Chapter 7 - Anggun Si Putri Cenayang


Kelas sangat ribut pada jam istirahat pagi. Yang tidak ribut adalah Fatah yang tengah merenung. Doni yang biasanya penuh percaya diri juga tampak sangat lesu—entah santetnya Anggun sudah bekerja ataukah karena ia sedang panik menanti kedatangan santet tersebut. Candra yang tak tahu harus berbuat apa, memutuskan menunggu dimulainya jam pelajaran dengan membaca.
Dia naksir kamu Fat!
Dia naksir kamu Fat!
Dia naksir kamu Fat!
Kata-kata Candra itu terus berulang dalam benak Fatah, seperti rekaman radio yang rusak. Pemuda itu menekan keningnya dengan ujung bolpoin, lalu memutar-mutar bolpoin tersebut. Ia berpikir keras bagaimana sebaiknya menyikapi hal ini.
Psst! Psst! Kak Fatah!
Suara itu kembali menggema dalam relungnya, seperti suara perempuan.
Psst! Psst! Kak Fatah!
Suaranya begitu jelas, seolah memang ada yang memanggilnya. Apakah pengaruh Anggun begitu kuat? Apakah gadis itu sudah memulai jampi-jampinya?
“Kak Fatah! Kakak bengong ya?!”
Fatah terlonjak. Ia cepat-cepat menoleh ke arah jendela. Ada sepasang mata yang mencuat di sana, tapi hanya tampak sebagian.
“Putri?”
“Kak, cepat keluar, Kak! Aku sudah tidak tahan jinjiiit...” Lalu sedetik kemudian kepala gadis itu turun, hingga hanya ubun-ubunnya yang terlihat. Fatah baru ingat bahwa Putri memang tidak cukup tinggi.
Pemuda itu bergegas keluar sambil bertanya-tanya ada urusan apa sampai Putri mendatanginya. Biasanya memang gadis itu yang mendatanginya duluan, tapi tak pernah sampai senekat ini. Ibaratnya mengkonfrontasi lawan di daerah kekuasaannya.
Fatah menghembuskan napas, meniup keluar pikirannya barusan—yang sudah melayang ke mana-mana. Apa hubungannya dengan mengkonfrontasi lawan? Ia sendiri tidak mengerti kenapa membuat perandaian seperti itu.
“Ada apa Put?” tanyanya setelah di luar.
Gadis itu terlihat membawa setumpuk kertas HVS, lalu bicara malu-malu, “Maaf mengganggu, jadi begini Kak...”
***
“Jadi begitu, mohon bantuannya ya semuanya,” kata Fatah pada seisi kelas.
Doni dan Candra segera membagikan tumpukan kertas yang dibawa Putri tadi ke seisi kelas. Mendadak Doni sudah kembali ceria. Mungkin melihat Putri mengingatkannya akan iming-iming jalan-jalan bersama gadis-gadis kelas X.
“Mohon bantuannya ya Kakak-Kakak, sebentar saja kok mengisinya, cukup lima menit,” ucap Putri yang berdiri di depan kelas bersama Fatah.
“Aduh, padahal lama juga tidak apa. Malah jadi bisa ditemani Putri lebih lama, kan?” celetuk seseorang diikuti kehebohan—antara tawa, ciee-ciee, sampai lontaran sinis. Doni termasuk yang menanggapi dengan sinis.
“Eh, jangan ganjen ya, dasar jomblo!” seru Doni pada anak barusan, lalu mengangguk pada Putri sebagai kode bahwa ia adalah pria sejati yang pantas dikenalkan dengan teman-teman gadis itu.
Anak-anak kelas pun mulai sibuk mengisi survei yang dibuat Putri untuk tugas sekolah. Ia ditugaskan di kelas ini karena teman-temannya tahu ia kenal seseorang dari kelas ini.
“Sini Put duduk dulu,” ucap Fatah sembari menarik kursi dari meja guru.
