Chapter 4 - Anggun Si Putri Cenayang


Seketika atmosfir canggung merebak. Para gadis diam terbelalak, lalu saling pandang tanpa kata-kata. Mereka seperti ingin bertanya ‘apa yang ia lakukan di sini?’ tetapi tak mau sampai terdengar.
“Benar, ini adalah ekskul taekwondo,” kata Raynold memecah keheningan. “Aku diberitahu guru bahwa kau akan bergabung bersama kami.”
“Itu benar,” balas Anggun mengangguk. Lalu ia membuat senyuman di wajahnya. “Jadi, boleh aku bergabung?”
“Tentu saja boleh, tidak ada yang melarang, kan? Hahaha.” Raynold memaksakan tawa yang dibuat-buat. Sejak tadi ia terlihat was-was. “Silakan duduk. Kita perkenalan dulu.”
Semua segera duduk membentuk lingkaran. Serentak para gadis berdempet-dempetan di satu sisi, menyisakan Anggun yang bersimpuh sendirian.
“Hmm, Anggun,” panggil Raynold.
“Ya, Kak?”
“Pertama-tama aku ingin tahu, apa motivasimu mengikuti ekskul ini?”
“Agar nilai ekskulku tidak kosong,” jawab Anggun begitu tegas dan lugas.
“Ah, begitu ya, hahaha... hanya itu?” Raynold jadi canggung. “Selain taekwondo, kan, masih banyak ekskul lainnya...”
“Kelihatannya orang-orang tidak menyukaiku, jadi aku mencari ekskul yang jumlah anggotanya paling sedikit. Dengan begitu hanya sedikit orang yang tidak menyukaiku.”
Dada Raynold rasanya seperti ditusuk dengan pasak kala mendengar kejujuran Anggun.
Jumlah anggotanya paling sedikit.
Jumlah anggotanya paling sedikit.
Jumlah anggotanya paling sedikit.
“Kau tahu,” gumam Raynold sambil meremas dadanya. “Harapanku suatu saat nanti ekskul ini akan jadi hebat seperti dulu.”
“Kakak bilang apa?”
“Tidak, tidak apa-apa, hahaha. Ayo semuanya, kita pemanasan!”
Mereka pun mulai berlari dalam urutan biasa : Raynold, Fatah, Gina, Ami, Olive, Putri, sekarang ditambah Anggun.
Di tengah kegiatan itu, Putri berinisiatif memperlambat lajunya. Ia sengaja melakukan itu agar Anggun bisa mengejarnya, hingga mereka dapat lari bersebelahan.
“Kak,” bisik Putri polos. “Pelan-pelan saja, kalau tidak kuat jangan dipaksakan. Minggu lalu aku sampai muntah gara-gara memaksakan diri.”
“Oh, begitu ya,” jawab Anggun, lalu tersenyum. “Terima kasih peringatannya. Yanti juga mengatakan hal yang sama.”
“Yanti?” Putri mengulangnya dengan maksud bertanya, tetapi Anggun tak mengatakan lebih jauh.
Gina, Ami, dan Olive hanya memandang dari kejauhan. Mereka lupa memperingatkan Putri akan bahaya sesungguhnya, tetapi tak berani mendekat. Maka begitu pemanasan selesai, mereka lekas menarik Putri.
“Sini sebentar yuk, ada yang ingin kubicarakan,” bisik Ami. “Maaf ya Anggun, pinjam Putrinya sebentar.”
“Ambil saja,” jawab Anggun. “Dia bukan punyaku.”
Gadis-gadis itu berkumpul di bawah satu-satunya pohon mangga yang tumbuh di halaman mushola. Mereka mengabaikan panggilan Raynold yang menyuruh mereka lanjut pemanasan.
“Put, jangan dekat-dekat Anggun!” bisik Ami.
“Eh? Kenapa Kak?” Putri keheranan. “Kak Anggun kelihatannya baik.”
“Itu karena dia pakai susuk, yang membuatnya terlihat baik!”
Putri makin bingung.
“Dengar ya, ini untuk kebaikanmu sendiri. Kau belum tahu karena masih kelas X, tapi semua anak kelas XI dan XII tak ada yang mau dekat-dekat Anggun!”
“Betul Put!” Gina mengangguk-angguk. “Katanya, Anggun itu—“
“Sebaiknya kalian tidak berlama-lama di situ.” Mendadak sebuah suara dingin membuat bulu kuduk mereka bergetar. Tiba-tiba saja Anggun sudah berdiri dekat mereka. Namun, pandangannya terpaku pada rimbunnya dedaunan, seolah ada sesuatu di sana. “Pohon ini ada Kunti-nya. Dari tadi terus memperhatikan kalian.”
