Chapter 1 - Anggun Si Putri Cenayang


Fatah, Doni, dan Candra tengah menghabiskan istirahat siangnya di kantin. Mereka sudah selesai makan, kini sedang minum es sambil mengobrol—atau lebih tepatnya hanya Doni dan Candra yang berbincang seru.
“Kalau tipe gadis yang kusukai...” Doni memberi jeda sesaat. Pemuda berbadan sekel itu mengedarkan pandangannya menyapu seisi kantin. Matanya menyelisik di antara ratusan siswa SMA yang duduk maupun berlalu-lalang membawa jajanan. “Aha!” Ia menjilat bibir atasnya. “Aku suka yang semok. Alias seksi dan montok. Lihat, seperti Hanna.”
Ia menatap seorang gadis yang duduk di sudut lain kantin. Gadis dengan seragam putih abu-abu yang tampak ketat kekecilan. Ia tampak tertawa asyik bersama teman-temannya.
“Waktu kelas X aku hampir pacaran dengannya,” tambah Doni enteng.
“Jangan kebanyakan mengkhayal Don.” Candra, yang sejak tadi mendengarkan, kini tertawa terbahak-bahak. Pemuda keriting kumisan itu memperbaiki kacamatanya seraya meledek, “Yakin dia mau denganmu?”
“Yakin dong, aku kan tampan,” jawab Doni sambil menyibak poni rambut cepaknya seperti model iklan sampo pria yang sering ia lihat di televisi.. “Kalau saja saat naik kelas XI kita tidak pisah kelas, kita pasti sudah jadi pasangan paling Hot satu sekolah.”
“Iya, iya, aku iya-in saja deh.” Candra cengar-cengir menggelengkan kepala.
“Lalu, kau sendiri suka siapa, Can?”
“Kalau aku...” Giliran Candra yang mencari-cari di antara kerumunan. “Ah, orangnya tidak ada.”
“Eh kunyuk, jangan curang!” Doni memiting leher Candra. “Cepat, bilang! Aku sudah kasih tahu tipeku. Kalau kau tidak kasih tahu... kucabuti rambutmu satu-satu nanti!’
“Iya, iya, aku cuma bercanda Don!” pekik Candra. Akhirnya ia dilepaskan. Setelah memperbaiki kerah dan dasi, ia melanjutkan, “Aku sih sukanya... sama yang religius git—“
“Sebut nama atau aku cabuti rambutmu!”
“Iya, iya, aku sebut nama!” Candra menyerah. Ia tampak membulatkan tekad sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menuturkan satu nama dengan kecepatan tinggi hingga nyaris tak terdengar. “Annisa.”
“Ooh, boleh juga seleramu. Sayangnya aku tidak suka yang berkerudung begitu,” kata Doni meski tak ditanya.
“Berarti sekarang... Fatah! Bagaimana dengan tipemu?”
Fatah, yang sedari tadi cuma mengamati, langsung tersentak kaget.
“Eh? Aku? Tipeku?” ucapnya gelagapan.
“Iya, tipe gadis yang kau sukai,” desak Candra. “Kita berdua sudah saling memberitahu, sekarang giliranmu.”
“Hmm, siapa ya...” Fatah mulai menggaruk-garuk dagunya dengan jari telunjuk, lalu melempar-lempar pandangan ke tempat lain. Ia terus menggumam tak pasti tanpa jawaban.
“Can, kenapa kau tanya Fatah,” sela Doni yang habis kesabaran. “Fatah kan homo.”
Sontak kedua orang itu tertawa terbahak-bahak. Fatah pun ikut tertawa garing, tak tahu harus senang karena lolos dari pertanyaan itu atau sedih karena baru disebut homo.
“Sorry Fat, bukan aku yang bilang, ya,” kata Candra. “Si Doni tuh.”
“Apa??? Kau juga tertawa kencang barusan!” protes Doni sembari menepuk bahu Candra. “Jangan suka cuci tang...”
Kalimat Doni terputus kala ia menyadari ada seorang gadis yang berjalan mendekat. Ia segera bertanya dalam hati, apa gadis imut berpotongan rambut sebahu itu cuma sekedar lewat. Tapi tatapan lentik itu memang tertuju ke arahnya. Maka ia menegakkan badan, bersiap untuk menyambut siapapun itu yang mungkin tertarik pada ketampanannya.
“Hai Kak Fatah!” sapa gadis tersebut.
“Ha—“ Doni nyaris membalas, lalu sadar bahwa namanya bukan Fatah.
Fatah menoleh, kemudian mengangkat alisnya. “Eh.. halo. Putri.”
Lalu keduanya saling diam untuk beberapa saat.
“Kenapa Put?” tanya Fatah memecah keheningan.
“Begini Kak... anu... aku cuma ingin tanya, ekskul taekwondo hari Sabtu, ya Kak?” tanyanya agak terbata setelah menyusun kalimat baik-baik.
“Iya,” jawab Fatah datar. “Kan semua ekskul memang hari Sabtu.”
“Oh...” Mata Putri melebar, mendapat jawaban yang begitu kentara. Ia buru-buru melanjutkan. “Baiklah kalau begitu. Aku ke kelas dulu ya, Kak!”
“Oke.”
Gadis itu pun pergi, berlari dengan langkah kecilnya yang lucu. Ia bergabung dengan teman-temannya yang sejak tadi menunggu di luar kantin. Kemudian mereka cekikikan melempar ledekan ‘ciee ciee’ yang membuat Putri salah tingkah.
Doni pun terbengong-bengong. Saat lalat menempel di hidungnya, baru ia naik pitam.