“Iya Kak.” Gadis itu berjalan gugup lalu menempati tempat yang disediakan. Fatah sendiri menyeret bangku kosong ke depan. “Um, terima kasih sekali ya kak, mau membantuku.”
“Tidak masalah.”
“Ah, sebagai ucapan terima kasih...” Putri menjeda sejenak untuk mengumpulkan keberanian. “Bagaimana kalau aku trak—“
“Kapan kita jalan-jalannya Put?” Tiba-tiba Doni datang, mengacaukan suasana. “Mau nonton film terbaru MCU, tidak? Katanya seru, lho!”
“Ah... eh... iya nanti kutanya yang lain dulu, Kak.”
“Loh, dari waktu itu masih belum dibicarakan?”
“Uh... ya sudah sih, tapi...”
“Don! Sini, sini, jangan mengganggu!” Candra datang tepat waktu, lalu menyeret Doni menjauh. “Maaf ya Put, dia ini memang suka agresif kalau telat minum obat!”
“I—iya Kak!”
Gadis mungil itu mendesah lega setelah sempat dibuat kikuk oleh Doni. Tapi celaka, keberanian yang susah payah ia kumpulkan untuk momen ini terlanjur luntur seketika. Ia merasa sudah tak punya nyali lagi untuk bertany—
“Oh ya, tadi kau mau mengatakan apa ya?” tanya Fatah. “Sebelum Doni datang.”
Jantung Putri kembali berdebar keras. Fatah sendiri yang sudah memberinya kesempatan ini, jadi biar bagaimanapun ia harus menggunakannya.
“Begini Kak,” gadis itu memulai. Ia menarik napas dulu agar bisa mengutarakan dalam satu tarikan. “Sebagai ucapan terima kasih, bagaimana kalau aku trak—“
Namun, perhatian Fatah mendadak tertuju ke arah pintu. Matanya agak membelalak. Melalui bibirnya yang nyaris tak bergerak, terdengar suatu nama, “Anggun?”
Anggun, gadis itu, berdiri di ambang pintu. Rambut hitam bergelombangnya yang terurai seolah menghisap keceriaan pagi. Serentak seisi kelas menjadi sunyi. Tidak ada yang bicara. Suara gesekan pena di atas kertas seketika menghilang. Bahkan suara napas pun tak terdengar—karena napas mereka tertahan.
Tanpa mengucap salam, tanpa mengucap permisi, Anggun melangkah masuk menyebrangi depan kelas. Ia langsung menghampiri Fatah, lalu menyerahkan sesuatu di tangannya. Sebuah rantang besi yang mengkilat dengan pegangan hitam.
“Kak Fatah.” Gadis pucat itu tersenyum malu-malu. “Ini buatanku. Dimakan ya.”
“Eh, ya, terima kasih,” jawab Fatah releks. Jika ada yang memberi sesuatu tentu saja harus diterima.
Kemudian Anggun berbalik, lalu lari keluar sembari menutupi mulut untuk menutupi tawa kecilnya. Sebuah gestur yang daripada imut, orang-orang akan mengasosiasikan hal tersebut sebagai perilaku orang yang memasukkan racun ke makanan korbannya.
“A... apa itu tadi...” adalah hal pertama yang diucapkan Candra. “Don, jangan-jangan tebakanku—Loh? Don? Ngapain kau di kolong meja?!”
Entah sejak kapan Doni sudah meringkuk ketakutan di sana.
Untuk satu menit pertama seisi kelas masih diam. Mereka butuh waktu untuk memproses kejadian barusan. Lalu ketika mereka mulai bisa mengkomprehensi misteri itu, kehebohan pun menyusul.
“Fatah! Apa yang terjadi?!!”
Mereka semua berkerumun di sekitar Fatah, mempertanyakan berbagai hal.
“Kenapa dia memberimu rantang?”
“Ya untuk dimakan, lah! Masa memberi rantang kosong? Yang lebih penting, kenapa dia memberimu makanan?”