Sontak gadis-gadis itu mendongak. Sebenarnya mereka tak lihat apa-apa. Namun, saat Gina berlari sambil menjerit, semua melakukan hal yang sama.
“Jangan main-main terus, kalian belum push-up dan sit-up!” teriak Ranold sambil memegangi pergelangan kaki Fatah untuk sit up. Kadang menghadapi gadis-gadis itu membuatnya merasa seperti sedang mengatur anak TK.
“Iya, Kak.”
Gina dan kawan-kawan mematuhi Raynold, lalu melakukan sit up secara bergantian. Diawali dengan Putri dan Ami, dipegangi oleh Olive dan Gina.
“Apa Anggun mendengar obrolan kita?” bisik Gina was-was.
“Bisa jadi, lalu ia menakut-nakuti kita,” timpal Olive. “Aku tidak suka dengan anak sok indigo sepertinya.”
“Dia, kan, indigo beneran,” ujar Ami di sela pergerakan naik-turunnya. “Katanya memang di pohon itu ada penunggunya.”
“Paling dia juga cuma dengar, lalu pura-pura bisa lihat,” kata Olive. “Biasa, cari perhatian.”
“Hsssh, awas, kita sedang dilihatin Anggun!” desis Gina. “Pokoknya jangan dekat-dekat Anggun, Put!”
Putri yang polos itu tidak tahu bagaimana harus menanggapi seruan Kakak-Kakaknya. Baginya Anggun terlihat biasa saja. Akan tetapi mungkin itu karena ia belum tahu apa-apa.
“Cewek-cewek, coba salah satu dari kalian temani Anggun pemanasan,” seru Raynold. Sejak tadi gadis itu memang cuma duduk, karena tak ada yang memegangi kakinya untuk pemanasan.
“Waduh, tapi jumlah kita sudah pas, Kak,” jawab Ami. “Kalau salah satu membantu Anggun, nanti ada yang tidak bisa pemanasan dong?”
“Kan bisa gantian.”
“Aku saja Ka—“ kata Putri sebelum tiba-tiba dibekap oleh Ami.
“Tidak apa, aku pemanasan sendiri saja,” ujar Anggun akhirnya.
Gadis itu mulai merebahkan tubuh, lalu menariknya ke atas dengan susah payah. Otomatis kakinya ikut terangkat karena tak dipegangi, membuat badannya sulit bangkit sempurna. Namun, ia tetap meneruskannya.
“Duh, Kak Raynold bagaimana sih,” bisik Gina. “Jangan bawa-bawa kita dong...”
Raynold hanya mengendikkan bahu.
Setelah pemanasan, menu latihan berikutnya adalah latihan menendang. Setiap orang harus berpasangan. Sebagai contoh, Raynold berpasangan dengan Fatah. Tugas Fatah adalah memegangi samsak kecil yang menjadi sasaran tendang Raynold.
“Perhatikan, jangan gerakkan pinggang, cukup kakinya saja,” ucap Raynold lalu melakukan tendangan ke atas, menghantam samsak yang dipegang Fatah. Suara hantaman langsung terdengar. “Untuk awal, coba dengan kaki kanan dulu. Kebetulan kita punya dua anggota baru, jadi bisa berpasangan—“
“Putri denganku dong, Kak!” sela Ami seraya memegangi bahu gadis itu yang kebingungan.
“Tapi—“
“Kak Raynold dengan Kak Fatah. Gina dengan Olive. Nanti aku dengan siapa, dong?” Ami tetap ngotot.
“Ya sudah,” Raynold menghela napas. “Nanti gantian, ya.”
“Yes!”
Raynold ganti berbicara pada Anggun, “Maaf ya, coba latihan sendiri dulu.”
“Tidak masalah,” jawab Anggun.
Gadis itu mulai mengambil kuda-kuda, lalu menendang. Gerakannya kaku sekali, tidak seperti tendangan. Ia ikut menggerakkan pinggulnya ke depan.
Diam-diam para gadis cekikikan menyaksikan gerakannya.
“Apa tidak apa-apa?” bisik Putri.
“Tidak apa-apa,” jawab Ami berbisik. “Memangnya kau mau salah tendang lalu kena badannya, lalu kau dikutuk?”
Putri bergidik.
“Sudahlah, ayo sini tendang!” Ami menawarkan samsaknya.
Latihan pun berjalan, dan tidak ada tanda-tanda Ami akan menepati janjinya untuk berganti pasangan. Para gadis malah tenggelam dalam kesenangan sendiri, menendang sambil bercanda dan terpingkal-pingkal.
