Chapter 10 - Anggun Si Putri Cenayang


Fatah masih sibuk memasukkan buku dan alat tulis ke dalam tas saat tiba-tiba Putri mendatanginya.
“Kak Fatah!” seru gadis itu.
Beberapa anak di kelas yang mengenali Putri langsung memanggil-manggil dengan ganjen, tapi segera dihalau oleh Doni.
Fatah menjinjing tasnya lalu menghadap gadis itu. “Ya? Ada apa Put?”
Putri mengatur napas terlebih dahulu sembari menyeka titik-titik keringat di dahinya, barulah kemudian mengutarakan niat.
“Sore ini Kakak sibuk tidak?”
“Tidak.” Fatah menggeleng.
“Boleh temani aku ke toko buku, Kak?”
Deg.
Jika jantung bisa berhenti berdetak dulu karena kaget, mungkin itulah yang sedang dialami Fatah sekarang. Ia tak menyangka, semakin hari Putri semakin lantang. Gadis yang semula terlihat malu-malu itu kini berani mengajaknya pergi di depan anak-anak sekelas. Maka tak bisa dihindari lagi mereka jadi sorotan semua orang.
Bingung.
Fatah bingung.
Ia melirik pada kedua temannya bermaksud meminta nasehat.
Candra melontarkan acungan jempol. Baginya Putri jelas lebih baik daripada Anggun.
Doni mengangguk-angguk. Pemuda itu masih berharap kedekatan Fatah dan Putri menjadi jalan baginya untuk mengenal adik-adik kelas X yang imut.
Fatah menelan ludah, lalu bicara dengan tergagap, “B—buku apa ya?”
“Em... buku... novel, Kak. Untuk tugas Bahasa Indonesia!”
“Untuk tugas ya...” Fatah mengusap-usap dagu untuk berpikir. Jika untuk tugas memang tak bisa ditunda-tun—
“Sudah, pergi sana!” tukas Doni tiba-tiba mendorong bahu Fatah. “Biasanya juga kau tidak ada kegiatan dan langsung pulang.”
Ya, Fatah memang tidak punya alasan untuk menolak. Akhirnya ia menyanggupi ajakan Putri, sehingga gadis itu tampak sangat senang.
Keduanya pun bergegas, meninggalkan Doni dan Candra yang mulai sibuk menjawab berbagai pertanyaan dari anak lain. Bagaimana tidak penasaran, Fatah yang biasanya pendiam itu dalam waktu bersamaan didekati oleh dua orang gadis—dan salah satunya adalah seorang yang sangat fenomenal.
***
Ada beberapa alternatif toko buku di kota ini, salah satunya adalah Trimedia yang berada di sebuah kompleks ruko. Putri memasuki tempat itu sambil bersenandung pelan, dan Fatah mengikuti dari belakang.
Sejauh ini pemuda itu menyadari dua perbedaan mencolok dari Putri. Yang pertama, gadis itu mengeluarkan aroma wangi ceri. Bukan, bukan mengeluarkan. Lebih tepat mengatakan ia menggunakan parfum beraroma ceri. Tidak seperti biasanya.
Yang kedua, Putri mengenakan sweater merah yang sangat modis. Padahal... cuaca siang hari di kota ini tidaklah dingin—panas malahan. Selugu-lugunya Fatah, ia tahu perbedaan ini berarti sesuatu.
“Kak!” panggil Putri setelah melihat-lihat rak buku novel beberapa saat. “Menurut Kak Fatah mana yang sebaiknya kubeli, ya?”
Fatah merenung. Untuk tugas Bahasa Indonesia, berarti dibutuhkan novel-novel sastra. Namun, seumur hidup ia tak pernah membaca buku sastra. Satu-satunya novel yang ia ikuti adalah seri antologi cerita horor picisan berjudul Kisah Nyata. Mustahil ia menyarankan buku tersebut.
