Chapter 2 - Anggun Si Putri Cenayang


Hari Sabtu harusnya sekolah libur. Namun, kebijakan baru mengatakan bahwa kegiatan ekstrakurikuler dilaksanakan pada hari Sabtu. Karena setiap siswa SMA 1 Bumianyar diwajibkan mengikuti ekskul tanpa terkecuali, secara tak langsung mereka tidak bisa libur di hari Sabtu.
Pagi-pagi, anggota ekskul basket sudah melakukan pemanasan lari keliling lapangan. Sementara tim futsal terpaksa menggotong gawang ke lapangan upacara karena dipaksa mengalah—sebab bola basket tak bisa memantul di atas tanah berumput. Sekilas tampaknya tidak ada masalah dalam pengaturan penggunaan lapangan tersebut, tapi faktanya hal itu telah menyebabkan sentimen dan persaingan antar kelompok, yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Selain lapangan, ruangan-ruangan sekolah juga dipenuhi siswa, seperti ruang musik dan komputer. Kadang ada juga ruang kelas yang tiap Sabtu disulap menjadi ruangan ekstrakurikuler, sebagaimana yang dilakukan anggota ekskul gambar.
Keramaian juga terdapat di halaman depan mushola. Tempat itu digunakan oleh anggota ekstrakurikuler taekwondo, tempat Fatah bernaung. Pemuda itu sedang duduk di tangga mushola, sudah mengenakan seragam putih lengkap. Di sampingnya ada satu pemuda lagi, yang menghela napas berat.
“Tak terasa ya sudah kelas XII,” ujar Raynold, satu-satunya teman seangkatan Fatah di ekskul taekwondo. Pemuda tinggi yang tergolong tampan itu mengusap-usap rambutnya yang cemerlang. “Rasanya baru kemarin kita bergabung dan digembleng habis-habisan oleh para kakak kelas. Pada akhirnya cuma kita yang bertahan sampai akhir.”
“Apa kau akan balas menggembleng junior?” tanya Fatah.
“Tentu saja tidak! Ekstrakurikuler yang sudah sepi ini bisa-bisa mati kalau semua anggotanya keluar...”
Fatah memahami itu. Lagipula selain ia dan Raynold, tidak ada lagi anggota yang benar-benar bergabung untuk belajar bela diri.
Tak berapa lama, datang sekumpulan gadis yang keluar dari kamar mandi mushola. Jumlahnya ada empat orang. Tiga di antaranya merupakan siswi kelas XI, sementara yang satu adalah Putri.
“Ladies, ganti bajunya lama sekali,” tegur Raynold.
“Aduh maaf sekali Kak. Gina sudah menyuruh yang lain cepat-cepat, tapi malah pada keasyikan ngobrol,” ucap Gina membela diri. Ia adalah gadis manis bergigi gingsul.
“Namanya juga perempuan, kita kan senang bicara dari hati ke hati,” timpal Ami, sang gadis berkacamata.
“Tapi tidak harus di toilet juga, kan?” potong Olive dingin. Tubuhnya kurus tinggi, satu-satunya yang mengenakan hijab.
“Kalau bukan di toilet, kapan lagi?” Ami masih bertahan pada pendapatnya. “Di sini kan ada cowok-cowok, jadi tidak bisa bicara dari hati ke hati lagi. Iya kan, Put?” Ia menutup kalimatnya sembari menyikut ringan Putri, anggota terbaru ekskul taekwondo.
Putri masih mengenakan kaos putih dan celana training biru, sebab belum beli seragam taekwondo. Ia terlihat gugup, lalu mengiyakan Ami begitu saja.
“Ya sudah,” kata Raynold akhirnya. “Karena ini pertemuan pertama, dan karena ada anggota baru, jadi kita santai saja ya? Sekarang ayo kumpul dulu. Pertama-tama, aku ingin masing-masing memberitahu motivasinya bergabung dengan ekskul ini. Seiring waktu, mungkin niat awal kita berubah. Karena itu kita tak boleh bosan untuk mengingatnya lagi. Aku sendiri karena ingin bertanding di kejuaraan nasional.”
“Waaah, keren!”
“Semangat Kak!”
Mendadak Gina, Ami, dan Olive bertepuk tangan heboh.
Selanjutnya adalah giliran Fatah, sebagai anggota paling senior nomor dua.
“Motivasiku... untuk membela diri.” Singkat, jelas, dan padat. Malah terlalu singkat, jelas, dan padat. Dari namanya saja ilmu beda diri, jelas untuk membela diri. Akhirnya pemuda itu menambahkan, setelah keheningan beberapa saat. “Aku ingin melindungi orang-orang di sekitarku.” Sebuah kalimat yang biasa ia dengar dari anime.
“Cieee, keren Kak, uhuy!” seru Gina tiba-tiba. “Pantas saja. Kakak keren sekali lho saat acara MOS kemarin!” Yang lain pun ikut bertepuk tangan.
“Ah, tidak, biasa saja, haha,” Fatah jadi sedikit salah tingkah.