“Kau mau diracuni ya? Cekikikannya tadi seram sekali! Kau pasti sudah membuatnya marah!”
“Tidak, sepertinya Fatah mau dipelet! Kusarankan jangan kau makan!”
Namun, tidak ada satu pun yang berani menyentuh, apalagi membuka rantang tersebut. Mereka mengkhawatirkan Fatah tapi lebih khawatir terjadi apa-apa pada dirinya sendiri. Untungnya kemudian bel berbunyi, tanda istirahat usai. Fatah menyuruh yang lainnya bubar, sambil beralasan mau mengumpulkan jawaban survei milik Putri. Kemudian ia menyerahkan semuanya pada Putri yang hanya menjawab dengan ‘terima kasih’ lalu kembali ke kelasnya tanpa kata-kata.
***
Pada jam istirahat siang Fatah membawa rantang pemberian Anggun ke mushola. Ia pasti akan dikerumuni jika tetap berada di kelas atau kantin. Ia duduk di bawah pohon mangga yang katanya angker, sehingga tak ada anak yang berani mendekat—Doni juga tak berani dekat-dekat, ia nonton dari mushola karena penasaran tapi merasa butuh perlindungan.
“Apa isinya?” tanya Candra.
“Tidak tahu.”
Fatah membuka tutup rantang yang paling atas.
“Huaaa!” jerit Candra seperti saat menonton film horor lalu mendadak muncul wajah hantu.
Tapi rantang itu hanya berisi ayam goreng yang dipotong secara tidak proporsional. Ada yang kebesaran, ada yang kekecilan, ada juga yang tidak berbentuk.
“Tak ada jebakannya, kan?” tanya Candra yang bahkan sempat lompat menjauh.
“Sepertinya aman,” jawab Fatah lalu membuka tingkat berikutnya.
Ada sayur sop yang kepenuhan sampai kuahnya tumpah-tumpah. Tampaknya Anggun lupa harusnya ia memasukkan sayurannya ke plastik dulu lalu diikat kencang.
Di tingkat terakhir adalah nasi yang sangat padat. Sebuah kertas diletakkan di atasnya, sehingga saat kertas itu diangkat banyak nasi yang menempel di sana. Sangat-sangat tidak higienis.
“Surat cinta?” tanya Candra pendek. “Coba bacakan.”
“Kenapa tidak baca sendiri?”
“Bagaimana kalau mataku jadi buta saat membacanya? Surat itu kan ditujukan untukmu!”
Justru karena ditujukan pada Fatah, harusnya Candra tidak perlu ikut campur. Fatah hanya mendesah dalam hati lalu mulai membaca.

“Kak Fatah, aku memasakkan ini semua untukmu. Aku sendiri lho yang menyembelih dan mencabuti bulu ayamnya semalaman. Yanti terus meledek karena ini pertama kalinya aku memasak, tapi aku tak meladeninya. Aku sebenarnya ingin kita makan berdua seperti kemarin, tapi aku malu hehehe. Semoga Kak Fatah suka ya.”

“Siapa itu Yanti?” Candra tak tahan juga untuk tak ikut membaca.
“Itu... mungkin teman imajinernya...”
“Hiii~” Candra bergidik. “Sudah kuduga, Anggun menyukaimu. Jadi akan kau apakan makanannya? Mungkin sudah dijampi-jampi. Saranku dibuang saja, tapi jangan sampai ketahuan atau ia akan marah besar.”

“Ah... iya...” respon Fatah singkat sembari garuk-garuk kepala.

Comments

  1. Gile, nyembelih n nyabutin bulunya sendiri... Anggun panutanqu 😂😂💀👿

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

The Masque of the Red Death

Review Novel : Attack On Titan Before The Fall Vol. 1

Review Novel : Zombie Aedes