Chapter 8 - Anggun Si Putri Cenayang


Sabtu pagi, Fatah memasuki gerbang sekolah dengan perasaan bimbang. Saat berlatih taekwondo jelas ia tak bisa menghindari Anggun. Dahinya mengerut kala memikirkan bagaimana cara menyapa gadis itu senatural mungkin.
Masakanmu enak sekali!
Haruskah ia mengucapkan itu sembari mengembalikan rantang?
“Fatah! Fatah!” Tiba-tiba Raynold berlari menyusulnya, lalu merangkulkan lengan di lehernya. “Sini, ke sini sebentar!”
Pemuda itu memaksa Fatah keluar dari jalur yang seharusnya. Mereka tidak jadi ke halaman depan mushola, malah ke pinggir lapangan di mana anggota ekskul baskel memulai pemanasan. Mereka duduk di kursi semen beralas keramik tempat anak-anak gadis biasa menonton idola basketnya bertanding.
“Kenapa? Kau mau pindah ekskul?” tanya Fatah keheranan. “Katanya mau ke kejuaraan nasional taekwondo?”
“Bukan, ada masalah yang lebih penting,” ucap Raynold sangat serius. “Maksudku masalahmu, bukan masalahku.”
Fatah segera mendapat firasat buruk. Ia sudah mengenal Raynold lama, tapi baru dekat beberapa bulan terakhir setelah mereka mengakui satu sama lain sebagai rekan seperjuangan—yang tak lekang meski ditindas senior. Tidak banyak yang mereka bicarakan, tak pernah jauh dari masalah taekwondo. Sekalipun ada topik lain yang dibahas, biasanya curahan hati Raynold yang sering dikerubuti gadis-gadis. Dugaan Fatah, hal penting ini adalah tentang perempuan.
“Apa kau tahu, kenapa Putri bergabung dengan ekskul kita?” lanjut Raynold.
Fatah berpikir sejenak, mengingat-ingat sesi perkenalan beberapa minggu lalu. “Karena ingin belajar bela diri,” ucapnya setelah berhasil menemukan memori itu di sudut ingatan.
“Ada satu lagi,” tambah Raynold.
“Hmm...” Fatah mengelus-elus dagunya, lalu merasa sedikit malu. “Dia... kagum padaku.”
“Bukan hanya kagum!” Raynold menimpali lagi, dengan nada meninggi. Tatapannya dalam menusuk sukma. “Dia suka padamu, tahu!”
“Hah?!”
Kemudian sekelompok anggota ekskul basket lewat dekat mereka, sedang pemanasan lari. Lalu mereka bisik-bisik.
Cowok itu barusan nembak temannya?
Iya, katanya dia suka.
Idih, ada homo.
Raynold berdehem, menyesali dirinya yang terbawa emosi, padahal biasanya selalu cool. Perubahan ini terjadi karena bukan hanya gadis normal yang ia hadapi kali ini.
“Putri... menyukaiku?” respon Fatah, sekaligus meminta klarifikasi. “Kata siapa?”
“Dari gelagatnya apa tidak kelihatan?” tanya Raynold retoris. “Selama ini aku banyak cerita padamu, kukira kau sudah mengerti sedikit tentang perempuan,” ucapnya seraya menggeleng kecewa, seolah ia guru yang sudah mengajar mati-matian tapi muridnya tetap saja bodoh.
“Maafkan aku,” kata Fatah, tak tahu juga kenapa harus minta maaf.
“Trio Gina-Ami-Olive juga bilang begitu,” kata Raynold menambahkan.
Fatah segera berucap dalam hati, mungkin sebenarnya Raynold pun tahu karena diberitahu mereka. Tapi ia tak menyuarakan, daripada membicarakan sesuatu yang tak substansial.
“Itu saja?” Fatah mulai tak nyaman. Ia ingin segera mengakhiri obrolan ini lalu latihan taekwondo.
“Masih ada,” kata Raynold. “Yang jadi masalah, katanya Anggun juga menyukaimu?”
“A—“ Fatah tergagap. “Kata siapa?!”
“Siapa lagi kalau bukan trio Gina-Ami-Olive. Lagipula satu sekolah juga tahu kejadian itu. Anggun datang ke kelasmu lalu memberikan rantang—apa isi rantangnya?”
“Tentu saja makanan...”
“Oh, kukira apa...”
“Masa iya isinya kemenyan dan kembang tujuh rupa.”
Dan sesaat kemudian Fatah sadar bahwa itulah yang pasti dipikirkan semua orang.
“Pokoknya, aku ingin memberi sebuah saran padamu,” kata Raynold. “Kalau kau jomblo, pasti sulit mencari alasan untuk menolak tembakan Anggun. Tapi kalau kau sudah punya pacar, itu bisa jadi alasan menolak. Akan lebih bagus lagi kalau dia sadar cintanya bertepuk sebelah tangan, sehingga tidak jadi menembakmu.” Setelah bertutur panjang lebar itu, Raynold menambahkan dengan suara berbisik. “Semoga saja ia tidak pakai cara-cara yang aneh.”