“Sekarang giliran Gina ya,” lanjut Gina. “Gina ingin ke kejuaraan nasional seperti Kak Raynold.”
“Sama, aku juga!” potong Ami.
“Alah, kalian masuk karena ngefans dengan Kak Raynold kan?” potong Olive, dengan nada sindiran yang tajam. Seketika semua terdiam.
“Ka—ka—u juga sama, kan, Liv?!” seru Gina.
Memang, sudah bukan rahasia umum. Ketiga gadis itu adalah teman sekelas yang tidak begitu tertarik pada kegiatan ekstrakurikuler. Namun, suatu hari saat mereka ke mushola di hari Sabtu, mereka melihat Raynold yang sedang berlatih. Seketika itu juga mereka memutuskan untuk pindah ekskul. Sekalipun tak begitu berbakat bela diri, setidaknya mereka bisa menikmati ketampanan sang kakak kelas seminggu sekali.
“Sudah, sudah, sekarang giliran anggota baru kita,” sela Raynold, mengakhiri guyonan para gadis. “Putri, bagaimana denganmu?”
“Aku—“ Gadis kecil itu tergagap. Tatapannya agak diturunkan ke bawah. Tangannya dalam posisi istirahat, tapi di tempat yang terlihat itu kedua jarinya saling mengait membentuk huruf X. Dengan senyum lugu ia berkata, “Aku kan kecil... kadang-kadang aku sering diganggu anak-anak depan komplek. Makanya, aku ingin bisa bela diri.”
“Aduuuh lucunya, sini kakak lindungi,” ujar Ami lalu mendekap Putri, kemudian mengelus-elus kepalanya. Selain itu Ami terlihat membisikkan sesuatu.
“Ah, dan satu lagi Kak!” sambung Putri. Ami menjauh, memberinya kesempatan bicara. “Karena aku... kagum saat melihat Kak Fatah... mengalahkan anak nakal itu.”
“Kyaaa, cieee cieee, akhirnya Kak Fatah punya pengagum!” Gina kembali heboh.
“Oh... ah... terima kasih...” Fatah benar-benar tak tahu bagaimana menanggapi situasi ini. Ia memang sudah sering melihat Raynold menghadapi gadis-gadis, tapi ia tidak pernah mengalaminya sendiri. Akhirnya ia hanya tertawa getir tiap para gadis menggodanya.
“Sudah, sudah, sudah, saatnya latihan!” seru Raynold diikuti desahan kecewa. Kalau bisa, gadis-gadis itu mungkin ingin mengisi kegiatan ekskulnya dengan ngobrol-ngobrol saja.
Menu latihan pertama adalah pemanasan. Raynold memberi instruksi agar semua lari keliling halaman sepuluh kali. Ia mencontohkan di garis depan, diikuti Fatah, trio gadis kelas XI, dan Putri. Tapi seperti yang sudah diperkirakan, para gadis kelelahan setelah tidak sampai lima putaran.
“Kak Rey!” seru Ami ngos-ngosan. “Istirahat dulu ya!”
“Istirahat?” Raynold jadi ikut berhenti. “Kita kan baru saja mulai!”
“Tapi capek Kak...” Gina merajuk.
“Ya sudah lanjut jalan saja, yang penting sepuluh putaran.”
Mereka pun saling tawar-menawar seperti di pasar.
Putri si anak baru menjadi bingung. Ia menepuk lengan Olive lalu bertanya, “Memangnya tidak apa-apa seperti ini?”
“Tidak apa-apa, Kak Raynold itu baik, kok!” bisik Olive, “Kita santai-santai saja. Kau juga capek, kan?”
Memang sih, sudah lama tidak olahraga membuat napas Putri tersengal-sengal. Perutnya juga agak-agak keram.
Tapi kemudian Fatah lewat di dekat mereka. Pemuda itu adalah satu-satunya yang masih tekun berlari menyelesaikan sepuluh putarannya. Fokusnya benar-benar terpusat, sama sekali tar terganggu oleh kegaduhan yang dibuat Gina dan kawan-kawan.
“Kalau Kak Fatah memang rajin,” komentar Olive.
Tiba-tiba Putri lanjut berlari. Ia juga mengabaikan panggilan Olive. Seolah ada satu tekad dalam diri gadis itu yang membuatnya enggan untuk terlihat berlatih dengan setengah hati. Ia menetapkan target sepuluh putaran dalam pikirannya, melawan kondisi fisiknya sendiri. Hingga akhirnya ia mulai pusing.
“Hoeeeeek~”
Putri muntah di pinggir mushola. Para gadis menjadi panik, lalu mengerumuninya.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Olive sembari mengurut-urut bagian tengkuk Putri.
“Gina, ambilkan air!” seru Ami.
“Air wudhu atau air minum?” jawab Gina.
“Ya air minum, lah! Jangan bercanda di saat begini!” Ami jadi kesal.
“Gina... Gina serius, tahu! Siapa tahu maksud Ami air untuk mengelap muntahan!” Gina ikut-ikutan kesal, merasa bodoh.
