan pun terbentuk, lalu mengalir dari mulut ke mulut pada jam istirahat.
“Memangnya benar, anak botak yang kemarin menumpahkan teh botol punya Anggun itu sekarang sedang sakit keras?” tanya Doni kepada setengah lusin orang yang makan satu meja. Tidak biasanya ia nongkrong dengan anak-anak dari kelas lain—apalagi adik kelas. Namun, berhubung topik ini sedang panas, ia tak bisa melewatkannya begitu saja. Candra dan Fatah mendampinginya seperti biasa.
“Iya Bang,” jawab salah satu dari mereka. “Tapi tidak tahu sakitnya keras atau empuk.”
“Yaelah, malah bercanda.”
“Haha. Tapi seriusan Bang, Pak Guru tidak bilang sakitnya apa.”
“Jangan-jangan,” Doni mengusap-usap dagu. “Ada paku di perutnya?”
“Hush, jangan bicara sembarangan!” ujar Candra disertai raut ngeri.
“Habisnya secara logika, anak itu sakit setelah membuat Anggun marah. Pasti ini ada hubungannya dengan cewek itu. Dan yang namanya penyakit karena guna-guna...”
“Bang, Bang, itu Anggunnya datang!”
Mereka lekas berhenti untuk melihat sosok sang gadis memasuki kantin. Ia jalan begitu santai, seolah tak merasa saat ini dirinya tengah menjadi pusat pergunjingan. Lalu ketika gadis itu menyadari keberadaan mereka, ia tersenyum seraya melambaikan tangan.
“Anjrit! Anjrit! Anjrit! Kenapa dia senyum-senyum ke mari?!”
“Bubar! Bubar! Nanti kita dikutuk juga!”
Doni dan anak-anak kelas XI langsung heboh, tanpa ada yang sadar bahwa yang disapa gadis itu barusan adalah Fatah.
***
Selama satu minggu berikutnya, desas-desus masih kental dibicarakan. Para saksi mata di kantin terus mengisahkan kejadian saat si anak botak menumpahkan teh botol Anggun, sehingga membuat gadis itu memakai rok basah seharian. Mereka menghubungkannya dengan penyakit yang diderita si anak botak. Dan kalau sudah bercerita, gosip-gosip lainnya pasti diungkit. Hingga akhirnya cerita anak botak ini menjadi kisah terbaru dari misteri sang Anggun.
Saat si anak botak akhirnya masuk sekolah, ia menjadi artis dadakan. Semua menanyakan keadaannya dengan hati-hati. Namun, ia hanya menjawab sakit demam biasa. Jelas orang-orang tak percaya begitu saja. Ada sesuatu yang tidak beres. Terlebih karena anak itu tampak lesu dan tak bergairah, tidak seperti hari-hari sebelum kecelakaan terjadi.
Berita ini tentu sampai di telinga Gina, Ami, dan Olive. Pada pertemuan ekskul berikutnya, hal pertama yang mereka lakukan adalah membahas soal Anggun—mumpung orangnya belum datang.
“Gina takut dekat-dekat Anggun. Bagaimana ini, Kak?”
“Bagaimana, ya... aku, kan, tidak bisa memecat orang keluar dari ekskul,” jawab Raynold. “Makanya, kalian jangan musuhi dia.”
“Kami bukannya memusuhi Anggun, Kak!” sela Olive. “Memang dianya aneh.”
Raynold tak bisa menampik fakta tersebut. Ia sendiri pernah merasakan langsung keanehan Anggun.
“Put, bagaimana menurutmu?” tanya Ami. “Sekarang kau sudah tahu, kan? Kau juga pasti sudah dengar cerita-ceritanya.”
“Sudah, sih, tapi masih simpang siur,” jawab Putri ragu-ragu.
“Kak Fatah juga harus hati-hati, lho,” lanjut Ami.
“Aku?” Fatah tersentak. “Kenapa?”
“Kakak jangan terlalu lugu begitu—“
“Anggun datang!” sela Gina.
Seketika mereka menutup mulut, persis seperti saat mengobrol di kelas dan tiba-tiba guru killer masuk. Mereka duduk manis, beberapa sambil meregangkan pinggang karena salah tingkah.
“Maaf, aku terlambat. Apa latihannya sudah dimulai?” tanya Anggun yang kali ini mengenakan seragam taekwondo. Fatah agak kaget melihatnya, karena tak seperti Putri yang menanyakan tempat membeli, Anggun diam-diam sudah membelinya sendiri.
“Belum, kami masih ngobrol-ngobrol, hahaha,” jawab Raynold. “Sekalian menungumu. Oke, karena semua sudah berkumpul, kita pemanasan dulu!”
Raynold memimpin seperti biasa. Fatah mengikuti di belakangnya, dengan langkah-langkah pendek yang konsisten. Napasnya sudah terlatih, ditarik selama tiga langkah, lalu dihembuskan dalam dua langkah. Tidak terasa, ia dan Raynold telah mengitari lapangan sampai nyaris membalap Anggun yang berlari paling belakang. Gadis itu tampak kepayahan. Napasnya terdengar ngos-ngosan tak karuan. Fatah merasa perlu mengajarkan teknik berlari yang benar.
“Kak!” Tiba-tiba Putri sudah menyusul di samping pemuda itu. “Tung—gu!” Ia memanggil dengan suara putus-putus di antara langkah yang tersengal.
“Ya?” Otomatis Fatah memperlambat langkah, tak jadi mendekati Anggun.
“Tolong—ajarkan aku—teknik berlari.”
“Begitu ya. Baiklah. Begini caranya.”