“Memangnya... Putri suka jenis cerita apa?” jawabnya politis setelah melalui pertimbangan panjang.
“Apa ya, hmmm...” Putri mengerutkan kening dan mengembungkan pipi.
“Ah, bagaimana kalau Hutan Belanda?” Fatah tak sengaja mendapati buku itu bertengger di rak. Ia ingat pernah ditugasi membuat resensi buku sastra tersebut—meski pada akhirnya hanya menyalin resensi yang ia temukan di internet. Toh sejak awal itu adalah tugas mustahil baginya. Bagaimana cara membaca buku setebal enam ratus halaman hanya dalam satu minggu? Untungnya, ia masih ingat sekilas isi dari resensi yang ia salin.
“Buku ini ditulis oleh sastrawan orde baru,” jabarnya. “Berisi simbolisme-simbolisme yang sangat kental kaitannya dengan kehidupan pada masa itu.” Lalu Fatah tidak ingat apa-apa lagi. “Oh ya,” ucapnya saat mengingat sesuatu. “Kalimat-kalimatnya bernilai sastra tinggi.”
“Begitu ya.” Putri mengangguk-anggukkan kepala. “Kalau begitu ini saja. Aku tak menyangka Kak Fatah membaca buku sastra juga.”
“Eh, ya, begitulah, haha.” Meski sebenarnya bukan begitu.
Yang jelas Fatah dapat bernapas lega karena masukannya diterima. Kemudian mereka berkeliling sebentar untuk melihat-lihat. Putri masih mengamati novel-novel sastra lain, sedang Fatah bermaksud pergi ke bagian komik. Namun, pada saat itulah sesuatu menarik perhatian Fatah. Ada buku bersampul kelam dengan tulisan semerah darah.
Kisah Nyata Di Palembang
Itu adalah seri terbaru dari antologi Kisah Nyata, kali ini berisi cerita-cerita mistis yang pernah dialami penduduk Kota Palembang. Sebagai seorang penggemar, Fatah merasa kecolongan. Tanpa sadar tangannya sudah tergerak untuk meraih buku tersebut. Namun, sebuah tangan tiba-tiba muncul menghalangi—lebih tepatnya tangan itu juga ingin meraih buku yang sama hingga keduanya berpapasan.
Fatah menoleh, dan melihat Putri. Gadis itu langsung terlonjak mundur.
“Ah... ah... anu... aku penasaran saja dengan desain sampulnya,” ucap Putri terbata-bata.
“Haha, iya, norak sekali, ya?” timpal Fatah. “Novel picisan.”
“Tapi katanya sudah sampai volume empat lho Kak,” lanjut Putri. “—katanya sih! Aku sendiri tidak tahu, hehe.”
“Kelihatannya ini yang terbaru ya. Hmm. Mungkin sesekali tidak apa ya baca buku begini.”
“Benar Kak! Kan kita harus banyak membaca untuk memperluas wawasan. Baca cerita picisan juga termasuk memperluas wawasan, kan? Jadi tidak perlu malu untuk melakukannya.”
“Betul sekali.” Fatah mengambil buku itu dengan grogi. “Bagaimana denganmu?”
“Aku... aku...” Putri melihat novel sastra di tangannya, lalu ke novel horor picisan, lalu ke novel sastra di tangannya lagi. Akhirnya, ia menelan ludah kepasrahan. Tiba-tiba ia berlari mengembalikan novel sastra itu ke raknya, lalu meraih sang novel horor picisan. Ia menyembunyikan wajahnya di balik buku itu untuk menutupi malu. “Uang sakuku hanya cukup buat beli salah satu, jadi aku beli ini!”
“Tapi... tugas Bahasa Indonesianya?”
“Aaa... maaf Kak, aku bohong, sebenarnya tidak ada tugas Bahasa Indonesia. Aku bohong, aku cuma membuat alasan! Tapi kalau aku beli Hutan Belanda, aku baru bisa beli Kisah Nyata ini bulan depan!”