“Tenang, jangan panik.” Akhirnya Raynold turun tangan. “Ayo duduk dulu. Seharusnya kalau tidak kuat jangan dipaksakan.”
“Iya Kak...” jawab Putri merintih. Wajahnya merah antara sakit dan malu. Kalau diperhatikan, matanya pun sudah berkaca-kaca. Ia menyesali upayanya malah merepotkan semua orang.
Maka latihan hari ini benar-benar dihabiskan dengan ngobrol santai. Dengan berat hati Raynold memutuskan hal itu, mengingat para gadis sibuk merawat Putri. Tidak lucu kalau cuma ia dan Fatah yang berlatih. Nantinya mereka berdua malah jadi tontonan.
Waktu pun berlalu, tidak terasa jam nyaris menunjuk pukul sebelas. Anak-anak dari kegiatan ekstrakurikuler lain juga sudah terlihat jalan pulang di luar pagar sekolah.
“Baik, sampai di sini saja.”
“Hore—maksudku... yaaah...” ucap Ami kecewa dibuat-buat, membuat Raynold diam-diam sedikit kesal.
Mereka pun lekas beres-beres, lalu berjalan keluar.
“Put, besok-besok pakai seragam taekwondo, ya!” pesan Raynold saat mereka menunggu angkutan umum di luar gerbang.
“Belinya di mana Kak?”
“Oh iya. Kalau dulu saat anggotanya banyak, biasanya beli borongan. Tapi sekarang hanya ada kau sendiri. Ya sudah, biar nanti kubel—“
“Put, minta diantar Kak Fatah saja!” sela Ami. “Kak Fatah pasti tahu, kan?”
“Tahu sih,” jawab Fatah.
“Oke fix,” Ami memberi jempol, meski sebenarnya Fatah belum bilang mau mengantar.
“Kak, aku langsung pulang ya!” ucap Olive tiba-tiba. Sebuah mobil angkutan umum diam-diam sudah menepi dekat mereka.
“Aku juga Kak!” tambah Gina.
“Eh, tunggu!”
“Ya sudah, sampai jumpa lagi minggu depan!” Raynold ikut naik mobil yang sama.
Dari sekolah, keempatnya memang memiliki arah pulang yang sama. Para gadis menganggap itu sebagai bonus, sehingga bisa ngobrol dengan Raynold lebih lama.
Kini hanya tersisa Fatah dan Putri berdua saja. Mereka berdiri diam menatap jalan. Setelah biang-biang keributan pergi, suasana mendadak berubah. Apalagi Fatah bukan tipe orang yang suka memancing obrolan terlebih dahulu.
Namun, untuk kali ini, ia mengatakan sesuatu lebih dulu.
“Put, rumahmu di mana?”
“Rumahku?” Putri bingung sesaat. “Di Komplek Griya Asri Kak.”
“Kuantar ya?”
Mendadak wajah Putri memerah. “J—jangan Kak! Tidak usah!”
“Kau sedang tidak enak badan, kan? Nanti bagaimana kalau ada apa-apa?”
“Tapi—“
“Ah!” Fatah seolah menyadari sesuatu. “Aku tidak akan masuk kok! Aku cuma mengantar sampai depan, lalu pulang lagi. Cuma untuk memastikan kau aman.”
“Uh, baiklah kalau begitu. Kalau... kakak memaksa...” Putri menundukkan kepala. Meski sebenarnya saat ini bunga mekar dalam hatinya. Kalau tidak malu, ia pasti sudah tersenyum bahagia.
“Kalau ke arah Griya Asli... angkutan umumnya sepertinya agak jarang. Kita duduk di halte dulu, ya?”
“Ayo Kak.”
Keduanya jalan beriringan di trotoar, mendekati halte yang biasanya digunakan murid-murid untuk menunggu mobil jemputan. Tapi saat itu, hanya ada satu orang yang duduk di halte. Dan entah kenapa, murid-murid lain yang tengah menunggu mobil memutuskan untuk berdiri saja, menjauh dari halte.
Fatah pun melihatnya, siapa orang yang duduk di halte. Gadis yang keberadaannya begitu enigmatis. Dari jauh tidak terasa, tapi begitu dekat, sebuah aroma tercium menusuk hidung. Semacam bau menyan, kembang melati, atau sejenisnya, Fatah tidak hapal. Yang jelas biasanya bau ini tercium dari mereka yang mempraktekkan ritual-ritual kebatinan.
Gadis itu adalah Anggun.

Fatah lengah, ia memperhatikan gadis itu terlalu lama. Alhasil saat Anggun menoleh, tatapan mereka bertemu. Fatah buru-buru membuang wajah, kemudian lanjut jalan. Ia mengambil tempat duduk di sisi lain halte. Putri mengikuti saja di sampingnya, karena anak baru itu belum pernah mendengar rumor mengenai Anggun.

Comments

  1. Wah, ceritanya menarik sekali, sepertinya anda berbakat untuk menulis cerita tinfik

    ReplyDelete
  2. Aku lbh menikmati bagian ini, meskipun msh agak hmm... dgn karakter2ny.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

The Masque of the Red Death

Review Novel : Attack On Titan Before The Fall Vol. 1

Review Novel : Zombie Aedes