“Yang serius, nanti kalian bisa cedera!” seru Raynold memperingatkan, tetapi tak ada yang peduli. “Huh, dasar...” Ia geleng-geleng kepala. “Fat, sekarang giliranmu, ya?”
Fatah terdiam. Ia masih memegangi samsak di tangannya.
“Kenapa Fat?” ulang Raynold.
“Hei,” akhirnya pemuda itu bersuara. “Apa sebaiknya aku berpasangan dengan Anggun?”
“Ha?” Raynold agak kaget mendengarnya. “Kau serius?”
“Kenapa? Kasihan dia tidak ada pasangannya.”
“Ya tidak apa-apa, sih.”
Fatah pun mendekati Anggun. Ia menelan ludah, lalu memanggil gadis tersebut. “Anggun,” katanya seraya menunjukkan samsak. “Ayo latihan. Coba tendang ini.”
Gadis itu terbelalak lebar untuk sesaat. Namun, senyumnya berangsur timbul, senyuman lebar yang sulit disebut senyuman. Seketika Fatah merasakan tengkuknya bergidik.
“Baik Kak.”
Kemudian mereka berlatih. Fatah memberi instruksi bagaimana menendang yang baik. Anggun mengikutinya, tetapi serangannya terus meleset. Dan tiap kali, ia seolah tak bisa menahan cekikikannya.
“Ehehe... Eh, maaf Kak,” kata Anggun. “Dari tadi Yanti terus meledekku.”
“Yanti?” Fatah memperhatikan sekeliling Anggun yang tidak ada apa-apa.
“Ah, maaf.” Anggun menutup mulutnya sendiri. “Jangan dipikirkan.”
“Baik,” ucap Fatah datar.
Sekarang jadi Raynold yang tidak punya teman latihan. Namun, sebagai ketua ia merasa harus rela berkorban demi anggota-anggotanya. Sampai Ami dan Putri mendatanginya.
“Kalian sudah selesai?” tanyanya. “Kita lanjut gerakan berikutnya, ya—“
“Istirahat dulu, Kak!” potong Ami. “Ngomong-ngomong, Kakak menyuruh Kak Fatah latihan dengan Anggun?”
“Tidak, Fatah sendiri yang mau. Kenapa?”
“Tidak apa-apa, sih. Ayo Put, kita istirahat dulu.”
“Iya Kak,” jawab Putri patuh.
Raynold tak habis pikir akan menghadapi situasi begini. Kalau dahulu permasalahan di ekskul adalah senior yang terus menekan junior dengan latihan ala Sparta, permasalahan kali ini adalah gadis-gadis yang berusaha mengucilkan gadis lain. Namun, yah, sebenarnya Raynold juga merasa was-was terhadap Anggun. Baginya orang yang bisa melihat sesuatu yang tak terlihat itu sama menyeramkannya dengan sesuatu yang tak terlihat.
Pukul sebelas, latihan selesai. Tidak seperti minggu lalu, kali ini para gadis digembleng sungguh-sungguh, sehingga mereka bergelimpangan tak karuan.
“Air, bagi air!” pinta Gina.
“Nanti dulu,” Olive menjauhkan botol airnya, lalu minum sendiri.
“Jangan dihabisin, Olive!!!”
“Siapa suruh kau tidak bawa air!”
“Kak Gina, ini.” Tiba-tiba Putri menawarkan airnya.
“Wah Putri, kamu baik sekali!” Dan Gina menenggak air adik kelasnya itu tanpa segan-segan.
“Put, kau sudah minum belum? Awas, nanti malah kamu yang tidak kebagian!” seru Olive khawatir.
“Sudah kok, Kak, hehe.”
“Ahh, segarnya,” ucap Gina seraya mengelap mulut menggunakan lengan baju. “Olive, seperti Putri dong, baik hati dan tidak sombong.”
“Cih,” Olive berdecak-decak.
Raynold dan Fatah baru keluar dari kamar mandi. Mereka cukup heran melihat gadis-gadis itu masih mengenakan seragam taekwondo.
“Kalian tidak ganti?” tanyanya.
“Nanti Kak... Anggun masih di dalam...” jawab Ami.
“Memangnya kenapa si kalau Anggun masih di dalam?”
“Memangnya Kakak sendiri mau satu ruangan dengan Anggun?”
“Aku, kan, laki-laki, kalau berduaan dengan perempuan, nanti yang ketiga setan.”
“Nah itu dia, kalau seruangan dengan Anggun, nanti ada yang ketig—“
Gina cepat-cepat menepuk bahu Ami, sebagai isyarat saat ia melihat Anggun keluar kamar ganti. Bahaya kalau sampai gadis itu mendengar omongan mereka.
“Ya sudah, kami ganti dulu,” ucap Ami buru-buru meraih baju salinnya. “Ayo Put!”
“Iya.”