Fatah ternganga. Ia tak mengira kalau Putri juga seorang penggemar setia seri Kisah Nyata. Kemudian ia mulai tersenyum, lalu tertawa lepas. Ia menertawakan kekagokan barusan, yang terjadi hanya karena mereka saling tidak mau mengakui apa yang mereka sukai. Putri perlahan mengintip dari balik bukunya, dan saat melihat Fatah tertawa, ia ikut tertawa.
***
“Koleksi Kak Fatah lengkap?” Putri berjalan sambil mengayun-ayunkan plastik belanjaannya seperti anak kecil.
“Lengkap, satu sampai tiga,” jawab Fatah yang berjalan di sampingnya.
Lalu mereka tertawa lagi mengingat kekonyolan tadi.
Keduanya menyusuri pinggir komplek pertokoan yang mulai ramai. Matahari semakin terbenam, dan rumah makan mulai ramai. Tenda-tenda juga didirikan di tepi jalan. Salah satunya adalah tenda yang menjual tahu tek—yang aroma gorengannya begitu menggoda hingga membuat perut Fatah keroncongan.
“Sudah pernah makan tahu tek belum?” tanya Fatah.
“Apa itu?”
“Itu, baru buka belum lama ini.” Fatah menunjuk tenda yang dimaksud. “Enak kok. Aku ketagihan. Pasti masaknya pakai ganja.”
Mendadak Putri terdiam. Ia melongo. Fatah sampai keheranan. Namun, sebelum pemuda itu sempat bertanya, tiba-tiba sang gadis tertawa terbahak.
“Apa? Kenapa?”
“Tidak apa,” ucap Putri berusaha mengendalikan diri. “Aku baru tahu Kakak bisa melucu.”
“Hee...” Fatah tak tahu itu sebuah pujian atau hinaan.
“Yah kupikir Kak Fatah itu selalu serius,” kata Putri. “Apalagi waktu aku pertama kali melihat Kakak menghajar anak preman itu. Seperti jagoan di film-fil... –ah, lupakan Kak!”
Tiba-tiba gadis itu berlari duluan ke tenda tahu tek. Fatah hanya mengendikkan bahu lalu mengikuti.
***
Setelah selesai makan Fatah baru menyadari bahwa ia tak seharusnya membawa anak gadis orang sampai malam-malam begini. Maka menjadi sesuatu yang wajar jika ia mengantar Putri sampai ke depan rumahnya. Meski gadis itu bersikeras untuk pulang sendiri, sebagai laki-laki ia tak bisa membiarkan hal itu terjadi. Kalau perlu, ia akan menghadap orang tua Putri untuk memberi penjelasan sekaligus meyakinkan bahwa gadis itu akan aman selama bersamanya...
Lalu keraguan pun muncul. Ia bertanya pada dirinya sendiri, apa sudah melakukan hal yang tepat. Mengantar sampai rumah, menghadap orang tua sang gadis, seolah-olah ia adalah...
Mobil angkutan umum berhenti.
“Sudah sampai Kak,” kata Putri saat beranjak turun, mengakhiri kesempatan berpikir Fatah..
Mereka sudah berada di depan kompleks perumahan yang agak gelap.
Fatah khawatir jika ia berbuat lebih jauh dari ini, Putri akan mengartikannya sebagai harapan. Namun, ia tak bisa membiarkan gadis itu jalan sendirian melewati jalan yang gelap—entah apa yang dipikirkan pengelola kompleks, membiarkan lampu penerangannya tetap rusak seperti ini.
“Kak?” Panggilan Putri menyadarkan Fatah. “Kakak mau langsung pulang? Sudah malam.”
“Ah—tidak. Aku akan mengantarmu sampai rumah.” Jawab Fatah refleks yang kemudian ia sesali. Tapi karena sudah kepalang tanggung maka apa boleh buat. “Ayo.”