Pemuda itu pun jadi lari berdampingan dengan Putri, dan sesekali berhenti saat Putri sudah tak sanggup lagi.
“Cie cie cie~” goda Ami tiap kali ia lewat, dibalas dengan seruan Putri yang pura-pura kesal tapi senang.
Usai pemanasan, Raynold melanjutkan menu latihan menendang samsak seperti minggu lalu. Kali ini Fatah berniat mendekati Anggun tanpa meminta izin Raynold. Akan tetapi—
“Kak!” Lagi-lagi Putri menyusul Fatah. “Berpasangan denganku, ya?”
“Tapi, bagaimana dengan Ami?”
“Kak Ami katanya ingin latihan bersama Kak Raynold.”
Fatah menoleh. Gadis berkacamata itu sedang menarik-narik lengan Ranold, agar berlatih bersamanya.
Fatah mengerutkan dahinya, berpikir sebentar. Tidak ada alasan baginya menolak Putri. Malah, sudah seharusnya ia membantu junior yang bersemangat, tanpa membeda-bedakan. Maka ia mengangguk, lalu memegangi samsak untuk jadi sasaran tendang Putri.
Putri berlatih tendangan ke atas, lalu tendangan ke samping, sampai ia bosan.
“Kak, kapan aku bisa bertarung seperti di film? Ah, atau melakukan tendangan berputar seperti Kakak?” tanyanya untuk mengalihkan perhatian, agar bisa berhenti sejenak.
“Dalam bela diri, yang paling utama adalah dasarnya. Lagipula dalam pertarungan sebenarnya, lebih baik bisa menghabisi lawan dengan sekali serang daripada harus beradu pukul.”
“Benarkah...” ujar Putri agak kecewa.
“Tapi,” lanjut Fatah. “Kau mungkin tidak sadar. Tendanganmu sudah semakin mantap. Aku yakin kau sudah bisa menaklukkan anak-anak depan komplek rumahmu menggunakan tendangan sederhana itu.”
“Benarkah?” Putri mengulangi kata-katanya, tetapi kali ini dengan ekspresi yang lebih bahagia.
“Jadi... kurasa sebaiknya kau istirahat dulu.” Fatah mengusap-usap lehernya, kemudian melempar pandangan ke arah Anggun. “Sekarang giliran aku membantunya. Kasihan, tidak ada pasangannya.”
“Iya, sih,” ucap Putri pelan. “Tapi... memangnya Kak Fatah tidak takut?”
“Takut ya... takut, sih... tapi mau bagaimana lagi, dia juga anggota ekskul ini.”
Satu jawaban yang membuat Putri terkesima kehabisan kata-kata. Ia kecewa sekaligus kagum menyaksikan pendirian sang pemuda. Mungkin pada keributan saat MOS pun, sebenarnya Fatah takut, tetapi pemuda itu mengalahkan perasaan itu untuk menolong yang lain.
Akhirnya Putri mundur. Lagipula ia memang sudah sangat lelah. Sendi pangkal pahanya terasa masu copot setelah puluhan tendangan yang ia lakukan. Ia duduk di pinggir lapangan, lalu mengamati Fatah dan Anggun mulai berlatih. Kemudian ia sadar ada sesuatu yang mengganjal. Awalnya ia tidak mengerti, sampai menemukan sebuah fakta.
Mengapa Anggun selalu tersenyum senang saat berpasangan dengan Fatah?
***
“Daaaaah!”
Raynold dan ketiga gadis melambaikan tangan saat angkutan umum mereka meluncur. Putri sudah dapat angkutan lebih dulu. Tinggal Fatah yang tertinggal di halte, karena mobil angkutan ke rumahnya yang paling jarang melintas.
Akan tetapi tidak, ia tidak sendirian. Anggun sedang duduk santai, sementara ia memilih tetap berdiri. Tentu Fatah tak bisa menunggu di tempat lain, karena itu tidak sopan, seolah ia jelas-jelas menghindari Anggun.
“Kak Fatah.” Tiba-tiba gadis itu memanggil.
“Ya?” Fatah menoleh, masih berdiri.
Anggun tampak sedang memilin-milin ujung rambutnya yang bergelombang. Tatapannya lurus, dan senyumnya terkembang. Kadang, senyum akrab dari seorang penyendiri itu seperti memiliki arti khusus.
“Kenapa Kakak selalu baik sama aku?”
Fatah sama sekali tak menduga pertanyaan tersebut. Ia tak yakin harus menjawab apa. Ia teringat pada peringatan-peringatan yang dilontarkan oleh Raynold dan yang lainnya.
Masih dalam posisi berdiri, ia menjawab, “Memangnya kenapa?” Ia malah balik bertanya. “Sudah sewajarnya, kan? Kau bisa saja berlatih menendang udara kosong sendiri, tapi kau perlu pasangan untuk melatih ketepatan tendanganmu.”
“Ah!” Fatah melihat ada mobil angkutan umum dengan nomor trayek jurusan ke daerah rumahnya. Ia lekas maju sambil melambaikan tangan untuk menghentikan pak sopir. “Anggun, aku duluan ya!” serunya seraya buru-buru naik ke angkutan umum. Dan ia tak melihat wajah gadis yang ia tinggalkan mulai bersemi.

Comments

  1. Aduh, tadinya aku ship Anggun n Putri... tapi apa2an si Putri kok jadi cabe gitu wkwkkwkw diajarin Ami n Gina kah 😂😂

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

The Masque of the Red Death

Review Novel : Attack On Titan Before The Fall Vol. 1

Review Novel : Zombie Aedes