“Hmm...” Fatah masih gamang. Ia berpikir sambil memperhatikan anak-anak yang bermain oper-operan bola basket di lapangan. “Bukannya waktu itu kau bilang pada gadis-gadis agar tidak menjauhi Anggun?”
“Memang benar, tapi...” Raynold menjeda sesaat seolah mempertimbangkan dulu manfaat dan mudharat dari apa yang hendak ia ucapkan berikutnya. “Tapi memangnya kau mau jadi pacarnya?” ucapnya, meniru jawaban gadis-gadis saat ia tegur waktu itu. “Lagipula, kurasa sikapmu yang terlalu baik itu yang jadi penyebabnya.”
Fatah tak memberi respon. Ia masih berpikir dalam hati. Bukankah pacaran itu seharusnya dilakukan karena saling suka, bukannya untuk dijadikan sebuah alasan menghindari orang lain?
“Kau memang bisa menjatuhkan preman dengan satu tendangan, tapi memangnya kau bisa menangkis serangan gaib?” lanjut Raynold. “Kau juga belum pernah pacaran, kan? Putri itu manis, lho! Hehehe.”
Fatah menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. “Kenapa kau perhatian sekali padaku?”
“Aku memang perhatian pada seluruh anggota ekskul taekwondo!”
Fatah memicingkan sebelah mata, “Bukan karena trio Gina-Ami-Olive yang memintamu mengatakan hal barusan?”
“Eh? Tidak! Tentu saja bukan!”
Kemudian sekelompok anggota ekskul basket lewat lagi di dekat mereka.
Tuh, pasangan homo masih saja di situ.
Dasar, bukannya ikut ekskul!
Raynold berdehem lagi, lalu bangkit.
“Intinya itu saja yang ingin kusampaikan,” ucapnya. “Sekarang ke mushola yuk.”
“Ayo.”
Mereka pun beranjak, demi menghindari fitnah yang lebih lanjut. Keduanya berjalan dalam diam.
Fatah memang terbiasa menyembunyikan perasaan di balik ekspresinya yang tenang dan kaku. Namun, hatinya tak bisa berbohong. Hatinya gundah. Ia tidak pernah mengira Putri menyukainya. Ia pikir segala perbuatan baik yang ia lakukan memang sudah sewajarnya—sesuatu yang ia lakukan juga pada semua orang. Jika ingin orang baik kepada kita, kita harus baik pada mereka, kan?
Di sisi lain, Anggun juga menyimpan perasaan padanya. Siapapun yang ia pilih, bisa jadi akan melukai yang lain.
Dan dalam hal ini keberadaan Anggun perlu diperhitungkan.
***
Latihan pagi itu berlangsung kaku. Fatah tidak banyak bicara—walau biasanya juga tidak. Hanya saja kali ini ia berusaha menghindari kontak dengan Putri maupun Anggun. Itu bisa ia lakukan saat pemanasan. Namun, begitu latihan dimulai, hal yang ia khawatirkan terjadi.
“Ayo buat kelompok berpasangan,” seru Raynold.
Fatah buru-buru mendekati Raynold, bermaksud mengajak pemuda itu saja untuk latih tanding. Tapi tiba-tiba raynold menjauhinya.
“Hari ini aku akan berpasangan dengan Ami,” kata Raynold. Ami tampak kegirangan di sebelahnya. Gina sudah jelas berpasangan dengan Olive. Maka tinggal dua orang tersisa. “Nah, karena kau seniornya, kuberi kau kesempatan memilih,” ucapnya cengar-cengir. “Putri atau Anggun?”
Dada Fatah langsung terasa sesak. Ia sedang dijebak oleh Raynold dan si trio kwek-kwek. Mereka merancang keadaan yang memaksanya harus memilih putri di depan Anggun. Tapi kalau ia lakukan itu, maka...
Kening Fatah mulai dicucuri keringat dingin yang menggantikan keringat hangat setelah pemanasan. Bagi raynold mungkin ini pilihan mudah, tapi tidak baginya. Apalagi saat ia melihat ekspresi kedua gadis itu. Anggun tampak jelas menahan senyum, sementara Putri sedikit menggigit bibirnya sambil melempar pandangan ke arah lain—tapi jelas sedang mengharap sesuatu.
“Cepat Kak, biar latihannya cepat mulai!” seru Olive. Gadis itu sama sekali tidak membantu, malah memanas-manasi suasana.
Pilihan harus segera dibuat.

Maka Fatah membulatkan tekad untuk mengatakannya...

Comments

Popular posts from this blog

The Masque of the Red Death

Review Novel : Attack On Titan Before The Fall Vol. 1

Review Novel : Zombie Aedes