Mereka melewati gang kecil yang sepi. Sebagian besar penghuni tempat ini tampaknya melakukan aktivitas di dalam rumah. Ada seorang bapak-bapak yang merokok di teras, tapi sangat cuek bahkan ketika Fatah berusaha mengucap permisi padanya.
Di tikungan, ada sebuah pos keamanan. Namun, tempat itu dipakai oleh sekelompok anak muda nongkrong dan memetik gitar. Fatah hendak mengucap permisi, tetapi Putri mencubit lengannya sambil berbisik.
“Jalan terus saja. Kak.”
Fatah agak bingung, sampai salah seorang di antara pemuda itu melempar celetukan. “Neng, pulangnya malam amat, habis ngapain aja sama cowoknya?” ucapnya seraya mengepulkan asap rokok.
Fatah pun segera mengerti, mungkin mereka adalah anak-anak depan komplek yang dulu pernah diceritakan Putri.
“Ayo Kak,” bisik Putri.
“Eit, mau ke mana buru-buru amat?” seru pemuda yang tadi menggenjreng gitar. “Ada rokok nggak?”
“Engga ada bang, saya engga merokok,” jawab Fatah.
“Kita juga tahu anak culun kayak kamu engga merokok. Minta uangnya lah buat beli rokok!” sahut pemuda perokok. Ia mengacung-acungkan puntung rokok di jarinya yang sudah hampir habis. Teman-temannya pun menyambut dengan tawa mengintimidasi.
“Engga ada juga bang, udah habis buat ongkos,” jawab Fatah lagi.
“Ah kupret, jangan bohong kamu!” Si pemuda bergitar meletakkan alat musiknya lalu melompat turun dari pos. Dengan wajah tengiknya, ia mengulurkan tangan pada Putri. “Yaudah, kalau begitu kita minta dirokok aja deh sama si eneng—“
Refleks Fatah menangkap pergelangan tangan pemuda itu dengan sangat cepat, seperti sambaran ular. Sang pemuda tampak terkejut, apalagi karena cengkramannya begitu kuat hingga ia sulit bergerak. Kedua matanya melotot memancarkan kemarahan.
“Keras juga kamu ya...” geramnya ganas, lalu menarik paksa tangannya.
Fatah tak menjawab, tetapi di dalam kepalanya sudah tergambar simulasi gerakan untuk menjatuhkan sang pemuda nakal dengan satu tendangan.
“Si jancuk! Ditinggal sebentar sudah mau mukulin orang! Hahahaha!” Tiba-tiba datang seseorang yang membawa minuman berbotol hijau. “Makanya jangan mabok sore-sore!”
“Bukan, Bos!” ujar pemuda yang memegang puntung rokok. “Anak itu yang sombong ga mau bagi-bagi duit!”
“Oh, kalau begitu sih memang perlu diberi pelajaran!” kekeh si Bos yang berbadan besar dengan codetan di mata kanan. Anak-anak yang lain ikut turun dari pos mengikuti komandonya. “Mana coba lihat siapa yang sombong...”
Anak itu seketika membisu kala tatapannya bertemu dengan Fatah. Ia tahu. Ia masih ingat orang sial yang menjatuhkannya dengan satu tendangan saat acara MOS SMA beberapa bulan lalu. Seketika urat-uratnya mengeras. Gerahamnya bergemeletak kuat.
“Gimana, Bos? Habisin?”
“Uh—udah, lepasin aja,” ucapnya pelan.

“Hah?”

Comments

  1. Prediksi Togel HK Mbah Bonar 20 Maret 2020 Ayo Pasang Angka Keberuntunganmu Disini Gabung sekarang dan Menangkan Hingga Ratusan Juta Rupiah !!!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

The Masque of the Red Death

Review Novel : Attack On Titan Before The Fall Vol. 1

Review Novel : Zombie Aedes