Chapter 6 - Anggun Si Putri Cenayang


Fatah berlari-lari menuju kantin, khawatir waktu istirahat usai sebelum sempat makan siang. Entah kenapa, para guru senang sekali menyuruh-nyuruhnya membawakan ini dan itu selepas pelajaran. Sesampainya di kantin, pemuda itu mengatur napas sambil memperhatikan lauk nasi rames yang tersisa. Seketika wajahnya menampilkan raut kecewa. Ada wadah yang berisi sisa saus asam manis, tetapi ikannya sudah tidak ada—padahal ia suka sekali makanan itu. Yang masih banyak adalah sayur, bihun, dan berapa sisa potongan ayam goreng berukuran kecil—kebanyakan sayap.
“Makan?” tegur tante penjaga lapak yang selalu bermake-up tebal. “Jangan berdiri saja dong, ganteng.”
“Iya, makan, Tante,” jawab Fatah setengah hati. “Pakai ayam.” Lagipula, memang sudah tidak ada pilihan lain.
Si tante kantin mulai menyendokkan nasi ke piring. Fatah mulai menengok-nengok sekeliling, mencari tempat duduk kedua sahabat setianya. Namun, baru saja ia menoleh ke samping, seseorang berjalan cepat menghampirinya.
“Ha—hai—Kak!” Anggun, gadis itu melambaikan tangan dengan senyum paling aneh yang pernah Fatah lihat. Kedua matanya membelalak seolah penuh nafsu.
“Hai,” jawab Fatah. Kemudian terjadi momen diam yang cukup panjang. Anggun hanya mesem sambil menggoyang-goyang kepalanya. “Sudah makan?” lanjut Fatah basa-basi.
“Kebetulan Kak, aku juga baru mau makan!”
“Oh...”
“Ini, ganteng,” Ibu kantin menyerahkan piring nasi Fatah.
“Terima kasih,” jawab pemuda itu seraya menukarnya dengan lembaran uang. Lalu ia kembali beralih pada Anggun. “Ya sudah, ayo bareng.”
“Iya!”
Anggun segera memesan, dengan menu yang sama persis seperti Fatah—karena yang tersisa hanya itu. Kemudian Fatah mengajaknya mencari tempat duduk. Pemuda itu menyisir di antara meja-meja yang mulai sepi, sampai akhirnya menemukan sepasang muda-muda yang sedang asyik mengobrol.
“Doni! Candra!” panggil Fatah.
Candra yang duluan menoleh. “Kau habis disuruh menyapu ruang guru, ya? Lama sekali! Sini, cep—“
Tiba-tiba lidah pemuda keriting itu menjadi kelu, saat menyadari siapa yang mengekor Fatah dari belakang.
“A... A... A...” Candra menepuk-nepuk lutut Doni di bawah meja, tapi tentu Doni juga sudah tahu hal buruk apa yang akan menimpa mereka.
“Sial,” gumam Doni singkat.
“Kenapa?” tanya Fatah begitu sampai di hadapan mereka.
“Tidak, tidak apa-apa.” Doni dan Candra menggeleng bersamaan.
“Katanya Anggun mau makan bersama kita.”
“Tentu, tentu, silakan, silakan, anggap saja di rumah sendiri!” seru Doni.
“Ehehehe, salam kenal,” timpal Candra sopan sembari menangkupkan kedua telapak tangannya.
Tiga puluh detik kemudian, suasana menjadi sunyi.
Doni adalah pemuda yang penuh percaya diri, nyaris tidak pernah dalam hidupnya terjebak dalam posisi kehabisan kata-kata seperti ini. Otaknya berpikir keras. Ia ingin mencairkan suasana. Ia perlu mengangkat sebuah topik untuk dibicarakan bersama Candra. Namun, ia khawatir menyinggung Anggun. Sementara Fatah sedang sibuk makan, jadi tidak punya kewajiban untuk bicara. Namun, kalau tidak bicara, untuk apa juga Doni dan Candra masih berada di kantin?
“Ah... uh...” Akhirnya Doni memaksakan sesuatu, meski membuatnya jadi seperti orang gagu. “Can!”
“Ya?” Candra agaknya memikirkan masalah yang sama dengan Doni, sehingga tampak sedikit lega saat sahabatnya itu berhasil menemukan topik pembicaraan.
“Anak botak yang sakit kemarin, bagaimana ya keadaannya sekarang?”
Seketika Candra mengumpat Doni dalam hati. Candra tidak mengerti, di antara semua peluang, kenapa Doni harus mengungkit anak korban kutukan Anggun. Dan celakanya Doni juga baru menyadari kesalahannya saat melihat raut pucat pasi Candra. Lalu keduanya secara sama-sama menoleh pada Anggun—dengan takut-takut.
Gadis itu menjeda aktivitas makannya, untuk melempar tatapan kematian pada Doni dan Candra.
“Fat—Fatah, aku ke kelas dulu ya!”
“Ak—aku juga—mau baca-baca dulu!”
Mereka bergegas dengan panik, lalu pergi meninggalkan Fatah berdua saja dengan Anggun.
Fatah menelan ludah dikhianati teman-temannya. Ia belum punya alasan untuk pergi karena makanannya belum habis.
***
“Gila kau Don! Benar-benar gila!” seru Candra pada Doni yang tengah menangis tersedu. Jam sekolah sudah selesai, tapi mereka masih betah di kelas. “Masa kau ngomongin anak botak itu di depan Anggun? Apa kau mau kena santet juga?”
“Iya Can, iya, aku salah, terus aku harus bagaimana???” seru Doni di sela tangisnya. Ia membenamkan wajahnya ke meja. “Mati aku...”
“Kalem Don,” ucap Fatah sembari menepuk-nepuk bahu Doni. “Mungkin Anggunnya juga tidak mengerti. Kan, orang sakit yang kau maksud belum tentu yang ia santet.”
“Tapi aku bilang anak botak! Siapa lagi anak botak yang sakit di sekolah ini selain yang dia santet?! Huaaaaa!”
Fatah pun menghela napas berat, tak tahu harus bagaimana lagi.
“Ngomong-ngomong, kau juga seharusnya waspada,” kata Candra sambil menatap tajam Fatah.
“Hah? Aku? Kenapa?”
Candra tampak ragu untuk beberapa saat. Ia memperhatikan sekeliling, lalu berdiri untuk melihat keadaan di luar kelas melalui jendela. Setelah yakin tak ada yang menguping, ia mendekatkan mulutnya ke telinga Fatah.
“Sebelum kau datang, Anggun sudah menunggu lama di kantin.”
“Benarkah? Untuk apa?” tanya Fatah polos. “Dia bilang padaku baru mau makan—“
“Bohong! Itu bohong!” Candra mendesis. “Selama ini, kan, kalau ke kantin ia selalu langsung memesan makan! Tapi tadi dia duduk terus, Fat! Kami juga awalnya tidak tahu, tapi jangan-jangan... dia sengaja menunggumu! Dia... jangan-jangan dia naksir kamu Fat!”
“Se—serius?”
“Serius! Pokoknya hati-hati saja. Kalau tidak dipelet, bisa-bisa disantet!”
Setetes peluh pun mengkristal di dahi Fatah, lalu meluncur ke bawah melewati wajahnya yang berekspresi kaku.

Comments

Popular posts from this blog

The Masque of the Red Death

Review Novel : Attack On Titan Before The Fall Vol. 1

Review Novel : Zombie Aedes