Mereka bergegas masuk, melewati Anggun dengan anggukan kecil. Tingkah mereka jelas sekali menunjukkan bahwa mereka sedang menjauhi gadis itu.
Saat Anggun mendekati Raynold dan Fatah, suasana menjadi aneh. Gadis itu tidak banyak bicara, sehingga Raynold bingung harus mengangkat topik apa untuk mencairkan suasana. Mau bertanya basa-basi pun, ia sudah tahu cukup banyak mengenai gadis itu dari gosip yang terus-menerus beredar. Akhirnya ia memutuskan untuk melontarkan pertanyaan.
“Su—sudah ganti, Gun?”
Sesaat kemudian ia menyesali diri. Jelas-jelas Anggun sudah memakai kaos dan celana jeans. Kalau ia menanyakan ini pada Olive, ia pasti akan dapat sarkasme habis-habisan.
“Sudah Kak.”
Untungnya Anggun menjawab dengan biasa saja. Namun, justru suasananya malah jadi terasa makin kaku. Lalu gadis itu duduk di pinggiran selasar mushola, seorang diri.
“Emm... kau... kau tidak bawa minum?” tanya Raynold lagi. “Habis olahraga sebaiknya minum.”
“Tidak Kak, lupa. Tapi tadi minum sedikit, dari keran kamar mandi. Lumayan.”
“Oh begitu...” Raynold mengangguk-angguk sambil perlahan mengalihkan pandangan. Minum dari keran kamar mandi? Entah, ia harus kasihan atau merasa takut. Selama bergabung dengan ekskul taekwondo, baru pertama kali ini ia melihat yang seperti itu. Bahkan senior laki-laki paling Sparta pun tidak ada yang pernah melakukannya. Jorok.
Di tengah kebimbangan Raynold, tiba-tiba Fatah bangkit. Ia memperhatikan Fatah berjalan mendekati Anggun, lalu mengulurkan botol minum.
“Ini, kalau mau,” ucap Fatah. “Tidak kena mulutku, kok.”
Anggun pun tersenyum, lebar. “Terima kasih,” katanya lalu minum tanpa segan-segan. Bibirnya bahkan menyentuh bibir botol.
Sangat tidak higienis, pikir Raynold. Fatah saja tidak menyentuh bibir botol, kenapa Anggun melakukannya, seolah botol itu miliknya???
“Sekali lagi terima kasih,” kata Anggun ketika menyerahkan botol yang sudah kosong. Ternyata ia memang kehausan.
“I—iya, sama-sama...”
“Kak! Pulang yuk!” Tiba-tiba terdengar teriakan Gina. Para gadis sedang berjalan dari arah kamar mandi.
“Oke!” Raynold bangkit, bersyukur karena bisa keluar dari suasana kaku barusan. “Kalau begitu, kita akhiri saja latihan hari ini.”
Sejak dahulu, jam yang paling disukai anak sekolah adalah jam pulang sekolah. Tidak terkecuali untuk kegiatan ekskul, mereka selalu terlihat lebih gembira saat pulang daripada saat datang.
Gadis-gadis berjalan duluan sembari cekikikan, meninggalkan Anggun.
Sementara Raynold, ia mendekati Fatah lalu menarik bahunya. Ia mendekatkan kepalanya pada Fatah, lalu berbisik. “Oi! Aku tahu kau memang baik. Kau baik pada semua orang.”
“Ah... terima kasih...”
“Bukan, aku bukan ingin memujimu. Justru aku mau memperingatkanmu.”
“Maksudnya?”
“Sebaiknya jangan terlalu baik pada Anggun. Aku cuma takut dia salah memahami kebaikanmu. Kau tahu, kan, cerita tentang kakak kelas yang kehilangan barangnya?”
“Oh... Iya, tahu,” jawab Fatah sembari menelan ludah.
“Makanya, camkan itu baik-baik.”
Kemudian mereka tak bicara apa-apa lagi sampai tiba di gerbang sekolah, dan berpisah di sana.
Seperti biasa, Anggun duduk menunggu di halte. Mungkin ia sedang menunggu jemputan. Jadi Fatah segera pergi saat angkutan umum yang ia tunggu tiba.

Comments

  1. W kasihan sama Anggun, kena bully permanen njir~...
    T_T

    ReplyDelete
  2. ku ngerti perasaannya Anggun TT____________________TT

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

The Masque of the Red Death

Review Novel : Attack On Titan Before The Fall Vol. 1

Review Novel : Zombie Aedes