“Fat! Apa-apaan barusan? Siapa itu? Kok kau bisa kenal?” Suara Doni mendesis seperti ular berbisa.
“Dia siswi baru, daftar ekskul taekwondo waktu MOS kemarin,” jawab Fatah seadanya.
“Hebat kau Fat,” timpal Candra. “Dia pasti ikut taekwondo setelah melihat tendangan roundhouse-mu yang mematikan. Aku sudah lihat videonya, keren sekali. Katanya anak pemberontak itu memang preman ya di sekolah lamanya, sampai tidak naik kelas? Sekarang sedang diskorsing.”
“Hah! Kalau cuma itu aku juga bisa...” Doni bersungut-sungut penuh dengki, lalu menghabiskan sisa minumannya. Candra dan Fatah juga memutuskan untuk tidak membahas ini lebih jauh. Namun, lima detik kemudian suasana hati Doni berubah kala melihat seorang siswi berjalan membawa sepiring nasi rames dan teh botol. “Can, Can, Fat, lihat tuh!” serunya.
“Apaan?”
“Itu Anggun!” kata Doni. “Si anak dukun!”
Mereka serentak memperhatikan seorang gadis yang... berbeda. Sekilas ia terlihat cantik. Kulitnya halus. Rambutnya hitam berombak sepunggung. Posturnya begitu tegap, makan dengan tata cara seperti bangsawan—sikunya sama sekali tak menyentuh meja. Hanya saja, ia makan sendirian di kantin yang samai. Lebih dari itu, bahkan tidak ada seorang anak pun yang berada dalam radius tiga meter darinya. Seolah keberadaannya memancarkan aura gelap yang membuat orang lain tak berani mendekat.
“Awas, jangan dilihat lama-lama!” bisik Candra sambil merunduk-rundukkan badan, seperti ingin menyembunyikan diri dari jarak pandang Anggun.
“Tenang saja, di sini banyak orang. Masa dia bisa menemukan kita?” balas Doni.
“Ya siapa tahu. Kan katanya temen-temennya adalah jin semua,” bisik Candra. “Apa kau belum pernah dengar? Katanya saat kelas X, semua anak perempuan di kelasnya pernah mengalami kesurupan masal. Tapi cuma dia yang tidak kesurupan! Apa tidak aneh? Jangan-jangan justru dia yang membuat mereka kesurupan?”
“Pernah dengar sih,” jawab Doni. “Aku jadi ingat cerita yang lebih serem, Can.”
“Apa?”
“Katanya dulu ada kakak kelas yang pacaran dengannya. Awalnya sih biasa saja. Tapi belakangan ketahuan kalau kakak kelas itu cuma main-main. Jadi dia membuat taruhan bersama temen-temennya untuk memacari Anggun. Marah lah Anggun, sehingga dia dikutuk. Katanya saat bangun pagi-pagi, pas mau buang air, si kakak kelas kehilangan barangnya!”
“Kok bisa?!” Candra meringis sendiri sambil memegangi selangkangan.
“Nah itu. Siangnya Anggun datang ke rumah kakak kelas tersebut, lalu memperlihatkan barang si kakak kelas yang tersimpan dalam toples.”
“Terus? Terus? Barangnya dikembalikan tidak?”
Doni mulai merundukkan badan juga. Ia mulai takut sendiri setelah memikirkan kisah yang sedang ia ceritakan sendiri.
“Tidak tahu juga... Sejak saat itu si kakak kelas pindah sekolah. Ada yang bilang sekarang dia sedang kuliah di luar negeri... sebagai transgender.”
“Tahu dari mana?”
“Aku follow instagramnya... tapi ya tidak tahu itu akun asli miliknya atau bukan. Aku diberitahu anak kelas sebelah yang kakaknya dulu seangkatan dengan si kakak kelas ini.”
Tanpa sadar keduanya merinding, sampai seperti meringkuk. Seperti prajurit penembak jitu yang tengah sembunyi di antara ilalang, agar tak tertangkap basah oleh target buruan.
Tapi, tiba-tiba Anggun menghentikan aktivitas makannya sejenak. Ia mengangkat wajahnya yang tak berekspresi, lalu melihat jauh ke depan. Ke arah mereka. Ya, walaupun di antaranya ada banyak anak-anak lain, namun tatapan itu terasa jelas sekali menembus sukma. Seolah sejak tadi Anggun bisa mendengar semua yang mereka ucapkan, dan kini memberi peringatatn.
“Hiii, aku ke kelas duluan, ya!” seru Candra tak berani balas memandang Anggun.
“Tunggu!” Doni buru-buru menyusul, sampai nyaris jatuh karena kakinya tersangkut kursi.
“Tung...” Fatah melihat kedua temannya yang sudah terbirit-birit, lalu menoleh ke arah Anggun yang masih menatap tanpa ekspresi ke mejanya, kemudian menghabiskan sisa minuman. Setelahnya baru ia menyusul Candra dan Doni.

Comments

  1. Pas keluar si anggun baru mulai seru, barangnya diganti apa ya?

    ReplyDelete
  2. Anggun bae <3

    Btw ada typo kak:

    ... ia makan sendirian di kantin yang samai.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

The Masque of the Red Death

Review Novel : Attack On Titan Before The Fall Vol. 1

Review Novel : Zombie Aedes